Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gembel di Depan Rumah

5 Maret 2021   11:23 Diperbarui: 5 Maret 2021   11:24 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gembel depan rumah - Photo by Ibrahim Rifath on Unsplash

Pada mulanya saya ragu untuk tinggal bersama orang yang tidak terlalu dekat, apalagi jarang sekali berjumpa. Saya bukan tipe orang yang bisa dengan mudah mencairkan suasana dan akrab dengan orang. Tetapi, karena tidak ada lagi kerabat di kota ini dan saya harus melanjutkan kehidupan, akhirnya saya memutuskan mengiyakan pesan ibu sebelum dia meninggal. Hidup bersama bibi, adik ibu di kota seberang.

"Kenapa paman tertawa?"

Paman menggeleng.

"Tidak kenapa-kenapa."

Setelah mengembuskan asap rokok dan menaruh sedikit abunya ke asbak, saya memberanikan diri meneruskan pembicaraan. Bibi di luar rumah, masih arisan tetangga.

"Yakin tidak kenapa-kenapa?"

Paman tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, seusai tertawa terkekeh-kekeh melihat seorang pemuda di depan rumah. Pemuda itu duduk di sebuah kursi panjang tepat di trotoar seberang rumah di bawah kanopi besi hitam yang melindunginya dari panas matahari.

Pemuda itu berambut panjang, hitam gondrong dengan sedikit cokelat pada bagian ujungnya bagaikan tidak pernah mandi. Pakaiannya pun hitam, baik kaos maupun celana panjangnya yang begitu kumal dan robek-robek itu. Di dekatnya, ada sebongkah plastik hitam besar penuh sesak seperti memuat banyak barang yang saya tidak tahu entah apa.

Wajah pemuda itu samar-samar terlihat. Kulitnya sangat kusam. Sebagian mukanya tertutup rambut gondrongnya. Hanya gigi putihnya yang mengilat jelas ketika dia tertawa sepanjang hari. Seperti orang gila.

"Paman mentertawakan gembel itu?" Karena sebal menanti jawaban, saya menuduh yang bukan-bukan.

"Hush! Tidak boleh kita mentertawakan orang miskin."

"Lagian, paman tertawa tanpa alasan."

"Saya tertawa karena melihat dia tertawa saja."

Sesekali setelah tertawa, paman menangis.

Sore itu paman aneh sekali. Saya menjadi gemas pada hari kedua tinggal di rumah bibi ini. Kesempatan berbicara dengan paman sungguh langka. Paman hanya ada di rumah dua kali seminggu. Pekerjaannya sebagai direktur perusahaan minyak membuatnya harus pergi minimal tiga hari sekali keluar kota, memeriksa kelancaran kegiatan pertambangan di sana.

Sementara bibi terus tinggal dalam rumah. Bibi menjalankan bisnis jual beli online. Bertumpuk-tumpuk pakaian impor dari luar negeri hampir memenuhi seluruh sudut rumah ini.

Dulu, saya kenal bibi sebelum dia menikah dengan paman yang saat itu duda -ditinggal mati istrinya- beranak satu. Dia murah hati, suka membantu orang-orang berkekurangan termasuk ibu saya, bahkan saya rasa seharusnya gembel di depan rumah itu tidak lepas dari perhatiannya.

Namun, sejak saya menginjak rumah ini, bibi berubah sekali. Tidak seperti paman yang menyambut saya begitu hangat.

"Kamu tidur di sini saja ya. Ini kamar Loji. Dia belum pulang, masih di luar," kata Paman saat pertama kali saya datang. Paman serasa bibi yang dulu saya kenal.

Kalau bibi, semua serba uang yang dibicarakan. Kerugian jual beli yang dideritanya cukup parah, pelanggan yang sering berutang, sampai-sampai keterlambatan paman memberinya uang untuk membeli pakaian, selalu saja menjadi bahan omelannya ketika makan bersama saya.

Apakah uang memang begitu dahsyat pengaruhnya sehingga bisa mengubah karakter orang seratus delapan puluh derajat?

Bibi menjadi sangat perhitungan.

"Mana uang?" katanya waktu paman baru pulang dari luar kota.

"Tidak ada."

"Bagaimana bisa tidak ada? Kamu kan habis rapat. Pasti bawa uang. Saya kehabisan modal!" Bibi menatap tajam mata paman.

Paman kemudian melempar dompetnya.

"Kamu lihat saja sendiri."

Paman lekas masuk kamar.

Sejak prestasi paman dalam pekerjaan meningkat, sehingga ia menjabat direktur utama, bibi mulai ketakutan. Ia takut kalau uang paman habis tidak jelas ke mana juntrungannya. Ia takut kalau-kalau paman berselingkuh dengan sekretarisnya. Tanpa sepengetahuan paman, bibi mengutus seorang mata-mata untuk mengikuti paman ke mana pun ia pergi. Setiap dua jam sekali, bibi pasti menelepon paman, sekadar mengecek di mana keberadaannya.

Setiap pagi ketika paman hendak berangkat kerja, bibi tidak pernah menyiapkan sarapan. Dia masih tertidur pulas. Saya melihat sendiri paman menyeduh teh dan membakar roti, sehabis itu membuka pagar sendiri, kemudian pergi dengan mobilnya seusai melambai-lambaikan tangannya ke gembel itu. Beberapa kali paman memberi sarapannya pada gembel itu.

"Kau tidak main perempuan kan?" tanya bibi di ruang tamu ketika paman membuka pintu rumah. Saat itu, paman terlambat pulang dari luar kota.

"Ya ampun. Saya cuma bekerja. Tega sekali fitnahmu."

"Kau pergi sama sekretarismu?" Suara bibi semakin kencang. Saya curi-curi dengar dari dapur.

"Ya iyalah. Sama siapa lagi. Namanya sekretaris."

"Awas ya! Kalau sampai saya tahu kau selingkuh, rasakan akibatnya nanti!"

Ketika paman sudah tidak kuat menghadapi omelan bibi, paman akan ke teras dan memandangi gembel yang tertawa itu. Paman akan ikutan tertawa, seolah-olah hanya itu satu-satunya hiburan di rumah ini.

Simpati saya lama kelamaan beralih dari bibi ke paman. Betapa hebatnya paman, bisa bertahan hidup bersama bibi yang mata duitan dan posesif itu. Raut muka paman tidak pernah bahagia setiap masuk rumah. Selalu saja bibi menyemprotnya dengan tuduhan tidak berdasar.

Tidak bisa saya bayangkan apa enaknya hidup dengan perempuan semacam itu. Kalau saya, mungkin sudah stres seperti gembel itu.

"Paman mengapa tidak menceraikan bibi?" saya melanjutkan pertanyaan. Paman masih memandang gembel itu. Gembel itu membalas dengan senyuman.

"Kalau bisa, dari dulu, Rendi."

"Terus, apa masalahnya?"

"Paman hanya menjaga nama baik keluarga besar Paman. Betapa malunya orang tua paman nanti kalau tahu anak satu-satunya yang sudah menjadi direktur utama ini bercerai."

Saya terdiam sejenak. Saya pikir, masih ada ya orang mau menderita, mengalah tanpa bahagia, demi nama baik keluarga. Ah, kalau-kalau masih ada kursi di surga, saya rasa paman berhak menempatinya.

"Lantas, mengapa paman tidak melawan bibi? Bagi saya, paman seperti direndahkan!"

Paman meneguk secangkir kopi hangat di atas meja.

"Wanita ada tidak untuk disakiti."

Saya kembali terdiam. Antara ingin memuji sama menganggapnya sedikit bodoh, saya bingung. Paman mulai lagi tertawa. Gembel itu pun tertawa.

Senja mulai hilang. Malam sudah datang. Tepat ketika kami mau masuk kamar, sebuah mobil dengan sinar yang begitu menyilaukan berhenti di depan rumah.

Bagian belakang mobil itu berupa bak terbuka, diduduki beberapa orang berseragam hitam. Tiga orang dari mereka membawa pentungan. Sisanya memegang tali. Salah seorang petugas melompat turun.

"Ayo ikut," kata petugas itu pada gembel itu. Tangannya menarik kencang tangan gembel itu. Muka gembel itu mendadak takut. Dia berteriak, seperti berbicara tetapi tidak jelas terdengar. Paman lekas berlari-lari. Paman membuka pagar rumah.

"Ada apa ini? Lepaskan tangannya."

"Bapak mau apa? Dia harus ditertibkan, Pak. Sampah masyarakat!"

"Saya yang urus dia. Lepaskan!"

"Dia tidak mengganggu siapa-siapa di sini. Biarkan dia bebas menikmati kehidupan. Gembel juga manusia."

Karena petugas itu sadar bahwa wajah paman adalah orang penting, petugas itu mengurungkan niatnya. Dia kembali ke mobil dan segera pergi.

Semakin hari, secara tidak sadar saya menjadi gampang tertawa melihat paman tertawa memandang gembel yang tertawa itu. Apakah saya sudah ikutan gila? Tertawa-tawa tanpa alasan? Atau memang sebetulnya untuk tertawa tidak butuh alasan?

Saya semakin yakin saya sudah gila, setelah tahu dari pedagang kelontong tidak jauh dari rumah, bahwa gembel yang tertawa itu tidak lain dan tidak bukan adalah Loji, anak paman. Ingin rasanya saya cepat-cepat keluar dari rumah orang gila ini.

...

Jakarta, 2 Maret 2021 

Y. Edward Horas S. untuk Inspirasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun