Para guru juga perlu dimotivasi supaya punya minat baca dan tidak hanya hebat memotivasi anak didik, tapi mereka sendiri perlu memotivasi diri untuk membaca buku dan mengupdate diri sampai kepada kekinian.
Sebenarnya melalui dinas pendidikan langkah menaikkan minat baca para guru bisa dibentuk. Katakan saja setiap guru tidak ada istilah ada kenaikan pangkat otomatis.
Hal yang penting adalah perlu ujian kompetensi guru. Dalam hal ini, dinas pendidikan dan kebudayaan perlu merencanakan standar kemampuan guru berupa program baca untuk para guru.
Para guru perlu membaca literatur yang wajib dibaca. Bagaimana tahu bahwa para guru itu rajin membaca? Ya pada momen ujian kompetensi itu, soal ujian  tentu saja datang dari buku-buku yang wajib dibaca oleh para guru.
Dengan cara itu, otomatis bahwa para guru mesti membaca buku-buku itu. Karena tanpa membaca literatur itu mustahil bisa lulus dalam ujian kompetensi.
Nah, ini hanya merupakan satu strategi supaya para guru juga punya minat baca buku. Soalnya terkesan, semakin ke desa, semakin jauh kehidupan para guru dengan kebiasaan membaca buku.
Pengalaman pertama belajar membaca buku pada tahun 1999-2000
Pada tahun 1999 ketika berada pada proses formasi khusus selama dua tahun, kami diwajibkan membaca 65 buku. Pertama kali mendengar penegasan dari sang magister pada masa itu, jantung saya langsung berdebar.
Pasalnya, sejak SD sampai SMA, saya belum terbiasa membaca buku. Bagaimana saya bisa membaca 65 buku itu, ditambah dengan tuntutan lainnya bahwa selama dua tahun harus membaca Kitab Suci dari Kitab Kejadian sampai Kitab Wahyu.
Oleh karena tuntutan yang mau tidak mau harus dipenuhi supaya ada kelanjutan proses formasi ke jenjang yang lebih tinggi, maka dalam waktu dua tahun saya bisa menyelesaikan itu semua dengan baik.
Saya masih ingat, ada satu buku terjemahan yang sangat tebal hampir 1000 halaman yaitu buku Wajah Tersembunyi dari Santa Theresia dari Lisieux.