WFO dan WFW punya sisi untung dan ruginya. Oleh karena itu, orang perlu mempertimbangkan secara matang, mana hal yang penting dalam hidup ini, selain bahwa orang harus menyerah pada kebijakan pemerintah yang mengatur tentang kedua sistem itu | Ino Sigaze.
Tema tentang WFO dan WFH bisa menjadi satu tema dengan aksen penilaian yang berbeda-beda. Sebagian orang mungkin saja punya alasan yang masuk akal, mengapa lebih suka WFH dan juga mengapa sebagian lagi lebih suka WFO.
Perbedaan alasan itu tidak terlepas dari perbedaan situasi, kebijakan dan latar belakang budaya dan pemahaman masing-masing orang. Oleh karena perbedaan-perbedaan itu, maka kita tidak bisa juga menuduh orang lain yang punya alasan berbeda itu sebagai penyebab dari kemungkinan yang tidak suka harus diterimanya saat ini.
Suka dan tidak suka WFO, bisa terjadi karena 3 alasan ini:
1. Orang suka dengan WFO karena untuk mengungkapkan kemenangannya pada pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 sudah menimpa manusia dan dunia ini selama 2 tahun lebih. Ada banyak sekali yang meninggal.
Majalah Spiegel.de Jerman, misalnya, merilis data korban Covid-19 di seluruh dunia sudah mencapai angka 6,6 juta plus 1.300 orang setiap hari. Sedangkan yang terinfeksi sebanyak 635, 2 juta orang plus 360.000 orang setiap hari (14/11/2022).
Angka kematian dan angka yang terinfeksi itulah yang tentu saja mempengaruhi keputusan pemerintah hampir di semua negara bahwa adanya sistem WFH dan WFO.
Di awal tahun 2023 ini terlihat ada suatu perubahan besar. Hanya Meksiko yang mencapai angka 4, 84 % sebagai angka tertinggi Covid-19 dalam perbandingan dengan negara-negara lainnya di seluruh dunia.Â
Brasil di urutan kedua dengan angka 1, 92 % dan urutan ketiga Rusia dengan angka 1,82%, India 1,19% USA 1,11%, sedangkan negara-negara lainnya berada sekitar 0, sekian persen.
Data-data ini menunjukkan bahwa Covid-19 sudah bisa diatasi. Selain itu, sebagian besar orang ingin kembali kepada suatu suasana seperti sebelum covid-19.
Sebuah suasana kerja dan perjumpaan dengan yang lainnya tanpa ada jaga jarak dan penggunaan masker sebagaimana layaknya tuntutan pada saat Covid-19 merupakan suasana yang dirindukan oleh sebagian besar manusia di muka bumi ini.
Jadi, WFO itu adalah bagian dari proklamasi kemerdekaan atas Covid-19.
2. Orang tidak suka dengan WFO karena orang harus berhadapan dengan kenyataan macet di jalanan
Kendala umum yang cukup mempengaruhi pertimbangan sebagian orang tidak suka WFO karena mau tidak mau harus mengalami resiko macet di jalan.
Resiko macet itu berdampak juga pada biaya dan waktu. Dari kenyataan itulah, orang mulai berpikir dari segi efektivitas sebagai hal yang lebih penting daripada sosialitas, bertemu orang lain.
Banyak waktu akan tidak dipakai secara efektif di jalan. Orang harus bangun pagi-pagi dan berjam-jam melakukan perjalanan, meninggalkan keluarga dan teman-teman.
Alasan seperti ini mungkin akan menjadi alasan kebanyakan orang Indonesia yang mendiami kota-kota besar seperti di daratan pulau Jawa.Â
Nah berbeda dengan kenyataan di Jerman misalnya, orang lebih suka WFO karena di sana ada kemungkinan untuk berjumpa dengan orang lain, teman-teman kerja.Â
Di rumah itu tentu saja merupakan hal yang membosankan (langweilig). Mereka tidak punya alasan karena fasilitas transportasi yang bagus dan memungkinkan mereka untuk pergi dan pulang secara aman dan lancar selalu ada.
3. Orang tidak suka WFO karena dari segi penghematan biaya pengeluaran yang akan menjadi lebih mahal
WFO di negara mana saja akan punya dampak yang sama yakni terkait biaya perjalanan. Entah itu orang menggunakan kendaraan umum, maupun kendaraan pribadi sudah pasti membutuhkan biaya.
Biaya itu mencakup beberapa hal, seperti biaya bahan bakar, biaya parkir, biaya tol misalnya di Indonesia, biaya makan minum, apalagi saat terjadi kemacetan.
Perhitungan penghematan biaya pengeluaran itu tentu saja tidak ada bedanya untuk orangtua dan orang muda. Sama-sama punya perhitungan itu, karena sama-sama punya rencana dan anggaran hidup dan masa depan.
Apakah ada faktor lain yang muncul sebagai akibat dari gejolak WFH selama ini?
Memang perlu diteliti lebih lagi karena sudah ada kenyataan bahwa sebagian orang merasa begitu nyaman dengan kesendirian. Pada prinsipnya orang lebih suka kalau berkumpul dengan orang yang sama-sama saja.
Ada jenis fobia yang tampak setelah dua tahun ini yakni takut berjumpa dengan orang banyak.Â
Ada beberapa orang yang pernah saya temui baru-baru ini punya pengakuan yang sama bahwa mereka takut berada dalam kerumunan dan bertemu orang banyak.
Bisa saja fenomena itu muncul karena trauma terkena Covid-19 setelah berkumpul bersama dengan banyak orang. Ya, WFO bisa saja menjadi suatu kesempatan untuk bertemu orang lain dan banyak orang lain dan kesempatan untuk keluar dari fobia dan kesendirian.
Apakah sebagian orang yang menolak WFO juga karena alasan ketakutan seperti itu? Tanpa kita sadari bahwa WFH dalam arti tertentu telah membentuk mentalitas manusia saat ini yang nyaman dengan kesendiriannya di rumah.
Apa jadinya dunia ini kalau saja sebagian besar orang memikirkan bahwa kesendirian itu jauh lebih penting dari kebersamaan?Â
Sangat mungkin bahwa Covid-19 bisa saja menjadi titik pijak suatu perubahan perspektif tentang komunitas.
Komunitas global saat ini kemungkinan besar hanya bisa diterima sebagai satu komunitas online dan bukan sebagai komunitas kehadiran nyata (Anwesenheit).
Apakah ini adalah signal tentang pola kehidupan manusia modern? Benarkah bahwa semakin maju suatu bangsa, maka semakin individu apa yang dipikirkannya?
WFO memang membutuhkan biaya dan waktu ekstra, akan tetapi pengaruhnya bagi dimensi kebersamaan, sosialitas itu sangat baik. Sebaliknya WFH pasti sangat menguntungkan dari segi penghematan, akan tetapi manusia semakin diseret kepada konsep kesendirian yang egoistis.
Oleh karena itu, setiap orang mesti punya keputusan sendiri sesuai dengan kemampuan dan kesadaran dirinya sendiri. Pada prinsipnya orang boleh saja WFH asal tidak menjadikannya pribadi yang tertutup dan fobia terhadap kebersamaan dengan orang lain.Â
Demikian juga orang boleh saja WFO asalkan tetap memperhitungkan segala aspek yang berkaitan dengan pentingnya dimensi kebersamaan, tatap muka dan juga aspek penghematan di ambang resesi saat ini.
Mungkinkan konsep WFH tetap diberlakukan sampai pada gelombang resesi itu berlalu? Ya, bisa saja, cuma kita membutuhkan kebijakan yang bisa memperhitungkan semua aspek secara baik dan bijak.
Sejauh itu menguntungkan secara ekonomi dan sosial, ya mengapa tidak? Tentu saja, tulisan ini membutuhkan tanggapan dan pendapat dari banyak orang supaya kajian yang mendalam dan cocok untuk manusia saat ini bisa diterima dengan memuaskan.
Salam berbagi, ino, 15.01.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H