Kemungkinan sebagai strategi bisnis yang menguntungkan pihak KRL tentu saja dibuat kelas khusus, seperti kelas bisnis dengan harga yang jauh berbeda dengan kelas ekonomi.
Saya lebih setuju pakai istilah kelas bisnis dan kelas ekonomi daripada kelas orang kaya dan orang miskin. Istilah kaya-miskin mungkin tampak terlalu diskriminatif.
Oleh karena KRL itu adalah sarana transportasi publik, maka porsi untuk kelas ekonomi harus lebih banyak.Â
Di Jerman misalnya, kelas 1 itu cuma beberapa kursi, tidak lebih dari 10 kursi, lainnya adalah kelas ekonomi untuk kereta antar kota.
Untuk perjalanan antar negara seperti pada ICE, kereta cepatnya Jerman, kelas 1 punya ruangan sendiri dengan jumlah yang lebih banyak.
Pada prinsipnya, "harga tengah" dan survei daya beli masyarakat dan minat masyarakat perlu dibuat supaya kebijakan pemerintah berdasarkan pada kajian data yang valid dan bukan abal-abal.
Bagaimana sistem pembelian tiket tanpa kelas?
Sebenarnya akan sangat menguntungkan pemerintah, jika dibuatkan sistem pembelian tiket dengan menggunakan kartu KRL. Jenis kartu itu sekali lagi tidak membedakan miskin dan kaya, tetapi secara periodik.
Ada yang berlaku tiga bulan, satu semester dan bisa juga satu tahun. Keuntungannya, jika orang sudah membeli tiket itu berarti orang mampu membayarnya.Â
Seberapa sering dia menggunakan jasa pelayanan, ya itu urusannya sendiri, sejauh ia butuhkan, mau setiap hari ya bisa-bisa saja, tapi juga kan gak mungkin semua orang setiap hari pulang pergi Jakarta ke Bandung, misalnya.
Tentu saja, harga untuk tiga bulan berbeda dengan harga untuk 6 bulan dan 12 bulan. Kalau orang tidak sanggup membeli 3 bulan ya beli yang sekali jalan. Dan mustahil bahwa orang tidak sanggup membeli tiket sekali jalan.Â