"Sebentar lagi, kami akan merayakan ulang tahun yang pertama. Semoga situasi ini tak sampai pada perayaan ulang tahun berikutnya," begitu celetuk beberapa warga Desa Kayangan, Kec. Kayangan, Kabupaten Lombok Utara (KLU).
Ungkapan itu sederhana, tapi dari intonasi dan raut wajah aku bisa melihat bagaimana saat orang hidup dalam ketidak-pastian; dalam penantian panjang dan informasi yang mengambang.
Sepanjang perjalananku menyusuri dusun-dusun di KLU, bekas tapak rumah yang runtuh akibat gempa masih banyak terlihat. Banyak rumah ukuran mungil mulai dibangun.Â
Ada yang sudah jadi, ada yang baru berdiri kerangka, ada pula yang baru pondasi. Rumah-rumah bantuan berbahan terpal masih bisa dijumpai di beberapa tempat. Tenda-tenda kuning BNPB juga satu dua masih terlihat berdiri.Â
Untuk tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah memberikan dukungan rumah untuk warga yang rumahnya roboh. Besar dananya sekitar 50 juta rupiah. Ukuran rumahnya 6X6 untuk satu kepala keluarga (KK).Â
Jenis rumah yang disediakan beraneka ragam. Dari informasi yang saya dapatkan, saat ini ada 17 jenis rumah yang disodorkan oleh para aplikator (jasa penyedia rumah) dan sudah disetujui pemerintah. Berikut nama-nama jenis rumah tersebut beserta kepanjangannya:
RAISHA Â : rumah aman instan sederhana sehat
RAPI Â Â Â : rumah pra-cetak inducement
RAKITA Â : rumah aman kokoh instan terjangkau
RCI Raswari     : rumah cetak Indonesia -- raswari
RISHA Â Â : rumah instan sehat sederhana
RIKA Â Â Â : rumah instan kayu
RIKO Â Â Â : rumah instan konvensional
RISBA Â Â : rumah instan baja
RISBARI : rumah instan baja ringan
RISBA Hollow   : rumah instan baja hollow
RISGA Â Â Â Â Â Â Â Â Â : rumah instan sehat galvanis
RISTA Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : rumah instan sehat tahan gempa
RITA Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : rumah instan tahan gempa al-ansar
KUMAC : kuat murah aman cepat (rumah Styrofoam berlapis resin)
MESRA Â : modern, ekonomis, selamat, ramah
CONDOW
DOMUS
Untuk condow dan domus saya belum menemukan apa kepanjangannya.
RIKA, RIKO dan RISHA adalah pilihan favorit warga. Pilihan yang terutama sesungguhnya adalah RIKA (rumah instan kayu). Alasan warga sederhana: mereka trauma dengan rumah tembok. Karena rumah tembok, banyak korban tak tertolong saat gempa mengguncang.Â
Menurut hampir semua orang yang saya jumpai baik laki-laki maupun perempuan, RIKA sesungguhnya adalah pilihan yang paling diidam-idamkan. Namun, harapan mereka kandas karena pemerintah beralasan soal ketersediaan bahan baku dan ancaman kerusakan lingkungan terkait dengan penebangan kayu hutan, jika semua rumah berjenis RIKA.
Cerita-cerita dari Dusun
Di KLU, pemerintah melalui PUPR merekrut tenaga kontrak untuk menjadi fasilitator terkait dengan implementasi dukungan hunian. Tugas fasilitator secara umum adalah mengawal agar proses implementasi dukungan hunian berjalan lancar, tepat sasaran, tepat bahan dan tepat guna serta tepat waktu.
Selain kehadiran fasilitator, di dusun-dusun juga ramai di datangi penyedia jasa bangunan yang disini lebih popular disebut aplikator. Kehadiran aplikator dalam konteks normative dianggap akan sangat membantu masyarakat untuk segera menempati hunian baru.
Sedangkan di tingkat masyarakat, mereka harus membentuk kelompok yang lebih akrab disebut Pokmas (kelompok masyarakat). Setiap pokmas rata-rata beranggotakan 10-15 kepala keluarga (KK). Ketua pokmas bertugas mengorganisir warga.Â
Mulai dari soal pengumpulan data hingga pemilihan jenis hunian. Sebenarnya, pemerintah memberi keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih proses pembangunan hunian: bisa dengan swa-kelola, boleh menggunakan aplikator.Â
Namun demikian, banyak pokmas yang tidak memilih swa-kelola. Mayoritas kerjasama dengan aplikator. Bahkan ada yang transaksinya ekstim: warga tak perlu sibuk terlibat mengurus proses pembangunan huniannya, tinggal duduk manis dan terima kunci rumah.
Sayang, semua proses tak berjalan mulus. Fakta dilapangan banyak fasilitator dan aplikator ini tak sesuai harapan. Fasilitator tak menjalankan tugasnya dengan baik.Â
Justru banyak juga yang menyeleweng. Misalnya; mereka mempermainkan pelaporan sehingga berdampak pada proses terhambatnya pencairan dana, mengintimidasi warga agar memilih jenis rumah tertentu, kongkalingkong dengan aplikator, tidak melakukan monitoring proses pembangunan hunian dan lain sebagainya.
Sementara itu, aplikator nakal banyak berseliweran di dusun. Praktiknya beraneka ragam; biasanya diawali dengan rayuan maut dan janji manis. Setelah warga menerima tawarannya dan proyek mulai jalan, aplikator berulah; diantaranya, bangunan tak sesuai spesifikasi dan kemudian harus di bongkar lagi, aplikator membawa lari duit anggaran hunian warga, dan banyak kasus lainnya.
Selain masalah diatas, persoalan yang krusial adalah tentang data. Hingga hari ini persoalan data tak kunjung selesai: ada data yang dobel, ada kasus antara data yang diusulkan dari warga berbeda dengan data rencana implementasi pemerintah, anak dibawah umur mendapat bantuan hunian dan lain-lain.
Tahapan implementasi dukungan hunia yang lambat juga menjadi masalah. Pemerintah mendesain termin pencairan dukungan hunian secara bertahap. Di KLU tahapannya sampai 25. Padahal hingga agustus yang sudah mendapatkan kejelasan dan secara administratif telah siap, baru sampai tahap 21.Â
Masalah yang tak kalah penting adalah: bagaimana kelanjutan program rehab-rekon pasca bulan agustus , dikarenakan sudah menjadi rahasia umum bahwa dana siap pakai (DSP) dari pemerintah durasi waktunya hanya sampai akhir agustus tahun ini.
Yah, begitulah. Banyak sih masalah lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H