Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara: Saatnya Sidang, Saatnya Rekreasi (Bagian 6)

6 Maret 2022   10:14 Diperbarui: 6 Maret 2022   10:16 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisahku di penjara: saatnya sidang, saatnya rekreasi (bagian 6) - Ekaterina B/Pexels

Kisah ini adalah lanjutan dari bagian sebelumnya. Inilah kisah nyata Kang Win di penjara.

(Melawan Dengan Sabar: Bagian 6)

 *

Ada dua tanggal yang sangat saya nantikan ketika 'berkamar' di Rutan Kejaksaan Tinggi. Kedua tanggal itu adalah 10 Mei 2018 dan 5 Juni 2018.

Tanggal 10 Mei 2018 sangat saya nantikan karena pada tanggal itu nasib saya sebagai tersangka akan ditentukan. Oh ya, perlu saya informasikan bahwa seseorang yang ditahan karena menjalani proses hukum akan menjalani beberapa masa penahanan. Masa penahanan pertama akan berlangsung selama 20 hari.

Total masa penahanan yang diizinkan KUHP untuk menahan seseorang dalam satu tahap proses hukum adalah 120 hari. Ini adalah batas masa penahanan yang menjadi kewenangan Jaksa Penyidik.

Setelah itu kewenangan akan beralih ke Pengadilan Negeri dan selanjutnya ke Pengadilan Tinggi. Nah, jika dalam 120 hari itu seorang tersangka belum juga berubah status, artinya proses penyidikan belum tuntas, maka tersangka harus dibebaskan dari tahanan.

Dalam kasus saya, hingga 119 hari penahanan status saya belum juga jelas. Maka jika esok harinya, yakni tepat 120 hari, status saya tidak berubah maka saya akan bebas demi hukum. Jauh sebelum itu saya sudah memprediksi bahwa 120 hari itu akan tercapai dan saat itulah saya akan masuk ke tahap penuntutan.

Banyak hal yang menjadi dasar saya untuk sampai kepada prediksi itu. Salah satunya adalah kerancuan atas penerapan pasal yang diancamkan kepada saya. Hal lain adalah ucapan dari pejabat kejaksaan yang paling bertanggungjawab atas kasus saya.

Pejabat itu saat mengobrol santai berdua di salah satu ruangan rutan mengatakan langsung kepada saya bahwa semua laporan yang datang dari 'Ibu X' pasti lanjut, karena besarnya kontribusi yang bersangkutan kepada kejaksaan.

Itulah kenapa saya menantikan tanggal itu. Bukan karena berharap bebas demi hukum, tapi sekedar ingin membuktikan kebenaran prediksi saya.

10 Mei 2018 akhirnya tiba juga. Waktu menunjukkan beberapa menit menjelang Pukul 16:00 WIB ketika berkas saya langsung dinyatakan P21 (lengkap). Tidak ada bolak balik berkas (P16) karena Penyidik dan JPU berada di satu atap, yaitu kejaksaan. 

Dengan P21 itu berarti saya kini 'naik pangkat' jadi terdakwa. Benar-benar terjadi saat last minute. Salahkan kejaksaan? Tidak, karena masih dalam koridor KUHP. Itulah wajah hukum kita.

Tanggal kedua yang sangat saya nantikan adalah tanggal 5 Juni 2018. Pada tanggal itu saya akan menjalani sidang perdana di sebuah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan agenda Pembacaan Dakwaan oleh JPU.

Terus terang saya tidak menantikan sidang itu. Bagi saya sidang itu biasa-biasa saja dan saya bisa memprediksi hasil akhir dari rangkaian sidang yang akan saya jalani nantinya. Saya bisa memprediksikan hal itu bukan karena saya sudah 'mengatur' segala sesuatunya.

Bagaimana saya bisa mengatur itu, saya bukan orang besar yang memiliki backing atau dukungan kekuatan politik yang besar pula. Saya bukanlah siapa-siapa. Saya juga tidak memiliki kekuatan uang yang bisa dimainkan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan.

Saya hanyalah 'koruptor kere' yang tidak perlu 'dimiskinkan' oleh hukum, karena saya hanyalah 'koruptor abal-abal'.

Kalaupun saya merasa 'gagah' itu hanya karena didakwa merugikan negara dalam jumlah yang relatif besar, yaitu Rp. 28 milyar lebih. Cukup keren dan bergengsi. Maka kalau saya datang ke pengadilan, duduk di kursi terdakwa dengan perasaan gagah semata-mata untuk berjuang membuktikan bahwa kerugian negara itu tidak pernah terjadi, apa pun konsekuensinya termasuk dihukum berat karena dianggap tidak kooperatif.

Hari 'rekreasi' itu tiba

Sahabat pembaca, kembali ke judul. Tanggal 5 Juni 2018 betul-betul saya nantikan. Seperti saya sebut di atas, di tanggal itu saya akan menjalani sidang pertama di Pengadilan. Bagi kami sebagian dari para penghuni Rutan, hari sidang berarti hari 'rekreasi'. Kami bisa keluar dari Rutan meski dengan 'pengawalan'.

Tentang pengawalan saat pergi ke tempat sidang dan pulang ke Rutan itu berbeda-beda pengalaman dari setiap terdakwa. Bagi terdakwa yang JPU-nya dari KPK dan kebetulan ditahan di Rutan Polda maka pengawalan akan dilakukan oleh dua anggota Korps Brigade Mobil (Brimob) dan dua anggota polisi petugas Rutan Polda sendiri dengan senjata laras panjang menemani mereka.

Beruntung bagi tahanan KPK yang tidak ditahan di Polda dan antar jemput sidangnya dititipkan kepada Kejari atau Kejati. Dalam hal ini pengawalannya cukup longgar hanya oleh seorang pengawal KPK dibantu seorang staf kejaksaan plus seorang anggota Kepolisian Sektor (Polsek) terdekat. Itu pun anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tersebut hanya menunggu di tempat sidang.

Kendaraan yang membawa tahanan pun berbeda-beda. Rombongan tahanan yang terkenal sebagai kasus korupsi berjamaah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, misalnya, karena jumlahnya banyak diangkut dengan bis tahanan dengan kedua tangan diborgol disertai pengawalan lengkap. 

Sedangkan untuk tahanan lain biasanya menggunakan mobil tahanan tanpa borgol. Sementara itu beberapa tahanan yang rela mengeluarkan sejumlah uang, mereka bisa menggunakan kendaraan rental minibus.

Saya sendiri cukup beruntung karena setiap sidang pergi pulang bersama satu atau dua anggota JPU dengan menggunakan kendaraan operasional Kejati. Hanya 2 atau 3 kali dari belasan kali sidang berangkat menggunakan mobil tahanan.

Ini bukan karena saya punya cukup uang untuk 'mengatur', namun semata-mata karena hubungan yang baik secara personal dengan mereka. Jangan keliru, seperti saya ungkapkan dalam tulisan sebelumnya, hubungan seperti ini sama sekali tidak berpengaruh kepada proses hukum. Ini terbukti dimana saya mendapat tuntutan hukuman yang cukup tinggi.

Bagi saya perjalanan pergi dan pulang sidang betul-betul menjadi rekreasi. Seminggu sekali bisa melihat ramainya lalu lintas, menikmati frontage road sebuah jalan yang menjadi kebanggaan warga kota sambil mengenang masa-masa hidup di kota itu dari 23 tahun sampai 10 tahun sebelumnya.

Ketika sampai di Pengadilan biasanya sekitar Jam 10 pagi, rekreasi lain sudah menanti. Kami biasanya harus menunggu giliran sidang berjam-jam lamanya bahkan bisa sampai larut malam. Saat menunggu sidang itu setiap tahanan harus berada di ruang tunggu khusus berupa sel.

Setiap tahanan yang mengikuti sidang akan mendapatkan makan siang dan atau makan malam yang disediakan oleh petugas pendamping tahanan berupa nasi kotak yang lumayan berkualitas, jauh berbeda dengan jatah makan di rutan. Dari sel itu kita masih bisa memesan makanan atau minuman.

Jika waktu salat tiba, kita diizinkan melaksanakan salat di musala yang terletak di halaman belakang Gedung Pengadilan. Selesai salat kita bisa mencuri waktu untuk sejenak bersantai minum kopi di Pusat Jajanan Serba Ada (Pujasera) yang berada persis di depan musala.

Paling beruntung ketika saya dapat giliran sidang di urutan atas dan saat selesai sidang JPU yang pergi bersama masih harus mengikuti sidang yang lain. Itu artinya saya bisa bersantai lebih lama di Pujasera sampai saatnya pulang.

Kadang-kadang meski sama-sama sudah menyelesaikan sidang, JPU menawari saya untuk tidak langsung pulang saat itu juga. Ini saatnya JPU itu mentraktir saya. Jadi kami bisa ngopi bareng atau menikmati gado-gado, bakso, dan aneka macam makanan yang tersedia sambil mengobrol ngalor ngidul di luar urusan proses hukum yang berjalan. Saat perjalanan pulang, saya juga diizinkan untuk mampir belanja di minimarket yang dilalui.

Itulah rekreasi saya selama menjadi tahanan. Beberapa tahanan memilih cara rekreasi yang lain. Sepulang sidang mampir makan di restoran ternama, misalnya. Di tempat itu keluarganya sudah menunggu.

Bagi yang rumahnya berada di kota itu, pulang dan tidur di rumah adalah pilihan rekreasinya. Bagi mereka yang berasal dari luar kota, bisa memilih menginap di hotel bersama istrinya.

Ada juga yang memilih rekreasi dengan memanfaatkan ijin pemeriksaan kesehatan di sebuah rumah sakit. Pilihan-pilihan rekreasi yang saya sebut di atas tentu hanya berlaku untuk tahanan berkantong tebal yang rela merogoh sakunya dalam-dalam.

Sahabat pembaca, ternyata enak juga ya jadi tahanan itu. Adakah yang mau jadi tahanan? Salam.

Winardi.

Nantikan bagian selanjutnya dengan tajuk Hantu itu Bernama Kooperatif di akun ini. Silakan ikuti akun Inspirasiana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun