Mohon tunggu...
Intan Rohmawati
Intan Rohmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Suka membaca, tapi lebih suka makan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ajari Aku Doa Meminta Hujan Reda

3 Maret 2024   18:55 Diperbarui: 5 Maret 2024   00:16 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hujan. (Sumber: Pexels via kompas.com) 

Aku bergegas seperti biasa. Berjalan kaki menyusuri jalan. Bukan jalan setapak di tepi sawah. Tapi jalan sempit diantara rumah-rumah. Menyebrangi jalan utama yang cukup besar dan selalu ramai. Langsunng disambut kembali oleh jalan gang.

Setelah melewati jalan gang, aku membuka sebuah pintu. Pintu besi, dindingnya batu bata. Pintu itu tidak terkunci. Tidak pula tertutup penuh. 

Meskipun tertutup penuh, dapat dilihat apa-apa yang dibalik pintu. karena bentuknya hanya berupa jeruji-jeruji. Pintu doraemon namanya. Mengapa dinamakan pintu doraemon? karena pintu ini menghubungkan dua dunia. Dunia kampus dan dunia warga.

Sejak tadi aku berjalan menyusuri perumahan warga, kemudian setelah membuka pintu itu dan memasukinya semua berbeda. Yang kulihat adalah gedung-gedung jurusan Fakultas Bahasa. 

Selalu kunikmati perjalanan singkat itu meski dengan tergesa. Aku rindu kuliah. Aku rindu teman-teman di kampus. Aku rindu masa-masa menjadi mahasiswa. Aku rindu dia.

Banyak gedung sudah kulewati. Tibalah aku di samping gedung Dekanat. Bentuk dan warnanya masih saja sama ketika aku masih menjadi mahasiswa disini. Di samping gedung Dekanat, tepat di tepi jalan ada taman. 

Banyak taman memang di kampus. Kampusku memang sangat asri. Saking asrinya malah menyerupai hutan. Di depan gedung ada lapangan. Tidak seluas lapangan bola. Dulu sangat cukup untuk melakukan upacara saat ada event-event tertentu. 

Upacara khusus mahasiswa pilihan seperti saya. Pohon-pohon kecil mengelilingi lapangan. Ada juga lampu-lampu kota bulat besar yang dipasang rendah sebagai selingan.

Di tepi lapangan dari sisi yang jauh dari gedung ada patung. Patung ikonik yang dibuat sebagai simbol Fakultas Bahasa. Di tepi lapangan memang banyak orang sedang duduk-duduk. 

Mereka adalah para peserta ujian calon ASN. Aparatur Sipil Negara, yang dulunya lebih kita kenal dengan PNS. Awalnya kukira kepanjangan ASN adalah Asisten Sipil Negara, ternyata salah. 

Apapun itu, intinya mereka adalah calon-calon budak negara. Bekerja untuk negara, dibayar negara, dan keluarganya pun ditanggung negara. Bukan para pengabdi negara yang bekerja siang malam ikhlas tanpa diberi apa-apa. Eh, malah jadi melantur kemana-mana.

Hampir saja aku menapaki jalan di samping lapangan, seseorang memanggilku. Nadanya memanggil tapi juga seperti bertanya, memastikan. 

Aku menoleh, tapi tak menemukan seorang pun yang mungkin aku kenal. Aku hanya melihat seorang berpakaian hitam putih mendekat. Ah, paling orang mau tanya gedung, batinku. Lagipula, Aku mengenakan jaket yang dibagian bawah ada tulisan namaku. Iya, itu jaket jurusanku ketika menjadi mahasiswa. Entah kenapa aku masih saja mengenakannya. 

Dulu ketika aku di tempat asing, aku juga merasa banyak yang memanggilku karena melihat tulisan jaket ini. Itu murni iseng. Karena sialnya tulisan di jaket itu memang besar sekali. Cukup jelas untuk dibaca dari jarak tiga meter.

Seorang perempuan. Dia perempuan. Dulu biasanya yang manggil laki-laki. Tapi ini perempuan. Perawakannya kurus, tinggi. Mungkin tingginya tidak beda jauh denganku. 

Aku benar-benar tidak dapat menebaknya hingga dia membuka masker. Dan ketika dia melakukan itu, aku meneleng. Aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa?

"Bener kan?" tanyanya sekali lagi. Tapi aku masih terpaku. Tidak habis pikir untuk mengenali siapa orang sok kenal yang ada di depanku ini.

"Diyas," katanya sambil mengulurkan tangan. Aku terperangah. Aku tidak percaya dengan orang yang ada di hadapanku saat ini. Aku tidak percaya menemuinya saat ini. Aku bahkan tidak pernah membayangkan bertemu dengannya. Aku tak pernah memikirkan kata-kata apa yang mungkin aku ucapkan untuknya.

***

Lampu temaram. Memang sengaja dibuat demikian. Tempat ini sepertinya cocok untuk nongkrong. Apalagi untuk mahasiswa. Dan aku baru menyadarinya ketika aku sudah tidak lagi berstatus mahasiswa. Bahkan aku tak akan kesini, jika bukan karena orang yang ada di hadapanaku saat ini, Diyas.

"Hmmm bagaimana kabarmu?" tanyanya memulai percakapan dengan canggung.

"Baik." kata singkat, jelas, dan menurutku cukup sopan untuk dikatakan pada orang yang belum pernah bertemu sebelumnya.

"Kamu?" tanyaku balik. Sebagai sopan santun sekaligus basa-basi.

"Baik juga." katanya.

"Oiya, selamat." Kataku lagi melirik jari manisnya yang dilingkari cincin emas. Ekspresinya tampak bingung kutanya begitu.

"Kalian sudah menikah?" tanyaku lagi. Memperjelas ucapanku sebelumnya.

"Aku. Dia abadi dalam ketiadaan." Jawabnya setelah lama terdiam.

"Maksudnya?" Tanyaku entah karena tak dapat mencerna ucapannya atau karena tak percaya.

***

Perjumpaan tempo hari yang membawaku kesini. Bertemu ayah dan ibunya. Mendapati mereka sudah tahu semuanya. Dan mereka juga yang memberi izin untukku masuk ke kamarnya. Melihat semua ini. Benda-benda beberapa tahun lalu yang pernah aku beri. Membaca lagi tulisan-tulisanku sendiri.

"Ini buku untukmu. Meski tidak di sampingmu, aku ingin menjadi tempatmu berkeluh meluapkan penuh. Jika tidak berkenan, berikan saja pada anak sekolahan. Adikmu, tetanggamu, atau siapa pun itu yang dapat memanfaatkannya lebih baik dari kamu." dalam sebuah buku yang ternyata sudah penuh dengan tulisannya.

"Jangan lupa bawa jaket saat berkendara. Kalau tidak mau pakai yang ini, pakai yang lain saja. Yang ini bisa kamu kasihkan pada temanmu yang suka berkendara juga."

Kulihat jaket yang sudah cukup lusuh masih tergantung di belakang pintu. Benar. Itu adalah jaket yang sama dengan yang kuberi untuknya. Dia memakainya. Bahkan sampai pudar warnanya.

"Kalau habis makan, harus minum. Tapi tunggu 30 menit ya. Itu baik untuk kesehatan. Kalau tidak mau pakai gelas ini, jual saja di tukang rongsokan. Lumayan kan?"

"Ini kemeja buat kamu. Sengaja kuberi warna biru. Sekali-kali kenakan warna lain. Warna itu nggak cuma hitam. Begitu pula kehidupan, nggak selalu gelap. Pasti ada cerahnya juga. Jika bukan aku, setidaknnya kamu harus menemukan orang lain untuk mencerahkan hari-harimu."

"Nih coklat. Ada termosnya juga. Coklat enaknya kalau pas panas. Kemarin katanya mau nyoklat bareng. Meski nggak di tempat yang sama, gapapa yaa. Yang penting waktunya bareng. Ketika kamu menikmati coklat ini dimana pun, saat itu juga aku menikmatinya disini."

"Buat yang suka dengerin musik, nih ada earphone. Kemarin speakernya rusak kan? kalau nggak suka, jangan dibuang yaa. Agak mahal soalnya, sayang, ehhe." Sepasang earphone tanpa kabel tergeletak di bawah lampu belajar.

Kertas-kertas itu tersimpan dalam buku kecuali satu kertas yang ditempel disampul buku. Pada setiap halaman, ada satu kertas dan beberapa baris kalimat tulisanmu. Halaman pertama hanya tulisanmu. Tak ada tempelan kertasnya.

"Terima kasih sudah menjadi tempat berkeluh. Jika tidak, kepalaku akan penuh. Buku ini akan kusimpan sendiri. Lagipula adikku sudah punya banyak buku. Apalagi tetangga. Dan menurutku, hanya aku yang dapat memanfaatkan buku ini dengan paling baik."

"Disini dingin. Aku pakai terus kok jaketnya. Walaupun di rumah aja."

"Sampe tak setting alarm 30 menit tiap abis makan. Kamu jauh sih, jadi ngga bisa mengingatkan kan? Dan ini adalah gelas minum favoritku."

"Ternyata hidup ini kaya pelangi. Warna-warni. Pengen banget menikmati pelangi ini sama kamu, nanti."

"Termos ini yang akan menjadi saksi bahwa aku hampir selalu menikmati coklat setiap hari."

"Speakerku sekarang udah bisa. Tapi tetep tak pakai earphone-nya. Lebih enak soalnya."

Aku terhenti. Banyak lagi yang tak mampu aku baca. Air mataku mengalir dengan derasnya. Lalu kubuka langsung halaman terakhir. Sebuah tulisan berjudul "Maaf".

"Maaf karena semudah itu aku menyerah. Maaf karena tidak berjuang lebih. Aku terlalu pengecut. Aku tidak punya keberanian untuk menyatakan yang sebenarnya. Aku yang tidak menyadari perasanku lebih awal. Aku takut memulai hal baru. Aku takut kita akan jauh. Aku takut mengganggumu. Aku takut semesta tidak mendukungku. Aku takut kamu tidak bahagia denganku.

"Maaf karena aku punya banyak ketakutan dan kekhawatiran tentangmu. Bahkan hingga akhir, aku masih takut seandainya kamu membaca tulisan ini."

***

Menunduk di atas sebuah pusara. Aku tak sendiri di sini. Ada dia yang masih sama berdiam diri di bawah sana. Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Tak menangis, tak juga berkata. Diam. Terpaku. Seluruh isiku hilang. Luruh. Menatap sebuah tulisan pada nisan. Namanya ada disana. Bahkan tertulis sudah setahun lamanya.

Hujan turun. Deras. Aku ingat bahwa dia pernah mengajariku doa minta hujan. Bahkan tanpa kuminta, Tuhan telah memberikan hujan. Hujan ini akan terus mengucur deras bersama deraian air mata. Membasuh basah seluruh tubuhku.

Mengaburkan pandanganku tentang dunia di mana dia tak lagi ada. Menyesakkan setiap hembus nafas. Tetasannya menghujam tepat di jantungku.

Aku tak ingin orang-orang melihatku penuh dengan air mata. Aku tak mau dia melihatku terluka. Aku berharap hujan ini akan segera reda. 

Tolong, bangunlah! ajari aku doa meminta hujan reda. Agar aku bisa menghentikan air mataku. Agar aku bisa sembuh dari lukaku. Tolong! Ajari aku doa meminta hujan reda karena dulu kau tak sempat mengajariku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun