Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbanglah Camar (I)

18 Oktober 2022   11:45 Diperbarui: 19 Oktober 2022   16:37 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbanglah camar | Foto: Wirestock/Freepik

Euthanasia!

Untuk ke sekian kalinya kata itu berdentang di hati Peter. Sebuah kebimbangan merayapi dinding hati dokter muda itu.

Sungguh! Ia tidak tahu apakah harus menolak atau menerima permintaan seorang pasiennya untuk melakukan perbuataan tersebut.

“Saya mempunyai hak, dokter. Saya berhak mengakhiri hidup saya melalui tangan dokter.” Terngiang kembali kata-kata pasiennya itu, seorang gadis manis yang harus menanggung cacat di wajah dan kehilangan sepasang kaki akibat kecelakaan lalu lintas.

Baca juga: Anjing Punya Cerita

“Lebih baik saya mati, dokter. Oh, kenapa Tuhan begitu jahat kepada saya? Kenapa saya tidak dibiarkan mati bersama Geld? Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi setelah Geld pergi. Dan saya harus pula menjadi invalid, menjadi sampah seumur hidup? Dokter, bantu saya mengakhiri hidup. Dokter pasti punya cara dan obat untuk melakukannya!”

“Tidak,” Peter menggeleng. Ia tidak akan pernah melupakan kode etik kedokteran yang harus dia pegang teguh.

Peter tidak pernah melupakan sumpah yang telah diucapkannya. “Sekali pun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan.”

“Dokter.”

Peter tersentak ketika suara lemah gadis itu kembali terdengar. “Tolonglah saya, dokter. Saya akan sangat berterima kasih jika dokter mau membantu mengakhiri hidup saya.”

Tangan gadis itu memegang tangan Peter. Sorot matanya sarat dengan permohonan.

“Baiklah,” Peter tersenyum. “Saya akan menolong kamu. Bukan dengan cara membunuhmu sebab itu adalah dosa. Saya akan membantumu menemukan kembali gairah hidup.”

“Dan pertolongan dokter akan sia-sia.” Gadis itu berkata dingin. “Saya sendiri yang meminta dokter mengakhiri hidup saya. Saya rela mati, dokter. Dokter tidak berdosa jika melakukannya. Sebaliknya, dokter berjasa membantu saya lepas dari kemelut hidup.”

Peter terpaku. Ia ingin menjelaskan kepada gadis itu bahwa mengakhiri hidup seseorang, apa pun motivasinya, adalah membunuh. Pada hakekatnya, pembunuhan adalah dosa. Karena itu, ia tidak dapat melakukannya. Tetapi, apakah gadis itu mau mengerti?

“Atau dokter lebih senang melihat saya hidup dalam siksaan penderitaan?” Gadis itu tertawa getir. “Dengarkan, dokter yang kejam! Saya bisa saja mengakhiri hidup saya tanpa bantuan dokter.”

Peter mengeluh diam-diam. Tuhan, berilah dia pengharapan, doanya dalam hati. Sebelum meninggalkan kamar pasien itu, berkali-kali Peter berpesan kepada suster yang bertugas agar tidak lengah.

***

Peter menghela nafas Panjang. Ia tersentak dari lamunannya ketika sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya.

“Sudah lama, ya?” Tessy tersenyum lalu duduk di samping Peter. “Maaf terlambat. Ada kuis tadi.” Lanjutnya menjelaskan.

Peter menatapnya sejenak. Gadis terkasih, batinnya. Ada berapa banyak gadis yang memiliki semangat dan keceriaan seperti yang kamu miliki?

“Kok muram, Piet?” Tessy menatap wajah Peter dengan saksama. “Pasti ada masalah, ya?” tebaknya.

Sekali lagi Peter menghela nafas. Di mata Tessy, hatinya adalah kaca bening yang tembus pandang.

Gadis terkasih ini selalu dapat membaca dengan tepat apa yang ada di hati Peter, dan Peter tidak pernah mampu membohonginya.

“Seorang pasien memaksaku melakukan euthanasia.” Katanya kemudian.

“Wah, jangan mau, Piet. Itu dosa. Sudah ada malaikat Tuhan yang mengemban tugas itu.”

“Aku memang menolaknya. Tetapi dia mengancam hendak bunuh diri.”

“Wah, sebegitu dalam dia tenggelam dalam jurang keputusasaan? Orangtuanya tahu? Eh, penderita penyakit apa dia? Kanker?”

“Korban kecelakaan lalu lintas. Kekasihnya meninggal dalam kecelakaan itu. Dia sendiri harus kehilangan sepasang kaki dan menderita cacat pada wajahnya. Orangtuanya tidak pernah muncul sejak hari pertama dia masuk rumah sakit.”

“Kasihan. Sudah berapa hari?”

“Ini hari ketiga.”

“Kamu harus membantunya, Piet. Kamu harus membantunya menemukan kembali gairah hidup.”

***

Bersambung ke Terbanglah Camar (II)

Siska Dewi untuk Inspirasiana

Cerpen ini telah dimuat di Album Cerpen “Mitra” edisi khusus September 1985

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun