Namun khusus poin ini sepertinya ada misleading karena presiden menyampaikan bahwa penyelidik dan penyidik KPK juga bisa berasal dari unsur ASN (Aparatur Sipil Negara) yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Instansi pemerintah lain maksudnya adalah dari kepolisian, kejaksaan dan PPNS. Sementara penyidik yang diangkat dari pegawai KPK harus bertransformasi menjadi ASN. Pada poin inilah terdapat perbedaan pandangan antara DPR, presiden dan KPK.Â
DPR dalam usulannya menginginkan penyidik KPK diangkat dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Presiden menginginkan penyidik KPK selain dari kepolisian, kejaksaan, PPNS juga bisa dari pegawai KPK yang diangkat menjadi ASN. KPK mengingkinkan tetap seperti UU KPK sekarang yakni penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK sehingga sangat terbuka untuk mengangkat penyidik dari internal KPK dengan status bukan sebagai ASN.Â
Pengangkatan penyidik secara mandiri oleh KPK ini dikuatkan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 109/PUU-XIII/2015 yang pada intinya KPK dapat merekrut sendiri penyidiknya. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa dalam merekrut penyidik KPK tidak sepenuhnya bebas, sebab sistem rekutmen penyidik harus memperhatikan pasal 24 ayat (2) UU KPK yang menyebutkan bahwa pegawai KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK, sehingga rekrutmen penyidik KPK harus memperhatikan keahlian calon pegawai yang bersangkutan.Â
Selain itu, dengan berlakunya UU ASN, pelaksanaan rekrutmen harus mendasarkan pada ketentuan kepegawaian dalam UU ASN, karena menurut UU ASN ditegaskan bahwa ASN adalah profesi bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang bekerja di instansi pemerintah dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya.
Namun demikian, putusan MK ini tidak secara tegas menyatakan bahwa penyidik yang diangkat oleh KPK harus berstatus ASN sehingga terjadi penafsiran apakah yang dimaksudkan adalah hanya syarat-syarat pencalonan dan proses rekrutmennya saja yang harus sesuai ketentuaan kepegawaian dalam UU ASN atau sampai pada status pegawainya pun harus menjadi ASN ketika diangkat sebagai penyidik oleh KPK.
Bagaimana seharusnya presiden menyikapi kondisi ini?
Setidaknya ada tiga opsi langkah yang dapat diambil presiden menyikapi diserahkannya tanggung jawab pengelolaan KPK kepada presiden:
Pertama, presiden dapat menolak menerima mandat pengelolaan KPK dan mengembalikannya kembali kepada pimpinan KPK as-is. Artinya KPK tetap dalam pengeloaan pimpinan KPK yang sekarang sampai pimpinan KPK yang baru dilantik.
Kedua, presiden menerima tanggung jawab pengelolaan KPK dan menunjuk 3 pelaksana tugas pimpinan KPK (seperti saat menunjuk pengganti ketua KPK Abraham Samad dan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto yang berstatus tersangka) untuk menghindari kekosongan pimpinan KPK sampai pimpinan KPK yang baru dilantik.
Ketiga, sebagai kepala negara tentunya presiden dapat mengambil keputusan yang arif dan bijaksana (dua kata ini sebenarnya maknanya sama) yakni memanggil seluruh unsur pimpinan KPK dan berdiskusi secara intensif dan mendalam untuk mencari solusi terbaik terkait polemik yang terjadi. Pimpinan KPK bisa memberikan usulan dan masukan terhadap revisi UU KPK yang saat ini sedang digodok di parlemen.
Dari ketiga opsi yang ada, keputusan sepenuhnya diserahkan kepada presiden. Menurut hemat penulis, sebaiknya presiden mengambil opsi langkah yang ketiga.Â
Bagaimana pun juga saat ini KPK adalah lembaga penegak hukum yang paling dipercaya oleh publik. Banyak capaian pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan oleh KPK sejak awal berdirinya tahun 2002. Namun demikian, KPK juga harus bersikap bijaksana. UU KPK sejak dibentuk 17 tahun lalu hingga sekarang belum pernah direvisi. Revisi UU KPK diperlukan semata-mata untuk perbaikan, penyempurnaan, dan penguatan KPK.