WFO di negara mana saja akan punya dampak yang sama yakni terkait biaya perjalanan. Entah itu orang menggunakan kendaraan umum, maupun kendaraan pribadi sudah pasti membutuhkan biaya.
Biaya itu mencakup beberapa hal, seperti biaya bahan bakar, biaya parkir, biaya tol misalnya di Indonesia, biaya makan minum, apalagi saat terjadi kemacetan.
Perhitungan penghematan biaya pengeluaran itu tentu saja tidak ada bedanya untuk orangtua dan orang muda. Sama-sama punya perhitungan itu, karena sama-sama punya rencana dan anggaran hidup dan masa depan.
Apakah ada faktor lain yang muncul sebagai akibat dari gejolak WFH selama ini?
Memang perlu diteliti lebih lagi karena sudah ada kenyataan bahwa sebagian orang merasa begitu nyaman dengan kesendirian. Pada prinsipnya orang lebih suka kalau berkumpul dengan orang yang sama-sama saja.
Ada jenis fobia yang tampak setelah dua tahun ini yakni takut berjumpa dengan orang banyak.Â
Ada beberapa orang yang pernah saya temui baru-baru ini punya pengakuan yang sama bahwa mereka takut berada dalam kerumunan dan bertemu orang banyak.
Bisa saja fenomena itu muncul karena trauma terkena Covid-19 setelah berkumpul bersama dengan banyak orang. Ya, WFO bisa saja menjadi suatu kesempatan untuk bertemu orang lain dan banyak orang lain dan kesempatan untuk keluar dari fobia dan kesendirian.
Apakah sebagian orang yang menolak WFO juga karena alasan ketakutan seperti itu? Tanpa kita sadari bahwa WFH dalam arti tertentu telah membentuk mentalitas manusia saat ini yang nyaman dengan kesendiriannya di rumah.
Apa jadinya dunia ini kalau saja sebagian besar orang memikirkan bahwa kesendirian itu jauh lebih penting dari kebersamaan?Â
Sangat mungkin bahwa Covid-19 bisa saja menjadi titik pijak suatu perubahan perspektif tentang komunitas.