Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Solusi IT untuk Optimalisasi WFH

14 Februari 2021   19:26 Diperbarui: 15 Februari 2021   17:02 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang kerja di rumah selama Work From Home (Shutterstock) (Sumber: money.kompas.com)

Kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) jilid 1 dan 2 oleh pemerintah pusat untuk semua provinsi di pulau Jawa dan Bali telah usai seminggu yang lalu.

Mulai hari Selasa (9/2) pemerintah telah memberlakukan kebijakan PPKM skala Mikro. Presiden Jokowi secara terbuka mengakui bahwa solusi PPKM jilid 1 dan 2 belum efektif menekan laju penyebaran CoViD-19.

Salah satu indikatornya adalah orang yang menjalani isolasi mandiri tidak dapat diawasi secara ketat sehingga dapat leluasa keluar rumah dan berpotensi menyebarkan virus CoViD-19 kepada orang lain. Selain itu, solusi 75% pekerja bekerja dari rumah atau work from home (WFH) juga kurang efektif karena belum ada mekanisme baku dalam pengawasan terhadap perkantoran apakah benar-benar telah menerapkan aturan WFH 75% atau tidak. 

Meskipun KPC PEN (Ketua Penanganan CoViD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) Airlangga Hartarto mengatakan bahwa berdasarkan data Google mobility, mobilitas perkantoran mengalami penurunan (minus) 31% sejak diterapkan PPKM jilid 1 dan 2, namun jika mengacu pada aturan WFH 75% seharusnya mobilitas perkantoran juga menurun hingga (minus) 75%. 

Namun apa boleh buat, kebijakan PPKM jilid 1 dan 2 telah dicabut dan diganti dengan PPKM Mikro yang fokus pengendaliannya ada di tingkat RT/RW. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah adalah karena penyebaran CoViD-19 di Indonesia bukan lagi bersifat sporadis atau kluster, namun sudah pada tingkat komunitas, sehingga pendekatan skala mikro diharapkan dapat lebih efektif dan efisien.

Seperti diketahui bahwa aturan WFO (menurut penulis istilah yang lebih tepat adalah work at the office) pada PPKM Mikro ini juga dilonggarkan menjadi 50%. Artinya, 50% pekerja boleh bekerja di kantor dan 50% sisanya bekerja dari rumah. Relaksasi aturan ini ditujukan untuk tetap menggerakkan roda perekonomian yang masih stagnan dan kurang efektifnya realisasi aturan WFH 75%.

Meskipun WFO telah dilonggarkan 50%, namun tidak ada yang dapat memastikan bahwa institusi perkantoran terutama sektor swasta dapat mengikuti aturan ini secara konsisten. Kita ambil contoh di ibu kota DKI Jakarta, karena aturan WFO 50% ini juga mengacu pada Keputusan Gubernur (Kepgub) No. 107/2021, maka yang menegakkan aturannya adalah Satpol PP. Berapa jumlah Satpol PP di DKI dibandingkan jumlah perkantoran di Jakarta? Katakanlah ada operasi gabungan dengan TNI/Polri, jumlahnya pun masih belum memadai.

Lalu adakah solusi untuk memastikan persentase WFO di DKI Jakarta dan daerah-daerah metropolitan lainnya sesuai dengan aturan yang ada 50%?

Mengutip hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2019-2020 (Q2) yang dirilis tanggal 9 November 2020 lalu, dinyatakan bahwa persentase tingkat ketergantungan perkantoran terhadap internet sangat tinggi sebesar 5,5%, tinggi 7,1%, dan biasa saja 2,5% (sebanyak 72,2% responden bukan pekerja perkantoran) maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan pekerja perkantoran akan akses internet relatif tinggi (dengan mengabaikan responden yang bukan pekerja perkantoran).

Jika pemerintah pusat dalam hal ini Kemkominfo bisa membatasi akses internet untuk mencegah penyebaran informasi hoax saat demo rusuh beberapa waktu lalu, kenapa pemerintah tidak dapat menerapkan hal yang sama untuk membatasi akses internet spesifik di kluster-kluster perkantoran?

Bagaimana caranya?

Kemkominfo dapat meminta seluruh penyedia akses internet (ISP) termasuk operator seluler untuk memetakan pola trafik backbone internet mereka di kluster-kluster perkantoran. Jika saat hari kerja pola trafik masih tinggi atau sama dengan pola trafik sebelum diterapkannya kebijakan PPKM, maka dengan wewenang diskresinya pemerintah dapat meminta para penyedia akses internet (ISP) dan operator seluler untuk men-downgrade kapasitas bandwidth backbone mereka di kluster-kluster perkantoran hingga 50% dari kapasitas saat ini, misalnya saat ini kapasitasnya 1 Gbps mungkin bisa diturunkan menjadi 512 Mbps.

Apakah kebijakan ini tidak melanggar aturan sehingga berpotensi dipraperadilankan?

Menurut UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan pasal 1 angka 9, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagaimana mestinya, misalnya akibat gejolak politik, bencana alam atau bencana lainnya seperti pandemi CoViD-19 ini. Keputusan/tindakan diskresi untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dapat dilakukan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Berlandaskan pada UU ini pemerintah tidak perlu ragu untuk menerapkan pembatasan akses internet ini dengan catatan harus melalui kajian yang intensif dan mendalam tentang keefektifan pemberlakukan pembatasan ini berdasarkan data-data pendukung yang valid terkait pola trafik dan perilaku pengguna internet di perkantoran sebelum dan setelah dilakukan kebijakan PPKM jilid 1 dan 2.

Apa kompesansi dari pembatasan ini?

Sebagai kompensasi dari pembatasan akses internet di kluster-kluster perkantoran maka pada saat bersamaan pemerintah melalui Kemkominfo juga harus meminta kepada penyedia akses internet termasuk operator seluler untuk meningkatkan kapasitas bandwidth backbone internet mereka hingga 200% bahkan lebih di kluster-kluster perumahan.

Jadi sebenarnya kebijakan ini hanyalah pengalihan kapasitas bandwidth backbone internet dari kluster perkantoran ke kluster perumahan.

Apakah hal ini feasible untuk dilakukan?

Secara teknis sangat mungkin dilakukan, namun kita juga tidak boleh menutup mata bahwa tentu ada beberapa penyedia akses internet dan operator seluler yang akan menemui kendala dalam pengalihan kapasitas bandwidth backbone ini.

Pemerintah mungkin dapat mendorong major provider/operator seperti Telkom (untuk operator fixed internet connections) maupun Telkomsel, XL, Indosat (operator mobile internet connections) sebagai pioner untuk penerapan kebijakan ini di pusat-pusat perkantoran di ibu kota provinsi atau kota raya di pulau Jawa dan Bali sesuai lingkup wilayah aturan PPKM Mikro ini.

Kenapa yang dibatasi akses internet bukan sarana transportasi publik atau bahkan listrik PLN?

Internet saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia berdasarkan waktu rata-rata penggunaan internet oleh pengguna internet Indonesia yakni 8 jam 52 menit per hari (WeAreSocial & Hootsuite Digital 2021: Indonesia, p.22). Artinya, saat ini masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat tergantung pada akses internet. 

Jika dilakukan pembatasan pada sarana publik misalnya KRL maka yang terjadi bukannya pekerja perkantoran yang berkurang datang ke kantor, namun jumlah penumpang yang membludak di stasiun-stasiun karena jumlah angkutan KRL yang terbatas. Ini justru kontra produktif dengan imbauan agar masyarakat menjaga jarak (physical distancing). 

Jika misalnya aliran listrik PLN yang dipadamkan secara bergilir misalnya di suatu wilayah maka aktivitas perkantoran di wilayah tersebut benar-benar tidak bisa dilakukan (kecuali menggunakan genset), karena PLN tidak dapat membatasi pemakaian daya listrik pelanggannya tanpa datang ke lokasi pelanggan untuk menurunkan daya MCB (Miniature Circuit Breaker). 

Jika harus didatangi satu per satu ke pelanggan perkantoran untuk menurunkan daya MCB tentu ini sangat tidak efektif. Yang paling tepat adalah membatasi kapasitas bandwidth backbone internet yang dapat dilakukan tanpa harus datang ke lokasi pelanggan. 

Jika perkantoran dengan jumlah karyawan misalnya 100 orang menggunakan internet awalnya merasa koneksi internetnya normal, maka dengan pembatasan ini untuk mendapatkan "kenyamanan" yang sama, jumlah karyawan harus dibatasi menjadi 25-50 orang. Jika jumlahnya lebih dari itu maka response time dalam mengakses internet menjadi lambat (slow down). Sebaliknya, dengan kompensasi peningkatan kapasitas bandwidth backbone internet di kluster-kluster perumahan maka diharapakan para pekerja perkantoran lebih nyaman melakukan WFH atau bekerja dari rumah menggunakan koneksi internet tetap (fixed internet connections) maupun koneksi internet seluler (mobile internet connections).

Demikian solusi IT untuk optimalisasi WFH bagi pekerja perkantoran dengan cara pembatasan/pengalihan kapasitas backbone internet dari kluster-kluster perkantoran ke kluster-kluster perumahan. Dengan solusi ini diharapkan para pekerja perkantoran lebih nyaman bekerja dan melakukan meeting online dari rumah, alih-alih datang ke kantor hanya untuk mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan dari rumah selama pandemi CoViD-19 ini masih belum mereda.

Sukses tidaknya solusi ini sangat tergantung pada kebijakan dan aturan pemerintah dan kepatuhan penyedia akses internet dan operator seluler dalam menerapkan aturan ini. (ins.saputra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun