Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Quo Vadis" KPK, Mau Dibawa Kemana KPK?

16 September 2019   18:06 Diperbarui: 25 September 2019   13:47 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga pimpinan KPK menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo, Jumat (13/9/2019) sebagai respon atas polemik revisi UU KPK. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Misalnya, pasal 40 UU KPK yang menyebutkan KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi. Ada beberapa kasus dimana tersangka menang di pra peradilan melawan KPK, tersangka sakit hingga meninggal dunia, tidak dapat dilengkapinya bukti-bukti menguatkan karena beberapa kendala sehingga kasus tidak dapat diajukan ke pengadilan, dll. 

Namun karena KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 maka status hukum tersangka menjadi tidak pasti. Sebaiknya KPK diberikan wewenang dalam mengeluarkan SP3 secara limitatif dan selektif dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian dan ada waktunya, misalnya paling cepat pengeluaran SP3 dalam waktu 2 (dua) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dikeluarkannya surat perintah penyidikan. 

Kenapa ada batasan paling cepat, ini sesuai dengan semangat pembentuk UU KPK agar KPK tidak 'mengobral' dengan mudah SP3 melalui kolusi antara oknum KPK dengan tersangka korupsi. Kenapa ada batasan paling lama, selain untuk kepastian status hukum tersangka korupsi juga untuk mendorong KPK agar segera menyelesaikan tugas penyidikan dan penuntutan, dan melimpahkannya ke pengadilan tindak pidana korupsi.

Tentang penyidik pada KPK, KPK, DPR dan pemerintah harus merujuk pada putusan MK No. 109/PUU-XIII/2015 terkait pengujian UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena putusan MK bersifat final dan binding - meskipun dalam beberapa kasus putusan MK sering kali diingkari untuk kemudian di-judicial review kembali, seperti judicial review tentang pengumuman hasil quick count Pemilu setelah perhitungan suara pada UU Pemilu.

Jika terdapat multi penafsiran putusan MK terkait status penyidik yang harus menjadi ASN atau tidak, KPK atau pemerintah atau masyarakat yang memiliki legal standing dapat meminta penafsiran MK terkait dengan putusan tersebut karena MK memiliki wewenang terkait penafsiran pengujian UU. Menurut penulis, sebagai bagian dari penguatan KPK sebaiknya penyidik KPK bisa dari internal maupun eksternal. 

Penyidik internal adalah penyidik yang diangkat dari pegawai KPK dan penyidik eksternal adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, PPNS, instansi pemerintah lainnya dan statusnya tetap ASN. Tentang porsi penyidik internal dan eksternal sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada KPK yang paling memahami kebutuhannya.

Terkait izin penyadapan, sebaiknya presiden mengikuti KPK. Sebagai lembaga independen dan untuk kepentingan efisiensi (daya guna) dan efektifitas (hasil guna) penyadapan sebaiknya tidak membutuhkan izin dari Dewan Pengawas meskipun Dewan Pengawas dipilih oleh presiden melalui pansel. Pembentukan Dewan Pengawas KPK oleh presiden saat ini belum dibutuhkan oleh KPK karena untuk pengawasan internal, KPK telah memiliki deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. 

Namun untuk efektifitas fungsi pengawasan, sebaiknya deputi bidang pengawasan internal dipisahkan dengan bidang pengaduan masyarakat dan kedudukan bidang pengawasan internal tidak dibawah pimpinan KPK sehingga pengawas internal ini juga dapat mengawasi tindak tanduk, prilaku dan etika para pimpinan KPK. Oleh karenanya namanya bukan lagi deputi namun bisa berubah menjadi komite atau dewan atau nama lainnya. 

Orang-orang yang duduk pada komite atau dewan pengawas internal ditentukan oleh pansel yang dibentuk oleh KPK (seperti halnya seleksi dewan penasehat KPK) yang dapat berasal dari internal KPK maupun eksternal KPK. Namun sekali lagi komite atau dewan pengawas internal ini tidak bertugas mengeluarkan izin penyadapan. Kalau pun DPR berkeinginan membentuk Dewan Pengawas, Dewan Pengawas yang dimaksud adalah Dewan Pengawas Terpadu yang mengawasi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, kepolisian dan kejaksaan. 

Jadi tidak spesifik mengawasi KPK dan wewenangnya pun diatur melalui UU tersendiri tentang pembentukan Dewan Pengawas Pemberantasan Korupsi dan sekali lagi penyadapan KPK tidak membutuhkan izin dari dewan pengawas ini. 

Public society juga dapat mengawasi kinerja KPK dengan membentuk lembaga swadaya masyarakat KPK Watch atau CEC Watch seperti halnya IPW (Indonesia Police Watch) yang mengawasi kinerja kepolisian dan KaWat (Kejaksaan Watch) yang mengawasi kinerja kejaksaan. Lembaga swadaya masyarakat yang ada saat ini, ICW (Indonesia Corruption Watch) bukanlah lembaga publik yang khusus mengawasi kinerja KPK namun sesuai namanya tugasnya mengawasi korupsi secara umum di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun