"Mana uang?" katanya waktu paman baru pulang dari luar kota.
"Tidak ada."
"Bagaimana bisa tidak ada? Kamu kan habis rapat. Pasti bawa uang. Saya kehabisan modal!" Bibi menatap tajam mata paman.
Paman kemudian melempar dompetnya.
"Kamu lihat saja sendiri."
Paman lekas masuk kamar.
Sejak prestasi paman dalam pekerjaan meningkat, sehingga ia menjabat direktur utama, bibi mulai ketakutan. Ia takut kalau uang paman habis tidak jelas ke mana juntrungannya. Ia takut kalau-kalau paman berselingkuh dengan sekretarisnya. Tanpa sepengetahuan paman, bibi mengutus seorang mata-mata untuk mengikuti paman ke mana pun ia pergi. Setiap dua jam sekali, bibi pasti menelepon paman, sekadar mengecek di mana keberadaannya.
Setiap pagi ketika paman hendak berangkat kerja, bibi tidak pernah menyiapkan sarapan. Dia masih tertidur pulas. Saya melihat sendiri paman menyeduh teh dan membakar roti, sehabis itu membuka pagar sendiri, kemudian pergi dengan mobilnya seusai melambai-lambaikan tangannya ke gembel itu. Beberapa kali paman memberi sarapannya pada gembel itu.
"Kau tidak main perempuan kan?" tanya bibi di ruang tamu ketika paman membuka pintu rumah. Saat itu, paman terlambat pulang dari luar kota.
"Ya ampun. Saya cuma bekerja. Tega sekali fitnahmu."
"Kau pergi sama sekretarismu?" Suara bibi semakin kencang. Saya curi-curi dengar dari dapur.