Hari ini aku akan meninggalkan kontrakan. Hanya sebentar. Ibu menyuruhku pulang. Aku belum tahu alasannya. Aku belum tahu kapan akan kembali. Bagiku, kontrakan ini sudah seperti rumah sendiri. Aku akan merindukan suasana yang tercipta disini. Setiap hari. Apalagi malam Minggu. Dimana semua penghuni kontrakan berkumpul untuk bernyanyi sambil diiringi gitar dan tabuhan meja.
Sampai dini hari. Lalu paginya kami akan bangun kesiangan. Hanya untuk sholat subuh dan lanjut tidur hingga dhuhur. Sama seperti pagi ini. Masih tidur di kasur masing-masing. Nyenyak memeluk guling. Kecuali aku.
Barang sudah kukemas. Aku hanya mengemas apa yang aku perlu. Kamar tak usah kukunci. Di dalam hanya ada spring bed beserta bantal gulingnya, rak buku, meja belajar, dan lemari pakaian. Aku tak punya hal berharga di tempat perantauan ini. Hal berhargaku adalah tempat ini beserta para penghuniya.
Aku mengeluarkan motor maticku. Sebelum kututup pintu utama, kulihat sekali lagi ruang tamu tempat kami berkumpul pada setiap malamnya untuk mengerjakan tugas masing-masing. Disana hanya ada jejeran sofa, satu meja dan televisi. aku berjalan menuju motor. Saat menaiki motor, saat itu juga aku melirik lagi rumah berwarna biru disampingku. Ini juga rumahku. Mereka juga keluargaku. Besok, aku akan kembali.
Jalanan masih lengang sepagi ini. Aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Jalan raya Pantura selalu memacuku untuk ngebut. Biasanya, hanya butuh dua jam untuk sampai rumah dengan kecepatan sekian. Perjalanan terlamaku ketika melewati jalan-jalan di tengah sawah. Kata temanku, namanya Towang. Jalannya naik turun tidak rata. Terjal pula.
Siapa yang dapat disalahkan dengan keadaan jalan seperti ini. Pemerintah Desa? atau kah Pemerintah Daerah? bukankah sudah ada dana dari pemerintah untuk membangun? mengapa jalan yang menjadi jalur keluar masuk kampung masih seperti ini? ah iya, ini belum masuk perkampungan. Jadi, aku juga tak tahu ini tanggung jawab siapa.
Ataukah ini tanggung jawab para pemilik lahan tebu yang menjadikan truk pengangkut tebu mereka merusak jalan karena beban muatannya? entahlah. Aku hanya warga biasa yang tak tahu apa-apa.
Tepat dua jam aku sampai rumah. Saat ini, aku memasuki pelataran rumah. Sepi. Mungkin Ibu sudah ke sawah. Sama sekali tidak ada sambutan untuk kepulanganku.
Berlebihan sekali aku ini. Apa yang bisa kuharapkan dari seorang yang sudah mulai menua? apalagi menjadi orang tua seorang diri. Sejujurnya aku sudah melarangnya bekerja terlalu keras. Biaya kuliahku sudah bebas. Aku bekerja sampingan untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan perlengkapan kuliah. Namun begitulah Ibu. Sangat keras kepala. Ia masih saja memelihara seekor sapi. Sehingga ia harus ke sawah dan mencari rumput.
Ada yang pernah mengatakan padaku bahwa betapa pun kamu rindu pada orang tuamu, rindu orang tuamu akan lebih besar. Hanya saja, mereka lebih berpengalaman dalam menyembunyikannya. Jadi, sepadat apapun kesibukanmu, selagi bisa, sempatkanlah untuk pulang. Sialnya aku percaya kata-kata orang ini. Sepertinya, Ibuku memang terlalu pandai menyembunyikan rindunya.
***
Minggu sudah siang. Ibu masih belum pulang. Betah sekali di sawah. Apakah senyaman itu disana? aku masih ingat rasanya bermain di sawah waktu kecil dulu. Jika kubayangkan sekarang, malas sekali kesana. Sudah panas, becek, kotor, penuh lumpur, banyak hewan-hewan sawah yang menggelikan. Tapi itulah perjuangkan Ibu selama ini menyekolahkanku. Ibu. Dia perempuan hebat.
Jam di dinding terus berdetak. Jarumnya menunjukkan bahwa saat ini pukul sebelas. Ibu masih belum pulang. Apa aku harus menjemputnya? lalu sepedanya bagaimana? ah sudahlah. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu. Aku duduk di kursi depan TV. Pintu samping kubuka. Dari pintu ini angin menyapa dan orang-orang yang pulang dari sawah terlihat. Sekian banyak yang lewat, tampak Ibu. Dia pulang membawa sekarung rumput. Aku menyambutnya, mencium tangannya. Kemudian memindahkan bawaannya.
“Sampai rumah jam berapa, Le?” tanya Ibuku dengan wajah yang sangat letih dan tiba-tiba sumringah ketika melihatku.
“Jam delapan, Buk.” Jawabku sambil menuntun sepeda dan memasukkannya ke dalam rumah
“Sudah makan?” tanyanya sambil melepaskan atribut pertaniannya.
“Nunggu Jenengan.”
“Tunggu sebentar. Ibuk mau bersih-bersih dulu.” Katanya berlalu.
***
Di meja makan sudah ada makanan. Ibu sengaja memasak sebelum pergi ke sawah. Meski sudah dingin, baunya tetap tercium. Enak. Di sela-sela aku menghirup bau makanan di depanku, Ibu datang.
“Kenapa ngga makan dulu to?”
“Ngga enak makan sendiri Buk.”
“Heleh, biasanya gimana to?”
“Kan bisanya rame-rame sama anak-anak.”
“Gimana kuliah kamu Le? Lancar kan?”
“Alhamdulillah lancar kok. Semester ini agak banyak tugas, soalnya ini semester terakhir. Semester besok kan sudah mulai KKN.”
“Oh iya, nanti sore ke makam Bapak ya? Hari ini peringatan kematian Bapakmu.”
“Iya buk. Inget.”
“Yaudah. Sekarang, ayok makan dulu.”
Ibu mulai menyendokkan nasi ke piring kami. Menata lauknya dengan lengkap. Kami makan tanpa suara. hening.
***
Aku dan Ibu sudah di makam bapak. Letaknya tepat berada di tepi jalan. Di sampingnya ada makam nenek. Pemakaman ini tidak terlalu luas. Di ujung pemakaman, ada seorang laki-laki yang juga sedang ziarah. Makamnya masih baru. Mungkin baru saja meninggal. Tangisnya sama sepertiku saat empat tahun lalu. Sesenggukan.
Makam bapak selalu bersih. Sepertinya Ibu selalu berziarah setiap kamis sore untuk mengirim doa, mecabut rumput liar, membuang daun-daun kering, dan menyiramnya. Kami mulai membaca doa untuknya. Aku yang memimpin. Khusyuk.
”Semoga Bapak tenang disana.” Aku mengelus kayu nisan Bapak.
“Bapakmu insyaallah tenang disana Le. Dia hanya pulang. Kembali ke sisi-Nya. Dia orang baik.”
Sejenak tercipta hening. Bahkan, bunga kamboja yang jatuh di sampingku terdengar. Warnanya putih dengan sedikit warna kuning di tengah. Kelopaknya ada enam. Katanya kalau mendapat bunga kamboja dengan jumlah kelopaknya genap akan mendapat keberuntungan. Itu cerita yang berdedar saat kecil dulu. Hingga kami berlomba-lomba mencari bunga kamboja itu di depan sekolah kami yang saat itu ada satu pohon bunga kamboja besar.
“Lucu ya Le, kalo dipikir. Manusia berlomba-lomba membangun rumah besar dan megah hanya untuk ditinggali saat di dunia yang sementara ini. Pada akhirnya, manusia akan pulang ke sisi-Nya. Seperti ini lah rumah kita di masa depan. Sempit, gelap.”
“Kamu jangan pernah lupa mengirim doa buat bapakmu ya, Le. Biar di alam kuburnya, tempat Bapakmu luas, terang. Setiap amal manusia akan terputus ketika mati, kecuali tiga. Bagi ibuk dan bapak, kamu lah satu-satunya yang dapat kami harapkan.Kita tidak tahu juga, kapan Ibuk akan menyusul Bapakmu.”
“Di mana pun kamu berada kelak, kamu akan merasa nyaman selagi kamu menganggap itu rumahmu. Pulanglah ke rumah mana pun yang kamu sukai. Karena kepulangan yang sebenarnya, adalah pulang ke rahmatullah.” Ibu mengusap kepalaku. Aku masih menunduk. Masih di atas bumi. Masih di bawah langit. Kemana pun aku pergi. Di dunia ini.
“Ayok kita pulang. Sudah mau maghrib.”
“Iya, Buk.” Aku berjalan mendahului Ibu. Kami pulang ke rumah. Rumahku, Ibuk, dan Bapak. Kumandang adzan terdengar saat kami masih di perjalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H