Kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) jilid 1 dan 2 oleh pemerintah pusat untuk semua provinsi di pulau Jawa dan Bali telah usai seminggu yang lalu.
Mulai hari Selasa (9/2) pemerintah telah memberlakukan kebijakan PPKM skala Mikro. Presiden Jokowi secara terbuka mengakui bahwa solusi PPKM jilid 1 dan 2 belum efektif menekan laju penyebaran CoViD-19.
Salah satu indikatornya adalah orang yang menjalani isolasi mandiri tidak dapat diawasi secara ketat sehingga dapat leluasa keluar rumah dan berpotensi menyebarkan virus CoViD-19 kepada orang lain. Selain itu, solusi 75% pekerja bekerja dari rumah atau work from home (WFH) juga kurang efektif karena belum ada mekanisme baku dalam pengawasan terhadap perkantoran apakah benar-benar telah menerapkan aturan WFH 75% atau tidak.Â
Meskipun KPC PEN (Ketua Penanganan CoViD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) Airlangga Hartarto mengatakan bahwa berdasarkan data Google mobility, mobilitas perkantoran mengalami penurunan (minus) 31% sejak diterapkan PPKM jilid 1 dan 2, namun jika mengacu pada aturan WFH 75% seharusnya mobilitas perkantoran juga menurun hingga (minus) 75%.Â
Namun apa boleh buat, kebijakan PPKM jilid 1 dan 2 telah dicabut dan diganti dengan PPKM Mikro yang fokus pengendaliannya ada di tingkat RT/RW. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah adalah karena penyebaran CoViD-19 di Indonesia bukan lagi bersifat sporadis atau kluster, namun sudah pada tingkat komunitas, sehingga pendekatan skala mikro diharapkan dapat lebih efektif dan efisien.
Seperti diketahui bahwa aturan WFO (menurut penulis istilah yang lebih tepat adalah work at the office) pada PPKM Mikro ini juga dilonggarkan menjadi 50%. Artinya, 50% pekerja boleh bekerja di kantor dan 50% sisanya bekerja dari rumah. Relaksasi aturan ini ditujukan untuk tetap menggerakkan roda perekonomian yang masih stagnan dan kurang efektifnya realisasi aturan WFH 75%.
Meskipun WFO telah dilonggarkan 50%, namun tidak ada yang dapat memastikan bahwa institusi perkantoran terutama sektor swasta dapat mengikuti aturan ini secara konsisten. Kita ambil contoh di ibu kota DKI Jakarta, karena aturan WFO 50% ini juga mengacu pada Keputusan Gubernur (Kepgub) No. 107/2021, maka yang menegakkan aturannya adalah Satpol PP. Berapa jumlah Satpol PP di DKI dibandingkan jumlah perkantoran di Jakarta? Katakanlah ada operasi gabungan dengan TNI/Polri, jumlahnya pun masih belum memadai.
Lalu adakah solusi untuk memastikan persentase WFOÂ di DKI Jakarta dan daerah-daerah metropolitan lainnya sesuai dengan aturan yang ada 50%?
Mengutip hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2019-2020 (Q2) yang dirilis tanggal 9 November 2020 lalu, dinyatakan bahwa persentase tingkat ketergantungan perkantoran terhadap internet sangat tinggi sebesar 5,5%, tinggi 7,1%, dan biasa saja 2,5% (sebanyak 72,2% responden bukan pekerja perkantoran) maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan pekerja perkantoran akan akses internet relatif tinggi (dengan mengabaikan responden yang bukan pekerja perkantoran).
Jika pemerintah pusat dalam hal ini Kemkominfo bisa membatasi akses internet untuk mencegah penyebaran informasi hoax saat demo rusuh beberapa waktu lalu, kenapa pemerintah tidak dapat menerapkan hal yang sama untuk membatasi akses internet spesifik di kluster-kluster perkantoran?
Bagaimana caranya?