Siapa saja bisa punya rancangan outing sesuai dengan kebutuhan komunitas, teman kerja, kantor, dll. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah momen yang membangun keakraban melalui metode dan cara pendekatan apa saja. Gelombang hidup perlu terhubung dengan gelombang cinta | Ino Sigaze.
Banyak orang beranggapan bahwa momen seperti outing itu adalah momen ha.ha.hi..hi. atau momen senang-senang dalam arti yang dangkal saja.Â
Akan tetapi tidak sedikit orang yang melihat lain. Outing itu bisa menjadi sangat penting karena persiapan dan tujuan yang dimiliki sekelompok orang.
Outing yang dilakukan melalui suatu persiapan yang baik itu pasti punya beberapa unsur yang penting, antara lain:
1. Outing itu punya tema tertentu: rekreasi dan koreksi persaudaraan, dari hati ke hati, empat mata, dll.
2. Outing bisa juga dilakukan untuk temu akrab satu dengan yang lain dalam satu komunitas
3. Outing itu bisa juga untuk mengevaluasi kinerja pengurus
Jenis outing yang dirancang dengan tujuan tertentu itu tentu saja tidak monoton, tetapi pasti bervariasi. Mulai dari permainan-permainan, sharing bersama, refleksi, meditasi dan kontemplasi.
Saya masih ingat pada tahun 2013 ketika masih di Flores, saya pernah mendampingi satu komunitas yang anggotanya berjumlah 350 rang. Oleh karena jumlah yang sangat banyak, maka saya membagi-bagi jadwal untuk outing akhir tahun.
Kelompok pertama itu menjadi titik pengalaman yang paling berkesan, karena di sana ada dinamika yang diluar rancangan. Saya hanya membayangkan bahwa ketika semua pengurus komunitas bisa berbicara secara terbuka itu baik adanya.
Waktu itu ada beberapa volunter yang datang dari luar Flores dengan tugas untuk pendampingan bagi anggota pemula. Ada volunter pemula yang masih "anak bawang" dan ada juga volunter senior yang merasa benar semua.
Suatu ketika volunter senior itu berbicara dengan nada teguran kepada ibu-ibu yang lebih tua usianya dengan posisi melipat kaki sambil kakinya digoyang-goyang, seperti seorang bos besar.
Kebiasaan seperti itu ternyata susah diterima oleh orang-orang tua yang hadir sebagai anggota pemula. Simpang siur omongan tidak puas mulai bermunculan.
Sebagai pendamping ketika itu, saya merasa bahwa suasana seperti itu tidak boleh dibiarkan lama. Gagasan tentang model outing "6 Si" mulai dicoba: Rekreasi, refleksi, koreksi, presentasi, meditasi dan kontemplasi.
Model itu coba saya terapkan dalam kegiatan outing kami saat itu. Beberapa tahapannya sebagai berikut:
1. Rekreasi: Momen rekreasi itu sebenarnya momen bebas. Kami hanya menyediakan beberapa fasilitas, seperti kartu, dan jenis permainan lainnya, bahkan ada juga jenis sepak bola pantai.
Suasana bebas dan santai mewarnai kegiatan pertama rekreasi kami. Tampak menyenangkan karena disana tidak ada yang menjadi guru dan yang menjadi murid. Semua menjadi sama, ya bermain dengan gelak tawa lepas tanpa pandang usia.
2. Refleksi: Pada tahap ini saya memanggil semua peserta untuk kembali mengambil posisi melingkar. Saat itu adalah momen bagi peserta untuk sebuah Rckblik atau melihat kembali apa yang dia lakukan dan apa hal yang menarik dari sebuah permainan.
Ada yang melihat bahwa hidup itu adalah sebuah permainan. Ada juga yang melihat melalui permainan menjadi momen untuk mengenal diri, karena terkadang sulit berbagi dan ingin menguasai, bahkan ada yang menyadari ia lupa bahwa ia punya teman. Ia cenderung berjuang sendiri sampai mencapai gol misalnya.
3. Koreksi: Setelah setiap peserta mengoreksi diri mereka sendiri, sekarang tiba saatnya saling koreksi. Saya tidak menduga bahwa momen itu ternyata momen yang ditunggu anggota pemula.
Mereka ingin sekali mengoreksi volunter yang selalu goyang dan lipat kaki saat menegur mereka itu. Tampak sekali seperti lebah madu yang lagi ganas ingin menyerang dan menyengat.
Tapi ada juga yang sangat santun menyampaikan koreksi terhadap volunter itu. Ia menjelaskan tentang tata krama menurut adat orang Flores.Â
Orang Flores kalau berbicara dengan orang lain dan orang yang lebih tua, tidak boleh lipat dan goyang kaki. Karena sikap seperti itu dianggap kurang sopan atau semacam tidak menghargai orang.
Ya, beda tempat, beda budaya dan adat istiadat. Di Jerman di mana saja orang bisa lipat kaki, sambil goyang juga tidak apa-apa. Bagi mereka yang penting otaknya jalan dan nalarnya waras.
Nah, itulah perbedaannya, momen koreksi menjadi begitu seru karena orang Flores menegur seorang Volunter senior yang sudah menganggap diri benar semua.Â
4. Presentasi: Pada momen itu, saya sudah menemukan hal-hal baik yang bisa menjadi bahan presentasi singkat saya pada saat itu. Presentasi singkat cuma untuk mengangkat poin-poin yang penting mulai dari awal sampai dengan proses koreksi.
Tema seperti tentang perhatian (Aufmerksamkeit) itu menjadi tema utama yang saya tekankan. Komunitas apa saja, jika tanpa perhatian dan kasih sayang, maka tidak akan bertahan lama.Â
Orang perlu punya cara pandang yang beda, bahwa dia yang dikoreksi itu adalah bagian dari dirinya yang lain pada waktu dan tempat yang lain. Jadi, orang perlu menghindari cara-cara seperti menghakimi, mengecam dan menuduh.
Dia yang berbeda dengan kamu saat ini, adalah cermin diri kamu sendiri.
5. Meditasi: Oleh karena outing itu berlangsung di pesisir pantai, maka saya meminta semua peserta untuk mengambil posisi menghadap laut dengan posisi yang disukainya sendiri.
Saat itu adalah saat untuk mendengar dan merenungkan sambil konfrontasi hidup dengan kenyataan laut. Hidup itu tidak selalu monoton, tetapi ada yang gelombang hidup.Â
Saya memandu mereka dengan kata-kata yang singkat dan sederhana. Tapi anehnya ketika itu ada seorang oma yang tiba-tiba nyeletuk, "ah gelombang cinta juga ada lho."
Saya melihat semua peserta menjadi tersenyum. Saya menerima situasi itu. Tidak harus bahwa meditasi itu menjadi saat orang melulu serius. Ya, orang perlu tersenyum.Â
Jadi outing itu bukan cuma sekedar kesempatan ha..ha..hi..hi, tetapi juga kesempatan orang tersenyum karena menyadari arti kehidupannya. Hidup itu bukan cuma sebuah gelombang tantangan, tetapi juga sebuah gelombang cinta pada sesama dan pada Pencipta.
6. Kontemplasi: Momen ini, saya tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, karena saya menyadari kontemplasi itu adalah momen yang sangat pribadi, di mana setiap boleh masuk ke dalam dirinya.Â
Di sana bisa saja ada konfrontasi dengan batinnya sendiri, tetapi juga bisa berupa kekaguman pada anugerah Tuhan atas hidupnya, karena ia diberi waktu untuk berjumpa dengan sesama dan alam di sekitarnya.
Ya, sebuah momen di mana orang secara intim dan pribadi masuk ke dalam keheningan batin dan membangun rasa syukur dengan Pencipta itu sendiri.
Tidak menyangka, momen kontemplasi itu ternyata berbuah. Buahnya terlihat dalam kenyataan bahwa koreksi yang keras karena perbedaan pemahaman sikap dan cara respek kepada orang lain itu membawa mereka untuk saling berpelukan meminta maaf.
Ya, akhir dari outing itu terasa sebagai suatu momen indah yang menguatkan dan memotivasi untuk lebih akrab dan kuat sebagai komunitas. Outing yang dirasakan saat itu benar-benar bukan momen ha..ha..hi..hi.., tapi momen pengenalan diri dan komunitas.
Salam berbagi, ino, 17.12.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H