Pagi yang cerah di dermaga. Perahuku selesai ditambatkan. Hasil tangkapan ikan hari ini sudah di bawa ke daratan. Dan diriuhnya pelelangan ikan, terselip harapan.
Lelaki tua bernama Wak Abun memilah hasil tangkapanku. Menaruhnya dalam keranjang terpisah, untuk ditimbang. Ia berkata, "Deni, banyak betul tangkapanmu hari ini!"
"Ini yang terakhir, Wak. Sore ini aku berangkat ke Jakarta," ucapku.
"Jadi kau lanjut sekolah rupanya?" Wak Abun membiarkan orang lain mengerjakan aktivitasnya. Dan berjalan ke arahku.
"Ya, sambil bekerja, Wak!" jawabku.
"Benar kata ayahmu, banyak orang bekerja keras di kampung ini. Namun yang pintar tak pernah kembali," ucapnya.
"Aku pasti kembali, Wak." ucapku seraya melangkah pulang.
Hasil bagianku dari penjualan ikan sudah di tangan ibu. Beliau memasukkan uang itu pada dompetku. Dompet kulit milik ayahku.
Sejak bapak pergi, ibu selalu berusaha memintaku melanjutkan sekolah. Ikut paman Idris di kota. Dan meraih apapun cita-citaku kelak. Namun aku selalu menolak.
Hingga Bang Imron menyadarkanku. Bahwa semuanya membutuhkan pengalaman dan ilmu. Kerja keras harus sepadan dengan hasil usaha yang dilakukan. Dan sore ini, aku memutuskan untuk pergi.
Bus lintas akan melewati jalan ini dari arah Pekanbaru. Menuju Jakarta di Jawa sana. Paman berjanji akan memberiku pekerjaan. Dan mendukung melanjutkan pendidikanku kemudian.