"Kenapa tak boleh, kita bisa pulang lebih cepat, Bang!"
Bang Imron hanya menggeleng. Ia memang tunawicara sejak lahir. Kemudian ia memberi isyarat berupa jentikan jari. Kutahu pasti maksudnya soal harga ikan yang murah. Ia mencari ikan dengan harga jual tinggi.
Ilmu melaut belum kupahami betul. Dahulu bapak melarangku ikut berlayar. Beliau lebih senang aku berangkat sekolah. Katanya, malu jika guru sampai datang ke rumah, dan melapor aku sering tertidur di kelas.
Benar saja, Bang Imron menyasar gerombolan ikan sarden. Dan kami pun melaju dengan rasa senang bukan kepalang. Ia tengah mempersiapkan jaring. Dan aku bersiaga menerjang ombak.
Namun ternyata, bukan kami satu-satunya pemburu di lautan ini. Kawanan hiu putih meluncur di depan haluan. Mereka berputar-putar menggiring gerombolan sarden dalam lingkaran.
Aku menanti aba-aba melempar jaring. Namun Bang Imron masih bertahan. Ia tak mau jaring kami menjerat hiu-hiu itu. Ia seolah memintaku bersabar.
Dan begitu kulihat hiu-hiu menyelam ke dasar lautan. Kuhempaskan jaring dan tak melewatkan kesempatan. Nahas, jaring terasa berat kutarik dan aku pun terpelanting ke laut. Namun genggamanku pada ujung jaring tak akan kulepaskan.
Deru angin semakin kuat. Ombak berganti menggulung perahu kami. terombang-ambing. Dingin dan limbung. Separuh nyawaku tertahan di lautan.
Bang Imron mengangkatku ke atas perahu. Kami menarik jaring bersama-sama. Dan tiba-tiba seekor hiu putih meloncat dari balik jaring, ekornya menghantam kepalaku. Dan semuanya gelap seketika.
Bunyi burung camar terdengar ramai saat aku siuman. Perahu kami sudah penuh ikan sarden. Bang Imron melakukan semuanya sendirian. Ia mengambil botol minum dan memberikannya padaku.
Ia hanya tersenyum dan menggeleng. Seolah-olah ingin menyampaikan, "Kamu harusnya pergi sekolah, bukan mencari ikan di malam buta." Hal yang sama, sering disampaikan mendiang bapak.