Paman meneguk secangkir kopi hangat di atas meja.
"Wanita ada tidak untuk disakiti."
Saya kembali terdiam. Antara ingin memuji sama menganggapnya sedikit bodoh, saya bingung. Paman mulai lagi tertawa. Gembel itu pun tertawa.
Senja mulai hilang. Malam sudah datang. Tepat ketika kami mau masuk kamar, sebuah mobil dengan sinar yang begitu menyilaukan berhenti di depan rumah.
Bagian belakang mobil itu berupa bak terbuka, diduduki beberapa orang berseragam hitam. Tiga orang dari mereka membawa pentungan. Sisanya memegang tali. Salah seorang petugas melompat turun.
"Ayo ikut," kata petugas itu pada gembel itu. Tangannya menarik kencang tangan gembel itu. Muka gembel itu mendadak takut. Dia berteriak, seperti berbicara tetapi tidak jelas terdengar. Paman lekas berlari-lari. Paman membuka pagar rumah.
"Ada apa ini? Lepaskan tangannya."
"Bapak mau apa? Dia harus ditertibkan, Pak. Sampah masyarakat!"
"Saya yang urus dia. Lepaskan!"
"Dia tidak mengganggu siapa-siapa di sini. Biarkan dia bebas menikmati kehidupan. Gembel juga manusia."
Karena petugas itu sadar bahwa wajah paman adalah orang penting, petugas itu mengurungkan niatnya. Dia kembali ke mobil dan segera pergi.