Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Catatan Penting Pilpres 2019

13 Agustus 2019   17:29 Diperbarui: 9 Desember 2019   05:56 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta hasil Rekapitulasi Suara Pilpres 2019 di 34 Provinsi (KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo)

Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 sudah cukup lama berlalu. MK (Mahkamah Konstitusi) juga telah memutuskan sengketa Pilpres pada Kamis (27/6/2019) lalu. Semuanya sudah mengetahui hasilnya, menghormati dan menerima putusan MK.

Cawapres 01 Prabowo Subianto sudah bertemu dengan cawapres 02 Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Sabtu (13/7/2019) lalu dan bertandang ke kediaman Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri di Teuku Umar Rabu (24/7/2019) lalu.

Meskipun secara umum masyarakat telah menerima hasil Pilpres 2019, namun masih banyak catatan dan PR yang harus diselesaikan untuk perbaikan di Pilpres 2024 nanti.

Berikut beberapa catatan penting Pilpres 2019 mulai dari persiapan, pelaksanaan hingga usulan perbaikan untuk Pilpres 2024 mendatang:

1. DPT (Daftar Pemilih Tetap)
Kenapa DPT selalu menjadi masalah dari pemilu ke pemilu?

Jawabannya sederhana, pemilu kita (atau mungkin pemilu di negara lain di seluruh dunia) menggunakan batas usia minimum 17 tahun sehingga sangat wajar jika setiap 5 tahun jumlah pemilih akan berubah atau bertambah. Belum lagi perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lainnya.

DPT disusun berdasarkan data dari Ditjen Dukcapil (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil) Kementerian Dalam Negeri.

Perbaikan sistem data kependudukan seperti KK (Kartu Keluarga) dan KTP (Kartu Tanda Penduduk) diharapkan dapat mengurangi jumlah DPT bermasalah. KTP dengan 'kode khusus' kelahiran 1 Juli, 31 Desember dan 1 Januari tidak akan dipermasalahkan jika sedari awal diinformasikan secara transparan bahwa tanggal-tanggal itu dipilih untuk warga atau pemilik KTP yang tidak mengetahui atau lupa tanggal lahirnya (yang diketahui/diingat hanya tahunnya saja).

Tanggal 1 Juli digunakan sejak tahun 2004 pada Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) untuk pencatatan warga yang tidak mengetahui atau tidak ingat tanggal lahirnya.

Kenapa digunakan tanggal 1 Juli?

Tanggal 1 Juli dipilih karena tanggal tersebut adalah tanggal pertengahan tahun (tanggal 1 Juli adalah hari ke-182 dari 365 hari dalam setahun atau hari ke-183 untuk tahun kabisat).

Tanggal 31 Desember digunakan sebelum tahun 2004 saat menggunakan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (Simduk). Dalam kebijakan Simduk, semua penduduk yang lupa tanggal kelahirannya akan ditulis lahir pada 31 Desember.

Kenapa digunakan tanggal 31 Desember?

Tanggal 31 Desember dipilih karena merupakan tanggal terakhir dalam suatu tahun sehingga cukup mudah mengingatnya. Orang dengan kelahiran tanggal 31 Desember akan mendapatkan sedikit 'manfaat' seperti usia pensiun menjadi maksimal atau jika membuat SIM (Surat Izin Mengemudi) di pertengahan tahun, perpanjangan pertama menjadi lebih dari 5 tahun, dll.

Kenapa digunakan tanggal 1 Januari?

Tanggal 1 Januari dipilih karena bersamaan dengan tahun baru atau awal tahun. Sama dengan alasan 31 Desember, tanggal 1 Januari dipilih semata-mata untuk memudahkan mengingatnya.

Jadi semua tanggal-tanggal tersebut bukan rekayasa apalagi manipulasi. Jika semua pemilih yang terdaftar dalam DPT mengetahui tanggal kelahirannya maka benar bahwa data statistik menunjukkan rata-rata orang kelahiran tanggal 1 Juli atau tanggal berapa pun adalah jumlah DPT dibagi jumlah hari dalam setahun. Jika jumlah DPT Pemilu 2019 sebanyak 192 juta maka 192 juta dibagi 365 hasilnya sekitar 526 ribu orang. 

Jumlah DPT dengan kelahiran 1 Juli mencapai 9,8 juta disebabkan karena dalam DPT Pemilu 2019 masih banyak pemilih tidak mengetahui tanggal lahirnya sehingga sesuai Permendagri 19/2010 bahwa setiap penduduk yang tidak mengetahui tanggal lahirnya akan ditulis lahir tanggal 01 bulan 07 (Juli) dan tahun lahirnya sesuai dengan pengakuannya.

2. Syarat Administrasi Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden
Meskipun terkadang dianggap remeh oleh sebagian orang, ternyata syarat administrasi ini bisa mendiskualifikasi pasangan calon. Contohnya adalah jika bakal pasangan calon presiden atau wakil presiden adalah karyawan atau menduduki jabatan pada BUMN/BUMD.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pasal 227 huruf p mengatur bahwa saat pendaftaran, bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden harus menyertakan surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilu.

Aturan telah mengatur bahwa jika bakal pasangan calon telah ditetapkan oleh KPU sebagai calon peserta pemilu presiden maka jika ada pihak-pihak yang keberatan, mekanisme keberatannya disalurkan melalui Bawaslu atau PTUN dan bukan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Ke depan syarat-syarat administrasi bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden harus benar-benar clear pada saat penetapan oleh KPU. KPU bisa mendengarkan pendapat dari Bawaslu, DPR, Kemendagri, Kepolisian, Jaksa Agung, Mahkamah Agung, dll. sebelum penetapan jika menemukan syarat-syarat bakal calon yang meragukan.

3. Keselamatan/Kesehatan Petugas KPPS
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per tanggal 15 Mei 2019 lalu mencatat jumlah petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal setelah pemungutan/perhitungan suara pemilu lalu mencapai 527 orang. Penyebab korban jiwa terbanyak menurut hasil investigasi Kemenkes adalah karena gagal jantung. Penyebab lainnya adalah karena berbagai macam penyakit seperti koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, kegagalan multi organ, dan disebabkan oleh kecelakaan. Tak ada seorang pun yang memprediksi bahwa korban jiwa petugas KPPS pada pemilu serentak ini mencapai lebih dari 500 orang.

Dengan banyaknya korban jiwa ini, maka KPU sebagai lembaga resmi penyelenggara pemilu harus mengevaluasi secara menyeluruh agar kejadian serupa tidak terulang kembali di pemilu berikutnya. Apalagi tahun 2020 mendatang akan ada pilkada serentak jilid 4.

Salah satu bentuk antisipasi yang bisa dilakukan adalah memperketat seleksi petugas KPPS terutama terkait syarat kesehatan. Surat Keterangan Sehat bagi calon petugas KPPS bukan hanya syarat formal semata, melainkan benar-benar diperiksa kesehatan jasmani dan rohani, fisik dan mental.

KPU juga harus menetapkan jam kerja maksimum bagi petugas KPPS. Jika melebihi jam kerja maksimum tersebut, maka wajib disediakan petugas lainnya atau menggunakan sistem shift. Dengan sistem shift ini, jumlah petugas KPPS menjadi lebih banyak dan anggaran yang dikeluarkan juga lebih besar. Namun dibandingkan ratusan jiwa petugas KPPS, sepertinya penambahan anggaran penyelenggaraan pemilu nasional berapa pun akan disetujui oleh DPR, asalkan alasannya reasonable atau masuk akal.

4. Imparsialitas ASN
ASN (Aparatur Sipil Negara) adalah Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah yang bekerja pada instansi pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Karena digaji oleh negara yang sebagian besar diperoleh dari pajak rakyat, maka sudah seharusnya ASN tidak memihak kepada salah satu pasangan calon. Memiliki preferensi pilihan tentu saja tidak dilarang, namun ikut berkampanye, secara terbuka menunjukkan dukungannya tentu tidak etis dan melanggar aturan.

Kata netral cenderung bermakna kosong/nol atau tidak memiliki pilihan (malah terkadang disebut golput), maka diksi yang tepat untuk ketidakberpihakan para ASN pada salah satu pasangan calon adalah imparsialitas.

Kepolisian Republik Indonesia sebagai penjaga keamanan nasional dan pengayom seluruh masyarakat harus dapat memposisikan diri di tengah, tidak memihak salah satu pihak.

Tentara Nasional Indonesia adalah tentara yang lahir dan besar bersama rakyat. Sebagai penjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentara tidak diperkenankan terjun ke dunia politik praktis. Politik tentara adalah politik negara. Apa pun yang dilakukan TNI semata-mata hanya untuk kepentingan rakyat dan negara.

Demikian juga untuk lembaga pemerintah non kementerian seperti BIN (Badan Inteligen Negara), Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional), BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), dll.

Jika semua ASN dapat bekerja dan bersifat profesional serta tidak memihak ke salah satu pasangan calon maka pemilu presiden yang jujur dan adil niscaya bisa tercapai.

5. Situng
Situng (Sistem Informasi Perhitungan Suara) KPU telah dirintis sejak tahun 2003. Saat itu Situng hanya untuk meng-upload formulir C1. Saat ini Situng tidak hanya digunakan untuk upload C1 (gambar) tapi juga untuk rekapitulasi suara (gambar dan teks).

Situng, sebagaimana dinyatakan oleh ahli IT Prof. Dr. Ir. Marsudi Wahyu Kisworo pada sidang PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) di MK, sejatinya ada dua yakni sistem atau aplikasi Situng (yang asli) dan website atau situs web Situng.

Aplikasi Situng KPU - dengan alasan keamanan - hanya dapat diakses oleh petugas internal KPU dengan mekanisme kontrol akses yang ketat.
Hanya orang-orang yang memiliki privilege (hak akses istimewa) yang dapat mengaksesnya.

Situs web Situng (pemilu2019.kpu.go.id) dapat diakses secara luas oleh publik sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas sistem kepemiluan kita.
Situs web Situng adalah virtualisasi dari Situng yang asli. Itulah sebabnya jika situs web Situng KPU diretas oleh hacker atau peretas dan isinya dimanipulasi, maka dengan segera dapat di-recover atau dipulihkan kembali dari sistem Situng yang asli.

Bahkan jika Data Center KPU pusat hancur sekali pun, KPU masih memiliki dua Data Center off site atau DRC (Disaster Recovery Center) yang lagi-lagi dengan alasan keamanan, lokasinya dirahasiakan.

Meskipun situs web Situng hanya sebagai informasi karena perhitungan resmi KPU tetap menggunakan perhitungan manual berjenjang, namun bukan berarti informasi yang disampaikan kepada publik boleh tidak valid karena rentan diubah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Prinsip dasar keamanan informasi adalah memastikan adanya integritas dan ketersediaan informasi (information integrity and availability).

Integitas informasi mengandung makna keutuhan informasi. Kalau pun harus diubah maka informasi hanya dapat diubah oleh pihak-pihak yang berwenang.

Ketersediaan informasi mengandung makna kapan pun dibutuhkan informasi harus tersedia, dapat digunakan oleh pengguna sesuai kewenangannya.
Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, maka keamanan informasi yang ada pada situs web Situng menjadi penting. Apalagi ada wacana bahwa situs web Situng atau sistem e-recap akan dijadikan sistem perhitungan suara resmi pada Pilkada serentak 2020 nanti. Sebelum itu terjadi, alangkah baiknya dilakukan evaluasi Situng atau e-recap secara komprehensif.

Contohnya adalah kesalahan input dari petugas data entry di tingkat kecamatan. Harus ada semacam mekanisme kontrol dari human error ini, baik menggunakan sistem otomatis maupun manual. Menggunakan sistem otomatis misalnya dengan error detection and error correction mechanism. 

Misalnya, sistem harus memiliki data base jumlah pemilih maksimum pada suatu TPS sehingga jika petugas memasukkan angka yang jumlahnya lebih besar dari jumlah maksimum suara di TPS, maka akan muncul semacam pop up atau notifikasi bahwa ada data yang salah input, mohon dikoreksi kembali.

Secara manual, mekanisme kontrol dapat juga dilakukan dengan melakukan verifikasi (doing things right) dan validasi (doing the right things) setiap data yang diinputkan di tingkat kecamatan pada tingkat yang lebih tinggi (kabupaten/kota atau bahkan provinsi).

Dengan mekanisme kontrol ini, maka diharapkan kesalahan-kesalahan sekecil apa pun sudah tidak terjadi lagi sehingga informasi yang ditampilkan pada situs web Situng adalah informasi yang benar, akurat, valid dan sahih.

6. Kesetaraan Paslon
Kesetaraan pasangan calon menjadi penting untuk menjamin pemilu presiden yang jujur dan adil (fair), sesuai asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Jika sebelumnya ada idiom bahwa mempertahankan sesuatu jauh lebih sulit dibandingkan dengan meraihnya maka sepertinya idiom tersebut tidak berlaku pada pemilihan umum presiden.

Apa sebab?

Dalam konteks kontestasi Pilpres, paslon yang bukan petahana akan lebih sulit untuk menghadapi incumbent dengan segala fasilitas dan wewenang yang melekat padanya.

Petahana yang pada saat proses Pilpres masih menjabat sebagai presiden akan menggunakan wewenangnya secara sah dan menguntungkan tanpa melanggar aturan.

Jika anggaran belanja negara dalam setahun 2D (2 dwiyar, sama dengan 2000 triliun) maka dalam 4,5 tahun kepemimpinannya, seorang presiden akan mendapatkan alokasi anggaran sekitar 9D, meskipun sekali lagi anggaran tersebut tidak hanya untuk lembaga eksekutif tetapi juga untuk anggota legislatif dan lembaga lainnya.

Anggaran yang besar ini bisa dimanfaatkan untuk membantu rakyat dalam hal pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan bantuan lainnya.

Dalam konteks ini tentu tidak ada yang dilanggar oleh seorang petahana asalkan masih dalam batas-batas kewajaran.

Lebih dari itu, presiden di Indonesia selain sebagai kepala pemerintahan juga sebagai kepala negara. Sebagai kepala pemerintahan, presiden mengepalai para meteri, pejabat setingkat menteri (Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI) dan lembaga pemerintahan non kementerian (BIN, Lemhanas, BSSN, BNPT, Bakamla, BNN, dll.).

Sebagai kepala negara-menurut UUD 1945- presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Presiden juga melantik beberapa pimpinan lembaga negara seperti Ketua MA, Ketua MK, Pimpinan KPK, Pimpinan KPU, Pimpinan Bawaslu, dll.
Jadi kewenangan presiden di Indonesia sangat luar biasa sehingga untuk mengalahkan petahana dalam kontestasi Pilpres juga harus dilakukan dengan upaya yang sangat luar biasa.

Sejak Pilpres secara langsung diselenggarakan belum ada petahana yang berhasil dikalahkan.

Benar, Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri memang petahana pada tahun 2004 dan dikalahkan oleh SBY, tapi Megawati bukanlah presiden yang dipilih secara langsung. Megawati adalah presiden yang menggantikan Gus Dur yang pada tahun 1999 dipilih oleh MPR.

Oleh karena kuatnya posisi, kedudukan, kewenangan, anggaran yang dimiliki oleh petahana maka perlu dirumuskan kembali aturan-aturan terkait kesetaraan para kandidat calon presiden.

Misalnya, kewajiban cuti untuk petahana pada masa kampanye Pilpres. Wakil presiden (jika tidak mencalonkan diri menjadi capres/cawapres) akan ditunjuk sebagai Plt. Presiden.

Selama cuti, petahana tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara, kecuali fasilitas keamanan yang sama seperti calon presiden non-petahana lainnya.

Petahana juga tidak diperkenankan melibatkan para menteri baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kampanye Pilpres, kecuali para menteri mengundurkan diri atau non-aktif.

Kepala daerah pendukung petahana juga harus melepaskan 'atribut' kepala daerahnya saat petahana kampanye di daerah.

Bahkan untuk menjamin kesetaraan paslon dan menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) saat pihak yang kalah Pilpres mengajukan permohonan PHPU di MK, maka para hakim MK yang ditunjuk oleh presiden petahana sebagai hakim MK usulan presiden seyogyanya non-aktif atau tidak ikut serta memimpin, merumuskan dan membuat putusan terkait sengketa Pilpres. Sebagai gantinya, dapat ditunjuk hakim pengganti MK dari usulan MA dan/atau DPR. Semua ini dilakukan semata-mata sebagai upaya untuk memastikan kesetaraan pasangan calon dalam kontestasi pemilihan umum presiden, tidak lebih dari itu.

7. E-voting
E-voting atau pemilihan umum elektronik (pemilu-el) sebenarnya bukanlah hal yang baru lagi. Tercatat di berbagai daerah pada tingkatan yang lebih rendah telah menerapkannya seperti pada pemilihan kepala dusun di daerah Jembrana, Bali, pemilihan kepala desa di Boyolali, Jawa Tengah dan pada pemilukada kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

E-voting dalam konteks nasional tentu harus mempertimbangkan tingkat kompleksitas, jumlah populasi pemilih, pemerataan infrastruktur dan tingkat kesiapan dan penerimaan sistem berbasis IT (Information Technology). Secanggih apa pun sistem yang digunakan namun jika tingkat penerimaan dan kepercayaan masyarakat kurang, maka sistem tesebut tidak akan efektif. Alih-alih ingin mempercepat dan mempermudah sistem kepemiluan, justru masyarakat menduga sistem e-voting penuh kecurangan dan rekayasa.

Untuk menjawab kecurigaan masyarakat ini, melakukan studi banding di negara-negara yang sudah menggunakannya tidaklah cukup. Dibutuhkan sosialisasi secara intens dan terus-menerus tentang sistem pemilu elektronik ini. KTP elektronik dengan chip yang terpasang di dalamnya sebenarnya dapat digunakan sebagai kunci untuk penggunaan sistem e-voting ini. Surat undangan pemilih sudah tidak diperlukan lagi. Cukup membawa KTP elektronik sebagai penggantinya. 

Pemilih memang tetap memasukkan print out hasil pilihannya ke kotak suara. Namun electronic counting digunakan sebagai penghitung jumlah suara. Jika ada pihak-pihak yang keberatan dengan hasilnya maka dengan izin lembaga pengawas pemilu, kotak suara dapat dibuka dan dihitung suaranya secara manual.

Pengembangan e-voting ke depan bisa juga memanfaatkan jaringan seluler atau mobile cellular. Mobile-voting menggunakan smartphone bukan sesuatu hal yang mustahil dilakukan dalam 10-15 tahun ke depan. Sistem keamanan dan kerahasiaan harus benar-benar dimatangkan sebelum sistem pemilu berbasis IT ini diterapkan. BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) telah melakukan serangkaian kajian yang mendalam tentang kemungkinan penerapan sistem e-voting ini. 

Pemerintah bersama-sama DPR sebagai pembuat regulasi harus mendukung apa yang sudah dikerjakan BPPT terkait pemilihan umum elektronik, apalagi MK telah memberikan lampu hijau untuk penggunaan sistem elektronik dalam pemilu kita. Sejatinya tantangannya bukan pada teknologi, tantangan terbesar penerapan sistem e-voting ini justru pada ketidakpercayaan publik. 

Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah sosialisasi secara masif berupa kampanye kesadaran (awareness campaign) akan pentingnya pemilu yang praktis, efisien (berdaya guna), efektif (berhasil guna), cepat, mudah, murah, demokratis, ramah lingkungan, tidak melelahkan, kredibel dan berkualitas melalui e-Voting.

8. Pemilu Tidak Langsung
Atas nama demokrasi, legitimasi dan untuk mengurangi praktek money politic, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat seperti halnya pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD.

Tercatat pemilu secara langsung sudah dilakukan sebanyak 4 kali (2004, 2009, 2014, 2019).

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pemilu secara langsung ini.

Apakah presiden sekarang menjadi lebih legitimate?

Apakah pada prosesnya sudah tidak ada lagi politik uang?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu masih terus ada di tengah-tengah masyarakat.

Belum lagi, berapa biaya (tangible dan intangible cost) yang harus dikeluarkan untuk pemilu langsung?

Tangible cost adalah biaya materi yang dianggarkan negara. Tercatat pada pemilu serentak lalu anggaran yang harus dikuncurkan negara mencapai Rp. 25,59T (belum termasuk biaya pengawasan dan keamanan sekitar Rp. 8T). Tentu ini bukanlah angka yang tergolong kecil.

Jika menggunakan cost and benefit analysis maka apakah manfaat yang didapatkan sudah melebihi atau setidak-tidaknya sepadan dengan anggaran yang dikeluarkan?

Intangible cost adalah biaya non materi seperti jumlah KPPS yang meninggal dunia, retaknya sendi-sendi kehidupan bangsa karena polarisasi yang tajam antar pendukung, banyaknya ujaran kebencian dan konten hoaks di media sosial, banyaknya teman dan keluarga yang saling tidak bertegur sapa karena perbedaan pilihan politik, dll.

Intangible cost umumnya tidak dapat dihitung dengan materi, namun jika harus dikalkulasikan maka nilainya akan jauh lebih besar dari pada tangible cost.

Belum lama ini ketua DPR Bambang Soesatyo juga sempat melempar wacana presiden dipilih kembali oleh MPR meskipun harus dilakukan amandemen UUD 1945. Meskipun hanya wacana, namun tetap dilihat feasibility-nya.

Dengan beberapa pertimbangan di atas, maka tidak ada salahnya untuk mengevaluasi dan mengkaji secara mendalam apakah pemilihan presiden secara langsung saat ini adalah pilihan terbaik untuk negara dan rakyat.

Apakah jika kita kembali ke pemilihan presiden secara tidak langsung atau melalui perwakilan adalah suatu kemunduran demokrasi?

Demokrasi pada dasarnya bermakna kekuasaan berada di tangan rakyat. Artinya, jika sebagian besar rakyat menghendaki pemilihan presiden melalui wakil-wakilnya di DPR/MPR kenapa tidak?

Pemilihan presiden melalui perwakilan tentu tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena kata Perwakilan tertulis jelas pada sila keempat Pancasila, dan Pancasila adalah nafas atau jiwa dari UUD 1945. Karena Pancasila sebagai nafas atau jiwa dari UUD 1945 maka pasal-pasal yang ada pada UUD 1945 digali dari nilai-nilai luhur Pancasila.

Jika harus kembali ke sistem perwakilan maka mekanismenya harus diperbaiki juga.

Kita sebut saja sistem perwakilan yang diperluas dan ditingkatkan.

Diperluas maksudnya pengajuan calon presiden tidak dibatasi oleh jumlah kursi di DPR dan DPD. Bahkan jika memungkinkan, ada calon perseorangan (bukan calon independen) yang tidak diusulkan parpol atau fraksi.

Untuk lebih merepresentasikan rakyat, maka disamping dipilih oleh seluruh anggata MPR yang menurut hasil Pemilu 2019 jumlahnya 711 orang (dengan rincian anggota DPR sebanyak 575 orang dan angggota DPD sebanyak 136 orang), hak suara untuk memilih presiden juga bisa diberikan kepada seluruh kepala daerah aktif di tingkat provinsi (gubernur) hingga kabupaten/kota (bupati/walikota).

Kenapa?

Secara hierarki presiden sebagai kepala pemerintahan adalah atasan dari kepala daerah dan bagaimanapun juga kepala daerah adalah perwakilan pemerintah pusat di daerah sehingga kepala pemerintah pusat (presiden) harus mendapat  'legitimasi' dari para kepala daerah agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

Dengan jumlah anggota MPR sebanyak 711 orang, gubernur 34 orang, dan bupati dan walikota 514 orang maka jumlah total anggota MPR ditambah kepala daerah yang memiliki hak suara untuk memilih presiden menjadi 1.259 suara. Jumlah yang cukup representatif jika dibandingkan dengan jumlah anggota MPR yang 'hanya' 711 orang.

Ditingkatkan artinya usulan calon presiden oleh anggota DPR, DPD dan mungkin juga forum kepala daerah harus melalui uji publik untuk melihat rekam jejak masing-masing bakal calon presiden. Jika tidak lolos uji publik, maka bakal calon akan deliminasi dan bisa diganti. Mekanisme uji publik dapat diatur kemudian.

Ditingkatkan juga bisa berarti bahwa proses pemilihan presiden bisa dilakukan melalui mekanisme e-voting (pemilihan elektronik) sehingga hasil real quick count-nya bisa diperoleh dalam hitungan jam.

Anggota MPR dapat memilih di gedung MPR/DPR sedangkan kepala daerah memilih di KPU Provinsi/Kabupaten/Kota masing-masing atau jika infrastruktur di beberapa KPU kabuputen/kota belum memadai, bupati dan walikota bisa memilih di KPU provinsi. Atau jika tingkat kepercayaan masyarakat sudah tinggi terhadap penggunaan IT, kepala daerah dapat memanfaatkan sistem mobile-voting, memilih menggunakan smartphone seperti diuraikan di atas.

Dengan pemilihan presiden menggunakan sistem perwakilan yang diperluas dan ditingkatkan ini maka diharapkan lagi tidak ada lagi gejolak dan tindakat anarkis di tengah-tengah masyarakat. Kelebihan lainnya tidak dibutuhkan lagi lembaga survei untuk melakukan Quick Count pemilihan presiden. Quick Count dari berbagai lembaga survei kredibel masih dapat dilakukan untuk pemilu legislatif dan pemilukada.

Demikian catatan penting pemilihan umum presiden 2019. Semoga bermanfaat untuk peningkatan kualitas demokrasi di salah satu negara demokrasi terbesar di dunia ini.

Tulisan tentang Pemilu Tidak Langsung dapat dibaca pada artikel penulis di Kompasiana dengan judul  Meninjau Kembali Pilpres Langsung atau pada tautan bit.ly/PilpresLangsung (ins.saputra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun