Sebelas tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi rekan saya yang bertugas di Sebuku, Nunukan, Kalimantan Utara. Waktu itu saya juga bertugas di provinsi yang sama, namun terpisah sekitar 8 jam perjalanan.
Salah satu kenangan tak terlupakan dari kunjungan dua pekan ke Nunukan adalah "menjumpai" secara tidak langsung gajah kerdil di Kalimantan. Meskipun saya hanya sempat melihat "ranjau darat" yang ditinggalkan kawanan gajah kerdil, saya sudah merasa dekat dengan spesies yang sangat langka ini. Diperkirakan hanya tersisa sekitar 1.500 gajah borneo di alam liar.
Perbandingan gajah kerdil di Kalimantan dengan gajah Afrika dan Asia
Gajah sabana Afrika memiliki berat sekitar 8-9 ton dan tingginya antara 3 dan 4 meter. Gajah hutan Afrika sedikit lebih kecil dari gajah sabana Afrika. Sementara itu, gajah Asia memiliki berat 5.500 kg (sekitar 6 ton) dan paling tinggi setinggi 3,5 meter.
Gajah kerdil borneo (Elephas maximus borneensis) merupakan subspesies dari gajah asia (Elephas maximus) . Gajah kerdil di Kalimantan saat ini hanya bisa ditemukan di hutan timur laut Kalimantan. Artinya, wilayah Malaysia dan Indonesia.
Gajah mini ini adalah subspesies gajah terkecil di dunia. Tingginya sekitar 2,5 meter. Gajah kerdil di Kalimantan memiliki telinga besar, perut bulat, dan ekor panjang yang sering menyentuh tanah saat mereka berjalan.Â
Gajah betina lebih kecil dari gajah jantan. Berat badan gajah kerdil ini antara 3-5 ton. Spesies ini dapat hidup antara 55-70 tahun. Makanan utamanya rumput, daun, buah, dan tanaman lainnya.
Gajah yang "lembut"
Gajah borneo di Kalimantan adalah spesies yang lebih lembut atau kurang agresif daripada gajah Asia dan Afrika. Sifat damai gajah kerdil borneo membuat beberapa ilmuwan percaya bahwa kawanan gajah borneo mungkin berasal dari gajah yang sudah dipelihara manusia.
Pada abad ke-17, Sultan Sulu diberi hadiah gajah yang lantas dilepasliarkan ke hutan Kalimantan. Akan tetapi, ada juga penjelasan lain soal asal-usul Gajah di Kalimantan.Â
Perbandingan DNA dengan subspesies gajah lainnya menemukan bahwa gajah Kalimantan berasal dari dataran Sunda (Sunda plateau) dan menjadi populasi yang terisolasi dan berbeda secara genetik 300.000 tahun yang lalu.
Kisah pertama, gajah pengingat dan pelacak yang baik
Salah satu kisah yang saya dengar dari warga adalah bahwa gajah kerdil Kalimantan adalah pengingat dan pelacak yang baik. Artinya, gajah ini punya ingatan kuat.Â
Seorang petugas konservasi menembakkan suntikan bius. Tentu menyakitkan juga bagi si gajah. Sayangnya suntikan bius itu gagal membuat pingsan si gajah.Â
Malam harinya, si gajah yang belum pingsan ini mendatangi rumah tempat tinggal petugas konservasi yang tadi siang mencoba melumpuhkannya dengan bius. Rupanya gajah bisa melacak keberadaan si petugas penembak bius.
Si gajah memang tidak merusak rumah, namun dia sempat mencabut beberapa batang pohon di kebun. Wah, meskipun "lembut", si gajah bisa marah juga ya. Hehehe.Â
Kisah kedua, jangan melindas kotoran "si nenek"
Saat saya dibonceng teman saya, saya mengamati bahwa teman saya ini berusaha menghindari kotoran gajah agar tidak terlindas ban motor. Â "Jangan melindas kotoran si nenek," kata teman saya.
Si nenek yang dimaksud adalah gajah Kalimantan. Warga sekitar tidak berani menyebut kata "gajah". Ini adalah kearifan lokal untuk menghormati gajah sebagai "nenek moyang" yang perlu dihormati. Bahkan kotoran si nenek pun tidak boleh dilindas ban motor.Â
Saya mencoba menghubungkan kisah kedua ini dengan kisah pertama. Selain demi kebersihan ban motor kita, mungkin juga maksudnya agar si gajah tidak bisa mengendus kotoran yang mengarah ke tempat tinggal si pengendara motor :) Wah, gawat juga kalau malam-malam didatangi si nenek padahal kita hanya melindas kotorannya saja. Wkkk...
Kisah ketiga, wajib pulang jika berjumpa kawanan gajah melintas di sungai
Kisah ketiga saya dengar ketika saya ikut rombongan naik kapal ke kampung di hulu sungai. Warga berkata, jika nanti berjumpa kawanan gajah melintas di sungai, perjalanan harus dibatalkan. Wajib pulang ke rumah.
Ini adalah pantangan adat. Warga setempat meyakini, menjumpai gajah yang melintas di sungai adalah tanda bahwa akan ada bahaya di depan nanti. Gajah Kalimantan menjadi tanda bahwa jika perjalanan nekat dilanjutkan, akan terjadi sesuatu musibah.
Saya sebagai "orang luar" mencoba memahami logika di balik kearifan lokal ini. Menurut saya, di balik pantangan adat ini ada nilai penghargaan terhadap hewan sebagai bagian integral dari kehidupan manusia.
Hewan seperti gajah pun berperan sebagai makhluk penyampai pesan pada manusia. Hewan bukan spesies rendahan yang bisa diperlakukan sesukanya oleh manusia yang merasa diri paling berkuasa di alam.Â
Wasana kata
Memang benar, saya belum sempat melihat langsung gajah Kalimantan di Nunukan. Akan tetapi, kisah-kisah tentang gajah dan juga kotoran si gajah sudah lebih dari cukup untuk menimba kearifan tentang alam.Â
Salam hormat kita untuk para "nenek" di Kalimantan dan juga warga sekitar yang sangat arif menjaga kelestarian makhluk lembut ciptaan Tuhan. Salam lestari.Â
R.B untuk Inspirasiana. Hargai hak cipta. Bagikan dalam bentuk artikel Kompasiana saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H