“Dan pertolongan dokter akan sia-sia.” Gadis itu berkata dingin. “Saya sendiri yang meminta dokter mengakhiri hidup saya. Saya rela mati, dokter. Dokter tidak berdosa jika melakukannya. Sebaliknya, dokter berjasa membantu saya lepas dari kemelut hidup.”
Peter terpaku. Ia ingin menjelaskan kepada gadis itu bahwa mengakhiri hidup seseorang, apa pun motivasinya, adalah membunuh. Pada hakekatnya, pembunuhan adalah dosa. Karena itu, ia tidak dapat melakukannya. Tetapi, apakah gadis itu mau mengerti?
“Atau dokter lebih senang melihat saya hidup dalam siksaan penderitaan?” Gadis itu tertawa getir. “Dengarkan, dokter yang kejam! Saya bisa saja mengakhiri hidup saya tanpa bantuan dokter.”
Peter mengeluh diam-diam. Tuhan, berilah dia pengharapan, doanya dalam hati. Sebelum meninggalkan kamar pasien itu, berkali-kali Peter berpesan kepada suster yang bertugas agar tidak lengah.
***
Peter menghela nafas Panjang. Ia tersentak dari lamunannya ketika sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya.
“Sudah lama, ya?” Tessy tersenyum lalu duduk di samping Peter. “Maaf terlambat. Ada kuis tadi.” Lanjutnya menjelaskan.
Peter menatapnya sejenak. Gadis terkasih, batinnya. Ada berapa banyak gadis yang memiliki semangat dan keceriaan seperti yang kamu miliki?
“Kok muram, Piet?” Tessy menatap wajah Peter dengan saksama. “Pasti ada masalah, ya?” tebaknya.
Sekali lagi Peter menghela nafas. Di mata Tessy, hatinya adalah kaca bening yang tembus pandang.
Gadis terkasih ini selalu dapat membaca dengan tepat apa yang ada di hati Peter, dan Peter tidak pernah mampu membohonginya.