Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Quo Vadis" KPK, Mau Dibawa Kemana KPK?

16 September 2019   18:06 Diperbarui: 25 September 2019   13:47 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga pimpinan KPK menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo, Jumat (13/9/2019) sebagai respon atas polemik revisi UU KPK. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Pemberantasan korupsi di negeri ini saat ini sedang menghadapi ujian berat.

Tiga pimpinan KPK, termasuk ketua KPK Agus Rahardjo telah menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada presiden pada Jumat (13/9/2019).
Maknanya apa?

Maknanya adalah tiga pimpinan KPK ini tidak lagi bertanggung jawab atas pengelolaan KPK sampai presiden mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam rangka penyelamatan KPK.

Jika ditelusuri lebih lanjut sebenarnya ada 2 poin krusial terkait polemik  yang saat ini terjadi di KPK.

Pertama, masalah ketidakhadiran pansel pemilihan ketua KPK memenuhi undangan KPK terkait penelusuran rekam jejak capim KPK yang berdampak pada lolosnya beberapa capim KPK yang dianggap memiliki rekam jejak bermasalah oleh KPK.

Kedua, masalah revisi UU KPK yang tidak melibatkan unsur KPK sebagai salah satu stakeholder pemberantasan korupsi dalam pembahasannya.
Untuk poin pertama, DPR sudah memilih secara voting dan aklamasi 5 pimpinan KPK yang baru  pada Jumat (13/9/2019) dini hari. Irjen (Pol) Firli Bahuri (Kapolda Sumatera Selatan) terpilih sebagai ketua KPK periode 2019-2023. 

Meskipun terpilihnya Irjen (Pol) Firli Bahuri yang berasal dari kepolisian menyisakan paradoks pemberantasan korupsi karena salah satu pertimbangan pembentukan KPK adalah lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi (kepolisian dan kejaksaan) belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, namun ada baiknya kita memberikan kesempatan kepada para pimpinan KPK terpilih untuk dapat melaksanakan tugasnya. 

Jika ternyata kinerjanya tidak sesuai dengan harapan masyarakat luas, kita bisa melakukan cara-cara demokratis dengan meminta pertanggungjawaban DPR dan pemerintah untuk mengganti pimpinan KPK atau meminta secara langsung kepada pimpinan KPK untuk mengundurkan diri. Disamping itu, kita tidak perlu terlalu merisaukan siapa pun yang menjadi ketua KPK karena pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial sehingga semua keputusan KPK harus diputuskan secara bersama oleh kelima pimpinan KPK.

Untuk poin kedua, ini sebenarnya yang menjadi polemik. Bahkan masyarakat pun terbelah menjadi dua, ada yang menolak revisi UU KPK dan ada yang mendukung revisi UU KPK ini. Presiden sebenarnya telah menjawab usulan draf revisi UU KPK yang merupakan inisiatif DPR namun sepertinya masukan dari para pembantu presiden sedikit kurang tepat. 

Misalnya, 2 dari 4 poin yang ditolak presiden memang tidak pernah ada dalam draf revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR. 2 poin tersebut adalah presiden tidak setuju dengan penyadapan oleh KPK harus meminta izin ke pengadilan dan presiden tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. 

Dalam draf revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga tindak pidana korupsi. Dalam draf revisi UU KPK, hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas. Terkait penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, dalam draf revisi UU KPK memang sudah diatur bahwa penyidik KPK tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, namun juga bisa berasal dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). 

Namun khusus poin ini sepertinya ada misleading karena presiden menyampaikan bahwa penyelidik dan penyidik KPK juga bisa berasal dari unsur ASN (Aparatur Sipil Negara) yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Instansi pemerintah lain maksudnya adalah dari kepolisian, kejaksaan dan PPNS. Sementara penyidik yang diangkat dari pegawai KPK harus bertransformasi menjadi ASN. Pada poin inilah terdapat perbedaan pandangan antara DPR, presiden dan KPK. 

DPR dalam usulannya menginginkan penyidik KPK diangkat dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Presiden menginginkan penyidik KPK selain dari kepolisian, kejaksaan, PPNS juga bisa dari pegawai KPK yang diangkat menjadi ASN. KPK mengingkinkan tetap seperti UU KPK sekarang yakni penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK sehingga sangat terbuka untuk mengangkat penyidik dari internal KPK dengan status bukan sebagai ASN. 

Pengangkatan penyidik secara mandiri oleh KPK ini dikuatkan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 109/PUU-XIII/2015 yang pada intinya KPK dapat merekrut sendiri penyidiknya. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa dalam merekrut penyidik KPK tidak sepenuhnya bebas, sebab sistem rekutmen penyidik harus memperhatikan pasal 24 ayat (2) UU KPK yang menyebutkan bahwa pegawai KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK, sehingga rekrutmen penyidik KPK harus memperhatikan keahlian calon pegawai yang bersangkutan. 

Selain itu, dengan berlakunya UU ASN, pelaksanaan rekrutmen harus mendasarkan pada ketentuan kepegawaian dalam UU ASN, karena menurut UU ASN ditegaskan bahwa ASN adalah profesi bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang bekerja di instansi pemerintah dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya.

Namun demikian, putusan MK ini tidak secara tegas menyatakan bahwa penyidik yang diangkat oleh KPK harus berstatus ASN sehingga terjadi penafsiran apakah yang dimaksudkan adalah hanya syarat-syarat pencalonan dan proses rekrutmennya saja yang harus sesuai ketentuaan kepegawaian dalam UU ASN atau sampai pada status pegawainya pun harus menjadi ASN ketika diangkat sebagai penyidik oleh KPK.
Bagaimana seharusnya presiden menyikapi kondisi ini?

Setidaknya ada tiga opsi langkah yang dapat diambil presiden menyikapi diserahkannya tanggung jawab pengelolaan KPK kepada presiden:

Pertama, presiden dapat menolak menerima mandat pengelolaan KPK dan mengembalikannya kembali kepada pimpinan KPK as-is. Artinya KPK tetap dalam pengeloaan pimpinan KPK yang sekarang sampai pimpinan KPK yang baru dilantik.

Kedua, presiden menerima tanggung jawab pengelolaan KPK dan menunjuk 3 pelaksana tugas pimpinan KPK (seperti saat menunjuk pengganti ketua KPK Abraham Samad dan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto yang berstatus tersangka) untuk menghindari kekosongan pimpinan KPK sampai pimpinan KPK yang baru dilantik.

Ketiga, sebagai kepala negara tentunya presiden dapat mengambil keputusan yang arif dan bijaksana (dua kata ini sebenarnya maknanya sama) yakni memanggil seluruh unsur pimpinan KPK dan berdiskusi secara intensif dan mendalam untuk mencari solusi terbaik terkait polemik yang terjadi. Pimpinan KPK bisa memberikan usulan dan masukan terhadap revisi UU KPK yang saat ini sedang digodok di parlemen.

Dari ketiga opsi yang ada, keputusan sepenuhnya diserahkan kepada presiden. Menurut hemat penulis, sebaiknya presiden mengambil opsi langkah yang ketiga. 

Bagaimana pun juga saat ini KPK adalah lembaga penegak hukum yang paling dipercaya oleh publik. Banyak capaian pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan oleh KPK sejak awal berdirinya tahun 2002. Namun demikian, KPK juga harus bersikap bijaksana. UU KPK sejak dibentuk 17 tahun lalu hingga sekarang belum pernah direvisi. Revisi UU KPK diperlukan semata-mata untuk perbaikan, penyempurnaan, dan penguatan KPK.

Misalnya, pasal 40 UU KPK yang menyebutkan KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi. Ada beberapa kasus dimana tersangka menang di pra peradilan melawan KPK, tersangka sakit hingga meninggal dunia, tidak dapat dilengkapinya bukti-bukti menguatkan karena beberapa kendala sehingga kasus tidak dapat diajukan ke pengadilan, dll. 

Namun karena KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 maka status hukum tersangka menjadi tidak pasti. Sebaiknya KPK diberikan wewenang dalam mengeluarkan SP3 secara limitatif dan selektif dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian dan ada waktunya, misalnya paling cepat pengeluaran SP3 dalam waktu 2 (dua) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dikeluarkannya surat perintah penyidikan. 

Kenapa ada batasan paling cepat, ini sesuai dengan semangat pembentuk UU KPK agar KPK tidak 'mengobral' dengan mudah SP3 melalui kolusi antara oknum KPK dengan tersangka korupsi. Kenapa ada batasan paling lama, selain untuk kepastian status hukum tersangka korupsi juga untuk mendorong KPK agar segera menyelesaikan tugas penyidikan dan penuntutan, dan melimpahkannya ke pengadilan tindak pidana korupsi.

Tentang penyidik pada KPK, KPK, DPR dan pemerintah harus merujuk pada putusan MK No. 109/PUU-XIII/2015 terkait pengujian UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena putusan MK bersifat final dan binding - meskipun dalam beberapa kasus putusan MK sering kali diingkari untuk kemudian di-judicial review kembali, seperti judicial review tentang pengumuman hasil quick count Pemilu setelah perhitungan suara pada UU Pemilu.

Jika terdapat multi penafsiran putusan MK terkait status penyidik yang harus menjadi ASN atau tidak, KPK atau pemerintah atau masyarakat yang memiliki legal standing dapat meminta penafsiran MK terkait dengan putusan tersebut karena MK memiliki wewenang terkait penafsiran pengujian UU. Menurut penulis, sebagai bagian dari penguatan KPK sebaiknya penyidik KPK bisa dari internal maupun eksternal. 

Penyidik internal adalah penyidik yang diangkat dari pegawai KPK dan penyidik eksternal adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, PPNS, instansi pemerintah lainnya dan statusnya tetap ASN. Tentang porsi penyidik internal dan eksternal sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada KPK yang paling memahami kebutuhannya.

Terkait izin penyadapan, sebaiknya presiden mengikuti KPK. Sebagai lembaga independen dan untuk kepentingan efisiensi (daya guna) dan efektifitas (hasil guna) penyadapan sebaiknya tidak membutuhkan izin dari Dewan Pengawas meskipun Dewan Pengawas dipilih oleh presiden melalui pansel. Pembentukan Dewan Pengawas KPK oleh presiden saat ini belum dibutuhkan oleh KPK karena untuk pengawasan internal, KPK telah memiliki deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. 

Namun untuk efektifitas fungsi pengawasan, sebaiknya deputi bidang pengawasan internal dipisahkan dengan bidang pengaduan masyarakat dan kedudukan bidang pengawasan internal tidak dibawah pimpinan KPK sehingga pengawas internal ini juga dapat mengawasi tindak tanduk, prilaku dan etika para pimpinan KPK. Oleh karenanya namanya bukan lagi deputi namun bisa berubah menjadi komite atau dewan atau nama lainnya. 

Orang-orang yang duduk pada komite atau dewan pengawas internal ditentukan oleh pansel yang dibentuk oleh KPK (seperti halnya seleksi dewan penasehat KPK) yang dapat berasal dari internal KPK maupun eksternal KPK. Namun sekali lagi komite atau dewan pengawas internal ini tidak bertugas mengeluarkan izin penyadapan. Kalau pun DPR berkeinginan membentuk Dewan Pengawas, Dewan Pengawas yang dimaksud adalah Dewan Pengawas Terpadu yang mengawasi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, kepolisian dan kejaksaan. 

Jadi tidak spesifik mengawasi KPK dan wewenangnya pun diatur melalui UU tersendiri tentang pembentukan Dewan Pengawas Pemberantasan Korupsi dan sekali lagi penyadapan KPK tidak membutuhkan izin dari dewan pengawas ini. 

Public society juga dapat mengawasi kinerja KPK dengan membentuk lembaga swadaya masyarakat KPK Watch atau CEC Watch seperti halnya IPW (Indonesia Police Watch) yang mengawasi kinerja kepolisian dan KaWat (Kejaksaan Watch) yang mengawasi kinerja kejaksaan. Lembaga swadaya masyarakat yang ada saat ini, ICW (Indonesia Corruption Watch) bukanlah lembaga publik yang khusus mengawasi kinerja KPK namun sesuai namanya tugasnya mengawasi korupsi secara umum di Indonesia.

Kembali ke poin krusial revisi UU KPK. Jika keempat poin krusial revisi UU KPK yakni SP3, penyidik KPK, penyadapan dan Dewan Pengawas telah disepakati oleh KPK dan presiden maka revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR ini seharusnya tidak melemahkan KPK, setidaknya dari sudut pandang masyarakat pada umumnya.

Pertanyaannya, apakah DPR akan setuju?

DPR bisa setuju, bisa tidak.

Jika DPR tidak setuju, asalkan presiden konsisten dan sependapat dengan KPK, presiden bisa mengeluarkan Perpu seperti halnya Perpu yang pernah dikeluarkan oleh presiden SBY terkait pemilihan kepala daerah secara langsung, meskipun DPR menginginkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Setelah kesepakatan antara KPK dan presiden tercapai, maka pimpinan KPK bisa kembali bekerja seperti biasa dan menyelesaikan tugas-tugasnya hingga Desember tahun ini, kecuali pimpinan KPK Alexander Marwata yang terpilih kembali sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023. Semua tugas-tugas pemberantasan korupsi dapat dilakukan sebagai mana mestinya sampai ada pelimpahan tugas kepada pimpinan KPK yang baru.

Kita, masyarakat, LSM, mahasiswa, pemerhati korupsi dapat mengawasi kinerja pimpinan KPK yang baru dengan tetap memberikan masukan dan kritik yang bersifat konstruktif kepada lembaga anti korupsi ini.

Sesungguhnya, semua masalah dapat diselesaikan jika kita semua bisa berpikir secara jernih dan bijaksana karena sejatinya bijaksana (wise) itu lebih tinggi tingkatannya dibandingkan ahli (expert), paham (understand) dan tahu (know). (ins.saputra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun