Benar, Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri memang petahana pada tahun 2004 dan dikalahkan oleh SBY, tapi Megawati bukanlah presiden yang dipilih secara langsung. Megawati adalah presiden yang menggantikan Gus Dur yang pada tahun 1999 dipilih oleh MPR.
Oleh karena kuatnya posisi, kedudukan, kewenangan, anggaran yang dimiliki oleh petahana maka perlu dirumuskan kembali aturan-aturan terkait kesetaraan para kandidat calon presiden.
Misalnya, kewajiban cuti untuk petahana pada masa kampanye Pilpres. Wakil presiden (jika tidak mencalonkan diri menjadi capres/cawapres) akan ditunjuk sebagai Plt. Presiden.
Selama cuti, petahana tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara, kecuali fasilitas keamanan yang sama seperti calon presiden non-petahana lainnya.
Petahana juga tidak diperkenankan melibatkan para menteri baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kampanye Pilpres, kecuali para menteri mengundurkan diri atau non-aktif.
Kepala daerah pendukung petahana juga harus melepaskan 'atribut' kepala daerahnya saat petahana kampanye di daerah.
Bahkan untuk menjamin kesetaraan paslon dan menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) saat pihak yang kalah Pilpres mengajukan permohonan PHPU di MK, maka para hakim MK yang ditunjuk oleh presiden petahana sebagai hakim MK usulan presiden seyogyanya non-aktif atau tidak ikut serta memimpin, merumuskan dan membuat putusan terkait sengketa Pilpres. Sebagai gantinya, dapat ditunjuk hakim pengganti MK dari usulan MA dan/atau DPR. Semua ini dilakukan semata-mata sebagai upaya untuk memastikan kesetaraan pasangan calon dalam kontestasi pemilihan umum presiden, tidak lebih dari itu.
7. E-voting
E-voting atau pemilihan umum elektronik (pemilu-el) sebenarnya bukanlah hal yang baru lagi. Tercatat di berbagai daerah pada tingkatan yang lebih rendah telah menerapkannya seperti pada pemilihan kepala dusun di daerah Jembrana, Bali, pemilihan kepala desa di Boyolali, Jawa Tengah dan pada pemilukada kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
E-voting dalam konteks nasional tentu harus mempertimbangkan tingkat kompleksitas, jumlah populasi pemilih, pemerataan infrastruktur dan tingkat kesiapan dan penerimaan sistem berbasis IT (Information Technology). Secanggih apa pun sistem yang digunakan namun jika tingkat penerimaan dan kepercayaan masyarakat kurang, maka sistem tesebut tidak akan efektif. Alih-alih ingin mempercepat dan mempermudah sistem kepemiluan, justru masyarakat menduga sistem e-voting penuh kecurangan dan rekayasa.
Untuk menjawab kecurigaan masyarakat ini, melakukan studi banding di negara-negara yang sudah menggunakannya tidaklah cukup. Dibutuhkan sosialisasi secara intens dan terus-menerus tentang sistem pemilu elektronik ini. KTP elektronik dengan chip yang terpasang di dalamnya sebenarnya dapat digunakan sebagai kunci untuk penggunaan sistem e-voting ini. Surat undangan pemilih sudah tidak diperlukan lagi. Cukup membawa KTP elektronik sebagai penggantinya.Â
Pemilih memang tetap memasukkan print out hasil pilihannya ke kotak suara. Namun electronic counting digunakan sebagai penghitung jumlah suara. Jika ada pihak-pihak yang keberatan dengan hasilnya maka dengan izin lembaga pengawas pemilu, kotak suara dapat dibuka dan dihitung suaranya secara manual.