Kisah ketiga saya dengar ketika saya ikut rombongan naik kapal ke kampung di hulu sungai. Warga berkata, jika nanti berjumpa kawanan gajah melintas di sungai, perjalanan harus dibatalkan. Wajib pulang ke rumah.
Ini adalah pantangan adat. Warga setempat meyakini, menjumpai gajah yang melintas di sungai adalah tanda bahwa akan ada bahaya di depan nanti. Gajah Kalimantan menjadi tanda bahwa jika perjalanan nekat dilanjutkan, akan terjadi sesuatu musibah.
Saya sebagai "orang luar" mencoba memahami logika di balik kearifan lokal ini. Menurut saya, di balik pantangan adat ini ada nilai penghargaan terhadap hewan sebagai bagian integral dari kehidupan manusia.
Hewan seperti gajah pun berperan sebagai makhluk penyampai pesan pada manusia. Hewan bukan spesies rendahan yang bisa diperlakukan sesukanya oleh manusia yang merasa diri paling berkuasa di alam.Â
Wasana kata
Memang benar, saya belum sempat melihat langsung gajah Kalimantan di Nunukan. Akan tetapi, kisah-kisah tentang gajah dan juga kotoran si gajah sudah lebih dari cukup untuk menimba kearifan tentang alam.Â
Salam hormat kita untuk para "nenek" di Kalimantan dan juga warga sekitar yang sangat arif menjaga kelestarian makhluk lembut ciptaan Tuhan. Salam lestari.Â
R.B untuk Inspirasiana. Hargai hak cipta. Bagikan dalam bentuk artikel Kompasiana saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H