Sistem apa saja yang membuat orang lain terdepak secara sosial tentu saja tidak baik, karena kita adalah satu bangsa dan punya hak hidup dan memperoleh pelayanan yang sama.
Kebijakan pemerintah entah itu masih sebatas polemik terkait tarif KRL memang perlu dikaji lagi dari beberapa sudut pandang.Â
Tujuan pengkajian yang matang tidak lain supaya kebijakan itu betul-betul bijaksana dan baik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi bangsa.
Kehadiran KRL memang bagi rakyat Indonesia, khususnya di daratan pulau Jawa merupakan opsi alternatif fasilitas transportasi yang menggiurkan.Â
Pasalnya KRL pasti memberikan pelayanan yang lebih baik dan cepat. Layanan transportasi yang baik dan cepat untuk kota-kota besar dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi tentu saja menjadi pilihan prioritas.
Siapa sih yang senang dengan kemacetan di jalanan ibu kota dan antar kota? Tentu saja tidak ada orang. Setiap orang pasti menghendaki perjalanan yang lancar dan tepat waktu.
Nah, meskipun terlihat bahwa kehadiran KRL itu menjanjikan, namun tampak kemungkinan kebijakan yang akan hadir terkait perbedaan beban biaya KRL dengan sistem kelas kaya dan miskin hemat saya bukan merupakan opsi yang bagus.
Ada 4 alasan yang bisa dilihat sebagai berikut:
1. Sistem pembagian kelas kaya-miskin itu tidak akan menciptakan iklim kehidupan masyarakat yang baikÂ
Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tidak harus menyeret kita untuk membuat pembedaan kaya-miskin dalam urusan tarif KRL.
Sistem pemerintahan dan segala macam urusan di negara kita sebenarnya sudah merupakan bentuk perlawanan terhadapan bentuk-bentuk kapitalisme dengan sistem pembedaan kelas kaya-miskin.
Persoalan bagi negara berkembang, sistem pembedaan itu akan memanjakan orang miskin untuk tetap tidur nyenyak sebagai orang miskin.
Memang kasihan dengan orang miskin. Ya, kita kasihan tapi tidak harus dengan membuat perbedaan itu. Mengapa? Jawabannya adalah poin berikutnya.
2. Sistem pembagian kelas akan memperlebar ruang kecemburuan sosial di tengah masyarakat
Perbedaan kelas memang tidak mengubah keadaan. Coba bayangkan kalau dibuat pembagian sesuai kelas miskin dan kaya, maka kemungkinan ini bisa terjadi:
Kelas kaya merasa selalu berada di kelas elit di KRL, sedangkan orang miskin bisa saja akan menjadi tertawaan dan tontonan orang kaya di stasiun kereta.
Bagaimana tidak? Mereka pasti berdesakan, rebutan tempat dan berdesakan di lorong untuk mencari tempat duduk mereka dan lain sebagainya.
Jika itu terjadi, maka kehidupan dan kebersamaan kita sebagai warga negara itu sudah tidak menunjukkan suatu atmosfer yang harmonis sebagai satu bangsa.
3. Sistem perbedaan kelas itu akan menyeret orang kepada distingsi suku, agama dan ras
Kemungkinan yang bisa terjadi sebagai dampak lanjut dari sistem kelas kaya dan miskin itu adalah penampakan dari kenyataan perbedaan suku, agama dan ras, bahkan bisa saja akan terlihat orang-orang pribumi akan menjadi penghuni tetap kelas miskin daripada pendatang.
Kemungkin ini perlu sedini mungkin dihindari sebelum muncul gejolak sosial anti orang kaya. Lebih baik kita tempuh langkah antisipatif daripada membiarkannya sampai benar-benar terjadi.
4. Sistem kelas miskin-kaya akan berdampak besar pada psikis orang miskin
Orang miskin bisa saja tidak bisa menikmati perjalanan dengan kereta canggih itu, padahal jenis transportasi itu diciptakan untuk melayani masyarakat Indonesia seluruhnya, dan bukan cuma untuk mereka yang kaya.
Sistem apa saja yang membuat orang lain terdepak secara sosial tentu saja tidak baik, karena kita adalah satu bangsa dan punya hak hidup dan memperoleh pelayanan yang sama.
Tentu kasihan sekali, sistem dibuat oleh kita sendiri, tetapi juga merendahkan orang kita sendiri. Jadi, saya pikir kebijakan pembedaan yang miskin dan kaya terkait harga tiket KRL tidak perlu dibuat.
Apa yang perlu dibuat untuk mengatasi perbedaan kaya-miskin?
Dinas perhubungan dan bagian perkeretaapian perlu secara khusus memikirkan harga yang yang bisa dijangkau "orang miskin". Sebetulnya tidak suka menyebut orang miskin.
Harga yang yang bisa dijangkau oleh semua itu yang perlu menjadi pilihan kebijakan pemerintah. Pilihan "harga tengah" atau Mittlerer Preis itu untuk mengatasi perbedaan kelas di tengah masyarakat.
Bagaimana bisa menemukan harga tengah?
Pemerintah dalam hal ini dinas perhubungan perlu membuat survei tentang kemampuan masyarakat untuk melihat sejauh mana masyarakat kita bisa menikmati KRL, tanpa KRL itu sendiri jadi terdepak karena kekurangan biaya operasional dan lain sebagainya.
Masa operasional percobaan perlu dibuat supaya tahu dengan pasti seperti apa sih minat masyarakat terkait alternatif harga tiket yang ada dan kemungkinan perubahannya.
Jika saja cukup dalam artian masyarakat yang dikategorikan "miskin" juga bisa membeli tiket itu, ya kenapa harus dibuat perbedaan harga untuk yang miskin dan yang kaya.
Kemungkinan sebagai strategi bisnis yang menguntungkan pihak KRL tentu saja dibuat kelas khusus, seperti kelas bisnis dengan harga yang jauh berbeda dengan kelas ekonomi.
Saya lebih setuju pakai istilah kelas bisnis dan kelas ekonomi daripada kelas orang kaya dan orang miskin. Istilah kaya-miskin mungkin tampak terlalu diskriminatif.
Oleh karena KRL itu adalah sarana transportasi publik, maka porsi untuk kelas ekonomi harus lebih banyak.Â
Di Jerman misalnya, kelas 1 itu cuma beberapa kursi, tidak lebih dari 10 kursi, lainnya adalah kelas ekonomi untuk kereta antar kota.
Untuk perjalanan antar negara seperti pada ICE, kereta cepatnya Jerman, kelas 1 punya ruangan sendiri dengan jumlah yang lebih banyak.
Pada prinsipnya, "harga tengah" dan survei daya beli masyarakat dan minat masyarakat perlu dibuat supaya kebijakan pemerintah berdasarkan pada kajian data yang valid dan bukan abal-abal.
Bagaimana sistem pembelian tiket tanpa kelas?
Sebenarnya akan sangat menguntungkan pemerintah, jika dibuatkan sistem pembelian tiket dengan menggunakan kartu KRL. Jenis kartu itu sekali lagi tidak membedakan miskin dan kaya, tetapi secara periodik.
Ada yang berlaku tiga bulan, satu semester dan bisa juga satu tahun. Keuntungannya, jika orang sudah membeli tiket itu berarti orang mampu membayarnya.Â
Seberapa sering dia menggunakan jasa pelayanan, ya itu urusannya sendiri, sejauh ia butuhkan, mau setiap hari ya bisa-bisa saja, tapi juga kan gak mungkin semua orang setiap hari pulang pergi Jakarta ke Bandung, misalnya.
Tentu saja, harga untuk tiga bulan berbeda dengan harga untuk 6 bulan dan 12 bulan. Kalau orang tidak sanggup membeli 3 bulan ya beli yang sekali jalan. Dan mustahil bahwa orang tidak sanggup membeli tiket sekali jalan.Â
Sebagai contoh, perjalanan dari Mainz ke Frankfurt sejauh 40 km, harga tiket, 8 euro sekali jalan, dan berbeda kalau paket tiket untuk satu hari.
Prinsipnya pulang pergi menjadi 16 atau 256.000 rupiah. Dari total harga satu semester sebenarnya cuma untuk 22 kali perjalanan atau cuma untuk 22 hari.Â
Orang berpikir bahwa sistem semester itu lebih murah dari pada harus membeli setiap hari. Coba bayangkan 6 bulan x 16 setiap hari, maka harganya akan jauh lebih mahal, ya kurang lebih 2.880 .Â
Artinya sistem pembayaran per semester itu menjadi lebih murah dan menjadikan banyak orang memilikinya dengan asumsi bahwa tidak mungkin semua pembeli itu melakukan perjalanan setiap hari.
Akan tetapi untuk 6 bulan, orang bisa mendapatkannya dengan harga 360 euro atau sama dengan RP. 5.760.000 (kurs 1 : 16.000). Artinya dalam enam bulan orang sudah menghemat 2.520 . Ini hanya sebuah contoh tentunya.Â
Apakah hal seperti itu mungkin diterapkan di Indonesia? Berapa harga per tiga bulan, enam bulan dan satu tahun?
Tentu saja perlu dikaji lebih baik lagi sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia dan juga berdasarkan survei yang dilakukan oleh pihak KRL.
Logikanya bahwa dengan "harga tengah" atau Mittlerer Preis, dua jenis kelompok "miskin dan kaya" bisa sekalian dijangkau tanpa ada diskriminasi yang diciptakan di tengah masyarakat.
Jika pengguna jasa KRL menggunakan sistem kartu KRL, maka semuanya akan menjadi sama dan tidak terlihat lagi siapa yang kaya dan siapa yang miskin.
Pada prinsipnya kemajuan teknologi apa saja tidak boleh menjadikan kehidupan kita sebagai bangsa yang beraneka ragam ini buyar karena perbedaan kelas.
Salam berbagi, ino, 4.1.2023.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI