Minggu sudah siang. Ibu masih belum pulang. Betah sekali di sawah. Apakah senyaman itu disana? aku masih ingat rasanya bermain di sawah waktu kecil dulu. Jika kubayangkan sekarang, malas sekali kesana. Sudah panas, becek, kotor, penuh lumpur, banyak hewan-hewan sawah yang menggelikan. Tapi itulah perjuangkan Ibu selama ini menyekolahkanku. Ibu. Dia perempuan hebat.
Jam di dinding terus berdetak. Jarumnya menunjukkan bahwa saat ini pukul sebelas. Ibu masih belum pulang. Apa aku harus menjemputnya? lalu sepedanya bagaimana? ah sudahlah. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu. Aku duduk di kursi depan TV. Pintu samping kubuka. Dari pintu ini angin menyapa dan orang-orang yang pulang dari sawah terlihat. Sekian banyak yang lewat, tampak Ibu. Dia pulang membawa sekarung rumput. Aku menyambutnya, mencium tangannya. Kemudian memindahkan bawaannya.
“Sampai rumah jam berapa, Le?” tanya Ibuku dengan wajah yang sangat letih dan tiba-tiba sumringah ketika melihatku.
“Jam delapan, Buk.” Jawabku sambil menuntun sepeda dan memasukkannya ke dalam rumah
“Sudah makan?” tanyanya sambil melepaskan atribut pertaniannya.
“Nunggu Jenengan.”
“Tunggu sebentar. Ibuk mau bersih-bersih dulu.” Katanya berlalu.
***
Di meja makan sudah ada makanan. Ibu sengaja memasak sebelum pergi ke sawah. Meski sudah dingin, baunya tetap tercium. Enak. Di sela-sela aku menghirup bau makanan di depanku, Ibu datang.
“Kenapa ngga makan dulu to?”
“Ngga enak makan sendiri Buk.”