Posisi berdiri ibuku menjadi sorotan permenungan saya, mengapa ibu berdiri di tengah? Ya, ia rupanya menjadi penengah bagi ayam-ayam itu.Â
Ia menjadi penengah yang punya kepentingan: Ada dua kepentingannya: pertama, ayam yang sudah jinak bisa memperoleh makanan, tanpa merampas makanan untuk ayam yang belum jinak. Kedua, ia sedang berusaha mengubah cara pandang dari liar menjadi jinak, dekat dan bersahabat.
Cara menjinakan ayam yang liar itu, ternyata bukan dengan membuang sebanyak mungkin jagung atau makanan ke arah ayam itu, tetapi membuang satu demi satu.
Ayam liar itu akan mengambil langkah penuh pertimbangan, kadang ia maju, lalu mundur lagi beberapa langkah. Setelah jagung dibuang lagi, ayam itu berusaha maju lagi.Â
Jagung yang dilempar itu semakin pendek jangkauannya dari ibuku. Cara itu akhirnya tanpa disadari ternyata, ayam itu semakin dekat. Hal seperti itu dilakukan ibuku setiap hari.
Rutinitas pagi hari itulah yang mengubah pandangan picik sang ayam untuk menaruh percaya pada sang ibu. Seminggu berlangsung, ayam yang semula liar itu ternyata sudah bisa makan jagung dari telapak tangan sang ibu.
Aneh bukan? Mengapa bisa seperti itu?
Rupanya ibu itu punya kemampuan tidak terkatakan. Dalam kasihnya yang lembut, sampai ayam pun bisa merasakan kenyamanan berada bersamanya. Yang liar bisa ditaklukannya dengan melemparkan jagung satu demi satu.
Pengalaman tentang ibuku yang setia memberi makan ayam sangat menyentuh hati saya, sampai-sampai menyeret saya untuk merenungkan secara khusus di hari ibu pada hari ini. Â
Makna filosofis dari cara ibu memberi makan ayam
Pengalaman yang sangat sederhana dari ibuku itu bagi saya punya makna filosofis sendiri. Ya, filosofi tentang perjuangan untuk meraih cita-cita.