Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara: Dipenjara Itu Tidak Gratis (Bagian 9)

9 Maret 2022   05:51 Diperbarui: 9 Maret 2022   05:55 5838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kisah nyata seorang narapidana | Foto diambil dari Freepik

Ada pula buah-buahan yang dikirim setiap hari ke blok hunian seperti salak dan apel. Jangan bayangkan apel malang yang ranum atau salak pondoh yang empuk. Yang ada adalah tingkat terendah yang mungkin tidak akan laku kalau dijual di pasaran umum.

Kebutuhan nutrisi ini disiapkan oleh dapur Lapas yang krunya terdiri dari belasan WBP sebagai juru masak dan belasan lainnya sebagai pengantar ke blok-blok hunian. Para WBP ini semua sukarelawan yang tidak dibayar. Padahal intensitas kerja mereka sangatlah tinggi.

Mereka mulai bekerja jam 1 dini hari untuk menyiapkan makan pagi lebih dari 2.500 WBP. Jam 6 pagi makanan sudah harus sampai di blok. 

Setelah itu langsung menyiapkan jatah makan siang dan makan malam. Inilah mungkin yang jadi akar masalah tidak bagusnya nasi cadong yang sampai ke tangan WBP, selain faktor anggaran yang sangat kecil yang diberikan oleh negara.

Sudah bukan rahasia lagi kalau para kru dapur ini secara kolektif 'menggelapkan' sebagian persediaan bahan-bahan masakan, mulai dari beras, daging ayam, kacang hijau, telur ayam, gula pasir, gula merah dan bumbu masak. Setiap hari mereka menjualnya ke WBP yang punya kegiatan produktif pembuatan olahan makanan.

Terlepas dari kondisi jatah makan yang diterima WBP, saya harus memberikan apresiasi kepada pihak Lapas yang mampu mengelola anggaran biaya hidup napi yang diberikan negara yang besaran per orangnya sangat kecil.

Tahun 2020 misalnya anggaran biaya hidup napi itu hanya Rp. 20.000 per hari Rasanya sangat kecil kemungkinan bagi pihak Lapas atau oknum petugas Lapas berani 'bermain-main' dengan anggaran yang sangat kecil itu.

Karena tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi baik dari segi takaran maupun kualitas (meski dapur Lapas punya motto : "Enak dimakan dan layak"), maka bermunculanlah para penjual nasi baik yang resmi dengan ijin dari Lapas (kantin, warung, pujasera) maupun yang tidak resmi.

Setiap WBP mau tidak mau harus menambah takaran makanannya dengan caranya masing-masing, baik dengan membeli nasi dan atau lauk yang sudah jadi ataupun dengan memasak sendiri. Pihak Lapas memang memberikan keleluasaan bagi para WBP untuk masak makanan di kamar masing-masing.

Jadi dari sisi kebutuhan makan saja, hidup di penjara itu ternyata tidak sepenuhnya gratis. Kalaupun seorang WBP berani hanya mengandalkan nasi cadong untuk kebutuhan nutrisinya, dia setidaknya harus menyiapkan uang untuk air minum.

Air minum memang disediakan secara gratis, namun setiap kamar harus membayar jasa kepada WBP yang memegang semacam "konsesi" pengantaran air minum ke kamar-kamar. Biaya minimal lain yang harus ditanggung setiap WBP adalah biaya kebersihan blok yang dikelola oleh PK (Pemuka Blok/Tamping Utama).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun