Perempuan itu terus berjalan. Meninggalkan puluhan bahkan ratusan jejak yang diabaikan. Pandangannya lurus ke depan. Sesekali melihat sekeliling. Memandang sekitar. Dari jauh tampak rumah-rumah di sisi kirinya. Ada taman di sepanjang tepi jalannya. Taman yang luas hingga menjauhkan rumah-rumah itu dari jalan. Taman yang beraneka ragam. Taman bermain yang disesaki anak-anak, taman yang penuh bunga, taman yang hanya berisi rerumputan, taman yang dihias dengan air mancur dan kolam ikan, dan tan taman dengan bentuk lain-lain. Ada pertokoan di sebelah kanan. Dilengkapi deretan parkiran di depannya. Hanya trotoar yang menjadi pembatas jalan. Ada toko peralatan rumah tangga, toko bahan makanan, toko pakaian, toko sepatu, toko tas, rumah makan dan tempat pembelanjaan lain.
Beberapa kali ia tersenyum disapa orang-orang. Ada yang dikenal. Ada pula yang tidak dikenal. Bahkan ada yang mengajaknya berbincang. Berkenalan, bertanya kabar, bertanya tempat, bertanya arah. Banyak sekali bahan pembicaraan. Hingga ada yang menawarkan untuk menemaninya berjalan.
"Kau mau kemana puan?"
"Aku hanya ingin berjalan-jalan, tuan.”
"Boleh aku temani?"
"Apa kau tidak keberatan tuan?"
"Tidak. Aku juga sedang luang. Ingin menyegarkan pikiran. Melihat pemandangan."
"Oh, baiklah kalau begitu."
Laki-laki dan perempuan itu berjalan beriringan. Menyusuri jalanan. Sesekali berbincang. Sesekali tersenyum. Sesekali tertawa. Sesekali saling berpandangan tanpa sengaja.
"Kau tidak lelah puan?"
"Belum. Kau?"
"Belum juga. Aku baru saja berjalan. Kau sudah lama. Oiya, kita belum berkenalan. Siapa namamu?"
"Aku Rin. Kau?"
"Aku Ran."
"Lucu ya."
"Apa yang lucu?"
"Kita."
"Maksudmu?"
"Nama kita. Seperti nama anak kembar."
"Ah, iyaya. Hahaha..."
Laki-laki itu tertawa lepas. Menularkan ceria pada perempuan itu. Mengembangkan senyumnya terus menerus. Membinarkan matanya. Menenangkan hatinya.
"Senang mengenalmu Ran." Perempuan itu berkata lirih.
"Apa?" Laki-laki itu tidak mendengar jelas apa yang dikatakan oleh perempuan.
"Ah tidak. Aku tidak berkata apapun."
"Baiklah."
"Hmm, nanti aku ingin mengantarkanmu pulang. Boleh?
"Rumahku jauh. Kau tak apa?"
"Tentu tidak. Aku ingin melihat pemandangan selain disini. Aku ingin lebih lama berjalan bersamamu. Aku juga masih kuat." Laki-laki itu menghentakkan kakinya. Menunjukkan bahwa kakinya siap berjalan jauh. Menemaninya.
***
Tanpa sadar mereka memasuki perbatasan. Bukan lagi di komplek yang sama. Komplek perumahan asri berganti jalanan lengang. Kanan kiri jalan hutan buatan. Pohon-pohon ditanam rapi berjajar. Setiap beberapa meter diberi tempat peristirahatan di tepi jalan.
"Mau istirahat?" Tanya laki-laki itu. Tepat ketika di samping kirinya ada tempat peristirahatan.
"Sejujurnya aku belum ingin. Tapi sepertinya kau ingin berhenti sejenak." Perempuan itu segera melangkah mendahului untuk menuju bangku panjang. Dan laki-laki itu masih berdiri ditepi jalan
"Sini!"
Laki-laki itu berjalan perlahan. Menghampiri perempuan dan duduk di sampingnya.
"Boleh aku bersandar?"
"Kenapa tak boleh? Bangku ini untuk umum. Untuk semua orang seperti kita."
"Bukan. Boleh aku bersandar di bahumu?"
"Kau sangat lelah ya?"
"Tidak. Hanya saja ..."
"Aku akan pindah ke bangku sebelah. Rebahkanlah tubuhmu sejenak. Nanti kita lanjutkan perjalanan."
Perempuan itu beranjak dari duduknya dan berpindah ke bangku sebelah. Ia merogoh sakunya. Mengeluarkan sebuah buku kecil. Membuka buku yang berisi bait-bait puisi itu. Pelan sekali. Suaranya hanya terdengar seperti gumaman. Mulutnya terus komat-kamit membaca buku itu. Sementara laki-laki di bangku sebelahnya tertidur. Lelap.
Buku kecil nan tipis itu hampir selesai dibacanya. Ia melihat dari sudut matanya laki-laki di bangku sebelahnya bangun. Kemudian beranjak mendekat. Duduk di sebelahnya. Di bangku yang sama.
Perempuan itu masih fokus pada buku kecilnya. Mengabaikan laki-laki yang duduk di sampingnya. Ia ingin menyelesaikan bacaan yang hanya tinggal beberapa bait. Ia begitu hikmat menikmati setiap baitnya. Ia berniat akan berbicara pada laki-laki itu setelah kegiatan membacanya selesai kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Belum sampai satu menit perempuan itu selesai membaca buku kecilnya. Ia menutup buku itu kemudian dimasukkan ke dalam sakunya lagi. Baru saja ia akan berbicara pada laki-laki itu, tapi ia sudah tidak menemukannya. Ia menolah ke kanan dan kirinya. Nihil. Ia mencari ke segala arah. Tetap nihil. Ia bangkit dari bangku dan hendak berjalan. Tapi ia bertanya-tanya. Kemana ia harus mencarinya. Mungkinkah laki-laki itu kembali, atau pergi melanjutkan perjalanan?
Keputusan yang diambil perempuan itu adalah kembali. Ia mencoba mencari laki-laki itu dengan mengikuti jejak. Karena ia tak menemukan jejak menuju jalan didepannya. Ia mencoba kembali mengikuti jejak yang sudah dilaluinya.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Jejak yang sebelumnnya dia, ah tidak, yang mereka tinggalkan masih ada. Empat langkah, jejak itu mulai pudar. Samar. Hanya jejak laki-laki itu yang samar. Jejaknya masih terlihat jelas.
Ia terus menapaki jejaknya. Memperhatikan tiap-tiap jejak yang tersisa. Lima langkah, enam langkah. Jejak laki-laki itu sama pudarnya dengan langkah keempat. Tujuh langkah. Jejak itu semakin pudar.
Jejak pada langkah keduabelas adalah yang terakhir masih terlihat. Perempuan itu tidak menemukan jejak laki-laki itu pada jejak ketiga belas. Hanya jejak perempuan itu yang masih terlihat jelas. Jejaknya sendiri. Perempuan itu terus menapaki jejaknya sendiri. Ia menuju tempat pertama ia bertemu laki-laki itu. Barangkali jejak itu memang hilang terbawa angin atau sudah terganti dengan jejak orang lain. Barangkali di tempat pertama itu mereka akan kembali bertemu. Barangkali di tempat pertama laki-laki itu sudah menunggu.
Ia berjalan cepat. Memegang harapan itu membuat ia bersemangat. Ia yakin mereka akan kembali bertemu. Ia berharap laki-laki itu akan sabar menunggu. Tidak seperti ketika mereka pergi, perempuan itu kembali lebih cepat. Waktu terasa singkat. Jarak seolah dilipat oleh kakinya yang kuat.
Nihil. Ia tak menemukan laki-laki itu. Ia sudah mencari ke segala arah di tempat itu. Ia bertanya pada setiap orang yang lewat. Tapi semua berlalu tanpa ada yang tahu. Bahkan dari sekian orang yang ditanya, tak ada yang mengenal laki-laki itu.
Ia memutuskan untuk menunggu. Ia duduk di tepi jalan. Sendirian. Kesepian. Tapi ia mau menunggu dengan sabar. Ia masih memegang sebuah harapan. Bahwa disini, ia akan kembali dipertemukan.
***
Ketika hari sudah berganti, ia memilih berhenti. Berhenti untuk menunggu dan mengambil langkah untuk kembali berjalan. Berjalan dengan melepas harapan. Ia kembali meneruskan perjalanan. Menemukan kembali rumah-rumah dan taman-taman di sepanjang kanan jalan. Deretan pertokoan dilengkapi parkiran di sepanjang kiri jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H