Aku tak suka ketinggian, itu sebabnya aku menyukai lautan. Menatap ombak berkejaran, dan membenamkan kerinduan di batas cakrawala. Di langit sore, mungkin kau cuma melihat senja kemerahan. Namun di mataku, itulah kenangan yang timbul tenggelam. Bersama kerinduan yang tak pernah padam.
"Cita-citamu boleh setinggi langit. Ilmu yang kau tuntut, boleh sedalam lautan. Namun hatimu harus tetap membumi."
Kata-kata bapak masih kuingat. Begitu banyak harapan yang tertinggal. Dan di tanganku, semuanya harus terwujudkan.
Tali jaring tanpa sengaja menggores telapak tangan. Lamunan tentang bapak mengalihkan semuanya. Kerinduan yang muncul setiap menatap lautan. Do'a pun bergulir bersama ombak yang berkejaran.
Bang Imron melemparkan lap ke arahku. Isyarat untuk segera membersihkan tetesan darah di tangan. Malam ini kami akan berlayar menangkap ikan. Kulihat keyakinan penuh pada raut wajahnya. Dia hafal betul waktu terbaik menangkap ikan.
Bang Imron kami anggap saudara, ia sudah puluhan tahun ikut mendiang bapak melaut. Menjadi penolong keluarga kami yang tulus. Mengambil tanggung jawab itu sejak bapak tiada.
Dan hari di mana ia tak menemani bapak melaut, hari itu bapak dinyatakan hilang dan tak kembali. Perahunya berhasil ditemukan. Namun tidak dengan bapak. Ingatan tentang hari itu selalu ingin kuhapuskan.
Langit menghitam. Deru ombak mengantar perahu kami menuju lautan lepas. Dua buah lampu minyak dan langit berbintang adalah pelita. "Semoga malam ini, tangkapan ikan melimpah."
Pedoman kami hanyalah langit malam. Telunjuk Bang Imron merangkai garis di antara hamparan bintang-bintang. Menentukan lokasi kawanan ikan yang bergerombol melintasi samudera.
Kulihat dari kejauhan kawanan ikan selar melompat-lompat di bawah cahaya rembulan. Dan ketika hendak memutar haluan, Bang Imron menahanku. Ia menunjuk lurus ke depan. Kami pun melewatkan satu kesempatan, pikirku.
"Kenapa tak boleh, kita bisa pulang lebih cepat, Bang!"
Bang Imron hanya menggeleng. Ia memang tunawicara sejak lahir. Kemudian ia memberi isyarat berupa jentikan jari. Kutahu pasti maksudnya soal harga ikan yang murah. Ia mencari ikan dengan harga jual tinggi.
Ilmu melaut belum kupahami betul. Dahulu bapak melarangku ikut berlayar. Beliau lebih senang aku berangkat sekolah. Katanya, malu jika guru sampai datang ke rumah, dan melapor aku sering tertidur di kelas.
Benar saja, Bang Imron menyasar gerombolan ikan sarden. Dan kami pun melaju dengan rasa senang bukan kepalang. Ia tengah mempersiapkan jaring. Dan aku bersiaga menerjang ombak.
Namun ternyata, bukan kami satu-satunya pemburu di lautan ini. Kawanan hiu putih meluncur di depan haluan. Mereka berputar-putar menggiring gerombolan sarden dalam lingkaran.
Aku menanti aba-aba melempar jaring. Namun Bang Imron masih bertahan. Ia tak mau jaring kami menjerat hiu-hiu itu. Ia seolah memintaku bersabar.
Dan begitu kulihat hiu-hiu menyelam ke dasar lautan. Kuhempaskan jaring dan tak melewatkan kesempatan. Nahas, jaring terasa berat kutarik dan aku pun terpelanting ke laut. Namun genggamanku pada ujung jaring tak akan kulepaskan.
Deru angin semakin kuat. Ombak berganti menggulung perahu kami. terombang-ambing. Dingin dan limbung. Separuh nyawaku tertahan di lautan.
Bang Imron mengangkatku ke atas perahu. Kami menarik jaring bersama-sama. Dan tiba-tiba seekor hiu putih meloncat dari balik jaring, ekornya menghantam kepalaku. Dan semuanya gelap seketika.
Bunyi burung camar terdengar ramai saat aku siuman. Perahu kami sudah penuh ikan sarden. Bang Imron melakukan semuanya sendirian. Ia mengambil botol minum dan memberikannya padaku.
Ia hanya tersenyum dan menggeleng. Seolah-olah ingin menyampaikan, "Kamu harusnya pergi sekolah, bukan mencari ikan di malam buta." Hal yang sama, sering disampaikan mendiang bapak.
Pagi yang cerah di dermaga. Perahuku selesai ditambatkan. Hasil tangkapan ikan hari ini sudah di bawa ke daratan. Dan diriuhnya pelelangan ikan, terselip harapan.
Lelaki tua bernama Wak Abun memilah hasil tangkapanku. Menaruhnya dalam keranjang terpisah, untuk ditimbang. Ia berkata, "Deni, banyak betul tangkapanmu hari ini!"
"Ini yang terakhir, Wak. Sore ini aku berangkat ke Jakarta," ucapku.
"Jadi kau lanjut sekolah rupanya?" Wak Abun membiarkan orang lain mengerjakan aktivitasnya. Dan berjalan ke arahku.
"Ya, sambil bekerja, Wak!" jawabku.
"Benar kata ayahmu, banyak orang bekerja keras di kampung ini. Namun yang pintar tak pernah kembali," ucapnya.
"Aku pasti kembali, Wak." ucapku seraya melangkah pulang.
Hasil bagianku dari penjualan ikan sudah di tangan ibu. Beliau memasukkan uang itu pada dompetku. Dompet kulit milik ayahku.
Sejak bapak pergi, ibu selalu berusaha memintaku melanjutkan sekolah. Ikut paman Idris di kota. Dan meraih apapun cita-citaku kelak. Namun aku selalu menolak.
Hingga Bang Imron menyadarkanku. Bahwa semuanya membutuhkan pengalaman dan ilmu. Kerja keras harus sepadan dengan hasil usaha yang dilakukan. Dan sore ini, aku memutuskan untuk pergi.
Bus lintas akan melewati jalan ini dari arah Pekanbaru. Menuju Jakarta di Jawa sana. Paman berjanji akan memberiku pekerjaan. Dan mendukung melanjutkan pendidikanku kemudian.
Bang Imron berlari tergopoh-gopoh membawa sebungkus ikan asap. Ia memberikan itu sebagai oleh-oleh. Segaris senyum dan tatapan haru membuatku kembali teringat bapak.
Senja datang dan pergi tanpa permisi. Dan aku masih terus mengenang. Bukankah ada janji yang harus ditepati. Dan banyak kisah yang harus diceritakan. Meski kutahu bapak takkan kembali. Di lautan kutitipkan do'a.
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Ditulis oleh Indra Rahadian untuk Inspirasiana.
Tulisan ini berhak cipta.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H