Judul Buku    : filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam
Penulis       : Drs. M. Zainuddin, MA
Penerbit      : Bayu Media Publishing
Tahun Terbit  : 2003
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 9793323248
Manusia adalah makhluk Mukallaf, yang dibebabi kewajiban dan tanggung jawab. Dengan akal pikirannya ia mampu menciptakan kreasi spektakuler berupa sains dan tekhnologi. Manusia juga bagian dari realitas cosmos yang menurut para ahli pikir disebut sebagai al-kain an-natiq, "makhluk yang berbicara" dan "makhluk yang memiliki nilai luhur.
Bagi seorang muslim, pengetahuan bukan merupakan tindakan atau pikiran yang terpencil dan abstrak, melainkan merupakan bagian yang paling dasar dari kemajuan dan pandangan dunia nya (world-view). Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika ilmu memiliki arti yang demikian penting bagi kaum musliminpada masa awalnya, sehingga tidak terhitung banyaknya pemikir muslim yang larut dalam upaya mengungkap konsep ini.
Konseptualisasi ilmu yang mereka lakukan mungkin paling nyata Nampak dalam upaya mendefinisikan ilmu yang tiada habis-habisnya, dengan kepercayaan bahwa ilmu tidak lebih dari perwujudan "memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan", seperti juga membangun sebuah peradaban yang membutuhkan suatau pencarian pengetahuan yang komprehensif. Sebagaimana kata Rosentall, sebuah peradaban Muslim tanpa hal itu tak akan terbayangkan oleh orang-orang Muslim abad pertengahan sendiri, lebih-lebih pada masa sebelumnya (Ahmad Anees, 1991:73).
Menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi umat Islam memang sudah menjadi dasar dan landasan yang dituntutkan oleh ajaran-ajarannya (nash Al-Qur'an maupun al-Hadist). Bahkan semangat berpikir kritis untuk menemukan hakikat segala sesuatu merupakan peringatan dalam Al-Qur'an. dalam konsep ajaran Islam, kecenderungan kepada wawasan yang kudus, atau prinsip ketuhanan adalah sesuatu yang mesti mendapat perhatian. Dan inilah prinsip berpikir Islam yaitu, bahwa Allah adalah Dzat yang wujud, Yang Maha Mengetahui dan segala sumber dari ilmu pengetahuan. Ini sangat berbeda dengan cara berpikir ala Barat yang sekuler. Karena sumber pengetahuan adalah kesadaran mengenai Yang Kudus, maka tujuan ilmu pengetahuan adalah kesadaran mengenai Yang Kudus itu (Sayyed Hoesein Nasr, 1970:22 dan lihat C.A Qadir, 1989:5).
Pada bab kedua dalam buku ini penulis langsung menjabarkan sekilas tentang filsafat ilmu yang diawali dengan pembahasan mengenai tradisi keilmuan Barat. Zaman Yunani kuno berlangsung kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan, atau kurang lebih antara tahun 600 S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai cikal bakal filsafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mite-mite tersebut tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis.
Pada tahap ini bangsa Yunani mulai berpikir sedalam-dalamnya tentang berbagai fenomena alam yang begitu beragam,meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus meneliti berdasarkan reasoning power.
Selanjutnya dijelaskan tentang filsafat ilmu dan perkembangannya. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom).
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan, demikian pula seni dan agama. Jadi dalam pengetahuan tercakup didalamnya ilmu, seni dan agama. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk didalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai ilmu pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.
Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-cir mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-acara untuk memperoleh pengetahuan tersebut (Beerling, et al., 1988:1-4). Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
Filsafat ilmu pengetahuan (theory of knowledge) dimana logika, bahasa, matematika termasuk menjadi bagiannya lahir pada abad ke-18. Dalam filsafat ilmu pengetahuan diselidiki apa yang menjadi sumber pengetahuan, seperti pengalaman (indera), akal (verstand), budi (vernunft) dan intuisi.
Filsafat ilmu sebgai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu. (Koento Wibisono, 1988:6).
Objek kajian Filsafat ilmu ada tiga yaitu, 1) Ontologi, yang menjelaskan mengenai pertanyaan apa, 2) Epistemologi, yang menjelaskan pertanyaan bagaimana dan 3) Aksiologi, yang menjelaskan pertanyaan untuk apa. Ontologi merupakan azaz dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) (Jujun, 1986:2).
Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaiaman yang ada (being) itu. Paham idealism dan spiritualisme, materialism, dualism, pluralism dan seterusnya merupakan paham ontologis yang akan menetukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan abgaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento Wibisono, 1988:7).
Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya seperti pertanyaan : apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang ada itu? (how is being?) dan dimanakah yang ada itu? (where is being?).
Ontolgi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat relitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan diatas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasrkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, secara metaisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis.
Suatu pernyatan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasrkan epistemology keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut maka langkah pertama adalah, melkukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris,sejalan dengan apa yang dikatakan Einsten: "Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya".
Objek kajian filsafat ilmu yang selanjtnya adalah Epistemologi. Objek kajian ini adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengethuan (Katsoff, 1987:76). Secara umum pertanyaan epistemolgi menyangkut dua macam, yakni epistemology kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantic yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut (Katsoff, 1987:76).
Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Peradaban mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yan akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan baaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan atas batas-batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah (Koento Wibisono, 1988: 7).
Secara gari besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologis, yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomanilisme), intuisionisme, postivisme dan seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indera dinomor duakan. Pemikiran para filsuf ini tidak lepas dari orientasi ini, rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealism atau spiritualisme dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik materialism.
Filsafat empirisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf Inggris: F. Bacon, T. Hobbes, J. Locke, C. Barkeley dan D. Hume ( Peurser, 1989:81). Kebenaran yang diperoleh dengan empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji. Kebenaran diadapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda lalu ditarik kesimpulan.
Koresponden merupakan teori kebenaran yang mendasrkan diri pada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh satu pernyatan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut. Jika kita menyatakan "gula itu rasanya manis", maka pernyataan itu benar sekiranya dalam kenyataannya gula itu rasanya memang manis. Sebaliknya jika kenyataannya gula itu rasanya tawar, maka pernyataan itu salah. Jadi, kebenaran harus seuai dengan kenyataan setelah dibuktikan (verifikasi).
Dan objek kajian yang terakhir adalah Aksiologi. Adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nila-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaiman kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebi dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan didalam menerapkan ilmu kedalam praksis (Van Melsen, 1990:107).
Dalam pendekatan Aksiologis ini, Jujun (1986:6) menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan laam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial seperti: ras, ideology atau agama. Tidak ada ilmu Barat dan tidak ada pula ilmu Timur.
Bab yang selanjutnya membahs tentang filsafat ilmu dalam Islam. Dalam merespon sains modern, ilmuan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda :
- Kelompok yang menganggap bahwa sains modern bersifat universal dan neutral dan semua sians tersebut dapat diketemukan dalam Al-Qur'an. kelompok ini disebut dengan kelompok Bucaillian.
- Kelompok yag berusaha untuk memunculkan persemakmuran sains di negara-negara Islam, karena kelompok ini berpendapat bahwa ketika sains berada dalam masyarakat Islam, maka fngsinya akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam (lihat Sardar, 1988: 167-171).
- Kelompok yang ingin membangun paradigm baru (epistemology) Islam, yaitu paradigm pengetahuan dan paradigm perilaku.
Upaya pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam atau konsep Islam tentang ilmu itu memang bukan hal baru, melainkan sudah dilakukan oleh ulama-ulama sejak dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif mereka menegenai "apakah Al-Qur'an merupakan sumber ilmu pengetahuan atau hanya sebagai petunjuk agama saja?. Dari sisni lantas muncul dua kelompok . Kelompok pertama misalnya seperti yang dikatakan Al-Ghazali (lihat Ihya' Ulumuddin, jilid V:1).
Beliau mengatakan bahwa seluruh ilmu tercakup dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur'an adalah penjelasan esensi-esensi, sifat-sifat dan perbuatanNya. Al-Qur'an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan jika sekranya lautan itu menjadi tinta untuk menjelaskan kata-kata Tuhanku, niscaya lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir (lihat Al-Ghazali, 11329 H:9, 32).
Sebagaimana dituturkan oleh Al-Qardhawi (1989:35), bahwa menurut Islam cakupan ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu menurut Islam cakupan ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu menurut pandanagan Barat modern yang ekperimental saja, tetpu ia meliputi :
- Aspek metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkapkan apa yang disebut dengan realitas agung (haqaig al-qubra) yang menjawab pertanyaan abadi darimana, kemana dan bagaiman. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia tahu landasan berpijaknya dan mengerti pula akan Tuhannya.
- Aspek humaniora dan studi-studi yang berkaitan dengannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan mausia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi politik dan seterusnya.
- Aspek material yang bertebaran dijagat raya, atau ilmu yang dibangun berdasarkan observasi dan eksperimen, yaitu dengan uji coba di laboratorium. Dan ilmu inilah yang berkembang di Barat.
Seperti yang dijelaskan oleh Zubeir (dalam Fatimah ed., 1992:104-107), bahwa terdapat empat sumber pengetahuan yang berbeda menurut tingkat dan kualitas kemampuannya, tetapi pada hakikatnya merupakan satu kesatuan, yaitu : 1.) Pengetahuan Inderawi, 2.) Pengetahuan Naluri, 3.) Pengetahuan Rasio, 4.) Pengetahuan intuitif/imajinatif dan 5.) Pengetahuan Transenden/wahyu.
Dan di bab keempat dari buku ini adalah tradisi keilmuan Islam: Revitalisasi Ilmu dan Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim. Gerakan keilmuan Islam dan pengaruhnya terhadap renaissance. Sebagaiman yang dicatat oleh Ahmad Amin (1969:141) bahwa pada awal timbulnya Islam, barulah tujuh belas orang suku Quraisy yang pandai baca-tulis.
Nabi juga menganjurkan para pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis. Aisyah, istrinya pun belajar membaca, anak angkatnya, Zaid bin Haritsah disuruh pula belajar tulisan Ibrani dan Suryani dan masih banyak lagi bukti lainnya. Demikianlah, gerakan melek huruf untuk pertama kalinya dilakukan Islam dalam rangka pengamalan ilmu Pengetahuan. Jika pada mulanya aktivitas keilmuan itu hanya telaah agama yang lebih khusus, maka pada periode berikutnya menjadi berkembang secara menyeluruh dan dalam skop yang lebih luas.
Banyak ahli sejarah membuktikan, bahwa kemunduran umat Islam itu karena dua faktor yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah semakin memudarnya tali persaudaraan umat Islam dan munculnya fanatisme golongan, sedangkan faktor eksternalnya adalah karena kekalahan umat Islam dalam perang salib yang berkepanjangan (Hitti hanya menyebutkan antara tahun 1144-1270) dan adanya serangan yang amat dahsyat dari bala tentara Mongol dibawah komando Jengis Khan dan cucunya Hulagu Khan.
Umat Islam dengan pandangan dunianya sendiri kata Anees (1991:83), memiliki dua tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, pertama untuk membuat dan menghasilkan dasar ilmunya sendiri, yang merupakan sebuah sistem untuk menghasilkan pengetahuan pribumi yang organis. Kedua, tanggung jawab moral terhadapt umat manusia dan alam untuk menjamin bahwa keduanya berada pada kondisi kesejahteraan material dan spiritual yang terbaik.
Islamisasi ilmu pengetahuan yang dikehendaki Al-Faruqi dkk, itu adalah: menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, yaitu memberikan definisi baru, mengatur data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya. Secara global ada lima program kerja yang dirumuskan Al-Faruqi itu:
- Penguasaan disiplin ilmu modern
- Penguasaan khazanah Islam
- Penentuan releveansi Islam bagi masing-masing bidang imu modern
- Pencarian sintesa kreatif antar khazanah Islam dengan ilmu modern
- Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.
Ilmu-ilmu modern barat pun masih bisa dipakai sepanjang relevan dengan nilai Islam. Oleh sebab itu yang harus selalu ditinjau kembali adalah landasan falsafahnya, yang menyangkut tujuan dan kegunaannya. Disinilah tugas ilmuwan Muslim untuk meluruskan dan mengarahkannya sesuai dengan tujuan nilai-nilai Islam. Baik konsep Sardar maupun Al-Faruqi sama-sama memiliki tujuan yang tak berbeda, yaitu: tauhid, khilafah, amanah, 'adalah, dan ishtishlah.Â
Wallahu a'lam bis-shawab..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H