"Lagian, paman tertawa tanpa alasan."
"Saya tertawa karena melihat dia tertawa saja."
Sesekali setelah tertawa, paman menangis.
Sore itu paman aneh sekali. Saya menjadi gemas pada hari kedua tinggal di rumah bibi ini. Kesempatan berbicara dengan paman sungguh langka. Paman hanya ada di rumah dua kali seminggu. Pekerjaannya sebagai direktur perusahaan minyak membuatnya harus pergi minimal tiga hari sekali keluar kota, memeriksa kelancaran kegiatan pertambangan di sana.
Sementara bibi terus tinggal dalam rumah. Bibi menjalankan bisnis jual beli online. Bertumpuk-tumpuk pakaian impor dari luar negeri hampir memenuhi seluruh sudut rumah ini.
Dulu, saya kenal bibi sebelum dia menikah dengan paman yang saat itu duda -ditinggal mati istrinya- beranak satu. Dia murah hati, suka membantu orang-orang berkekurangan termasuk ibu saya, bahkan saya rasa seharusnya gembel di depan rumah itu tidak lepas dari perhatiannya.
Namun, sejak saya menginjak rumah ini, bibi berubah sekali. Tidak seperti paman yang menyambut saya begitu hangat.
"Kamu tidur di sini saja ya. Ini kamar Loji. Dia belum pulang, masih di luar," kata Paman saat pertama kali saya datang. Paman serasa bibi yang dulu saya kenal.
Kalau bibi, semua serba uang yang dibicarakan. Kerugian jual beli yang dideritanya cukup parah, pelanggan yang sering berutang, sampai-sampai keterlambatan paman memberinya uang untuk membeli pakaian, selalu saja menjadi bahan omelannya ketika makan bersama saya.
Apakah uang memang begitu dahsyat pengaruhnya sehingga bisa mengubah karakter orang seratus delapan puluh derajat?
Bibi menjadi sangat perhitungan.