Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara: Dipenjara Itu Tidak Gratis (Bagian 9)

9 Maret 2022   05:51 Diperbarui: 9 Maret 2022   05:55 5838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kisah nyata seorang narapidana | Foto diambil dari Freepik

Lanjutan kisah nyata Kang Win di penjara. Silahkan ikuti akun Inspirasiana ini untuk membaca bagian berikutnya.

Dipenjara itu Tidak Gratis (Melawan Dengan Sabar, Bagian 9)

Hari Senin, 15 April 2019 adalah hari pertama saya berada di Lapas Porong. Sebagai Warga Binaan Permasyarakatan (WBP) baru saya harus menjalani 'karantina' dalam masa pengenalan lingkungan (Mapenaling) maksimal selama 20 hari.

Makan malam hari itu adalah saat pertama saya menikmati menu Lapas. Beberapa kotak makanan diantar ke kamar kami, masing-masing 1 kotak untuk 1 WBP. 

Isinya nasi bersama dengan sepotong daging ayam seukuran jempol kaki orang dewasa dan sepotong tempe. Bukan ayan goreng atau tempe goreng, keduanya hanya direbus. Jangan tanya rasanya, sekedar rasa garam pun tak ada. Semuanya tawar.

Di Lapas, setiap WBP mendapat jatah makan tiga kali sehari yang diantar ke tiap blok di dalam kotak-kotak makanan dengan menu yang berganti-ganti. 

Pernahkah Anda mendengar sop kacang panjang atau sop kubis? Keduanya mungkin hanya ada di sini. Disebut sop karena kelihatan ada irisan wortel dalam volume yang sangat sedikit dibandingkan dengan kacang panjang atau kubisnya.

Rasanya? Jangan ditanya ada sedikit gurih misalnya, seringnya terasa hambar. Ini mewakili gambaran keseluruhan dari jatah makan WBP yang dikenal sebagai nasi cadong, jatah makan yang jauh dari syarat nutrisi umumnya bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan karbohidrat.

Contoh menu nasi cadong yang sempat viral di media sosial | Foto diambil dari Grid
Contoh menu nasi cadong yang sempat viral di media sosial | Foto diambil dari Grid

Nasi cadong biasanya terdiri dari nasi putih seukuran kurang dari separo makan normal di luar. Jadi jatah nasi untuk 2 orang saja masih lebih sedikit dari ukuran normalnya makan di luar untuk satu orang. Adapun lauknya sebutir telur ayam rebus atau sepotong daging ayam dan tempe atau tahu yang juga rebusan.

Sesekali ada juga yang digoreng yaitu ikan mujair, keting, atau ikan asin. Sedangkan sayur biasanya diantar dalam bentuk curah, seperti juga bubur kacang hijau dengan rasa hambar pula yang bergantian dengan telo rebus (ubi jalar) yang merupakan makanan tambahan harian.

Ada pula buah-buahan yang dikirim setiap hari ke blok hunian seperti salak dan apel. Jangan bayangkan apel malang yang ranum atau salak pondoh yang empuk. Yang ada adalah tingkat terendah yang mungkin tidak akan laku kalau dijual di pasaran umum.

Kebutuhan nutrisi ini disiapkan oleh dapur Lapas yang krunya terdiri dari belasan WBP sebagai juru masak dan belasan lainnya sebagai pengantar ke blok-blok hunian. Para WBP ini semua sukarelawan yang tidak dibayar. Padahal intensitas kerja mereka sangatlah tinggi.

Mereka mulai bekerja jam 1 dini hari untuk menyiapkan makan pagi lebih dari 2.500 WBP. Jam 6 pagi makanan sudah harus sampai di blok. 

Setelah itu langsung menyiapkan jatah makan siang dan makan malam. Inilah mungkin yang jadi akar masalah tidak bagusnya nasi cadong yang sampai ke tangan WBP, selain faktor anggaran yang sangat kecil yang diberikan oleh negara.

Sudah bukan rahasia lagi kalau para kru dapur ini secara kolektif 'menggelapkan' sebagian persediaan bahan-bahan masakan, mulai dari beras, daging ayam, kacang hijau, telur ayam, gula pasir, gula merah dan bumbu masak. Setiap hari mereka menjualnya ke WBP yang punya kegiatan produktif pembuatan olahan makanan.

Terlepas dari kondisi jatah makan yang diterima WBP, saya harus memberikan apresiasi kepada pihak Lapas yang mampu mengelola anggaran biaya hidup napi yang diberikan negara yang besaran per orangnya sangat kecil.

Tahun 2020 misalnya anggaran biaya hidup napi itu hanya Rp. 20.000 per hari Rasanya sangat kecil kemungkinan bagi pihak Lapas atau oknum petugas Lapas berani 'bermain-main' dengan anggaran yang sangat kecil itu.

Karena tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi baik dari segi takaran maupun kualitas (meski dapur Lapas punya motto : "Enak dimakan dan layak"), maka bermunculanlah para penjual nasi baik yang resmi dengan ijin dari Lapas (kantin, warung, pujasera) maupun yang tidak resmi.

Setiap WBP mau tidak mau harus menambah takaran makanannya dengan caranya masing-masing, baik dengan membeli nasi dan atau lauk yang sudah jadi ataupun dengan memasak sendiri. Pihak Lapas memang memberikan keleluasaan bagi para WBP untuk masak makanan di kamar masing-masing.

Jadi dari sisi kebutuhan makan saja, hidup di penjara itu ternyata tidak sepenuhnya gratis. Kalaupun seorang WBP berani hanya mengandalkan nasi cadong untuk kebutuhan nutrisinya, dia setidaknya harus menyiapkan uang untuk air minum.

Air minum memang disediakan secara gratis, namun setiap kamar harus membayar jasa kepada WBP yang memegang semacam "konsesi" pengantaran air minum ke kamar-kamar. Biaya minimal lain yang harus ditanggung setiap WBP adalah biaya kebersihan blok yang dikelola oleh PK (Pemuka Blok/Tamping Utama).

Secara minimal, biaya hidup di penjara khususnya di Lapas Porong bisa dikatakan relatif murah. Uang seribu rupiah masih laku untuk dibelanjakan. Bandingkan dengan ketika saya menghuni Rutan, Rp. 50.000,00 adalah pecahan uang terkecil yang 'laku' di sana.

Sebagaimana yang berlaku secara umum di masyarakat, tinggi rendahnya biaya hidup di penjara akan sangat tergantung kepada gaya hidup dari masing-masing WBP.

Iuran-iuran yang ditanggung seorang WBP misalnya berbeda-beda tergantung dimana ia 'berkamar'. Konon di blok yang sebagian besar penghuninya napi berkantong tebal iuran bulanannya sedikitnya mencapai Rp 500.000,00. 

Di blok lain yang sebenarnya bukan blok hunian seperti di Blok Pengamanan dan Blok Kesehatan berkisar Rp. 250.000,000. Sedangkan di blok-blok lainnya berbeda antara yang menghuni kamar kecil dengan yang menghuni kamar besar.

Angka-angka ini bukanlah angka pasti, karena PK masing-masing blok sebagai pengelola dana iuran itu biasanya akan sangat fleksibel dengan melihat kondisi tiap WBP. Karena pertimbangan tertentu, bisa saja seorang WBP dibebaskan dari kewajiban iuran-iuran.

Perlu dicatat ya bahwa iuran-iuran yang saya sebut di atas bukanlah iuran yang ditarik oleh pihak Lapas. Saya harus memberikan apresiasi atas komitmen pihak Lapas Porong untuk menutup rapat-rapat peluang terjadinya 'pungli' dalam pelayanan kepada para WBP sejalan dengan penerapan WBK (Wilayah Bebas Korupsi).

Tentu saja ini tidak 100% mampu menghilangkan praktik-praktik 'nakal' dari beberapa oknum petugas. Namun setidaknya ini merupakan hal positif yang dirasakan oleh sebagian besar penghuni Lapas.

Dalam hal makan, dengan Rp. 10.000,00 sudah bisa mendapatkan satu porsi makan yang cukup layak terdiri dari nasi dengan takaran normal dan satu jenis lauk. Semangkuk bakso bisa juga diperoleh dengan sepuluh ribu itu. Bagi yang terbiasa makan 'enak' tersedia juga menu-menu makan dengan harga di kisaran Rp. 25.000 - Rp. 40.000 per porsi.

Mereka yang punya anggaran terbatas, jika ingin menambah sarapan pagi, dengan Rp. 5.000 sudah bisa mendapatkan segelas kopi panas, sepotong kue jajan, dan sebatang rokok kretek.

Kalau harga kebutuhan makan (seperti nasi plus lauk, kopi panas, atau kue jajan pasar) yang bisa dikatakan relatif sangat terjangkau, harga-harga barang kebutuhan sehari-hari lainnya termasuk tinggi bisa mencapai dua kali lipat atau lebih dari harga di luar.

Mi instan misalnya dijual dengan harga Rp. 4.000/bungkus. Sabun pencuci baju bungkusan kecil yang di luar hanya Rp. 1.000/bungkus disini menjadi Rp. 5.000/bungkus.

Kondisi di atas adalah kondisi yang bisa dikatakan normal dalam hari-hari di Lapas Porong. Di luar itu, biaya hidup bisa saja jauh lebih tinggi seperti yang berlaku bagi mereka yang tetap bersentuhan dengan narkoba, baik sebagai pengedar maupun pengguna.

Biaya hidup yang sangat tinggi bahkan bisa tampak sangat jauh dari nalar dan akal sehat juga bisa kita saksikan di Lapas. Yang ini tentu saja hanya berlaku untuk beberapa WBP tertentu.

 Jadi begitulah sahabat pembaca, dipenjara itu ternyata tidak gratis.

Salam. Winardi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun