Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Radio Formiga Flores Timur Lembata dan Kenangan Pastoral Tanpa Status Sosial

8 Desember 2022   20:28 Diperbarui: 11 Desember 2022   10:56 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang kreatif akan menjadikan radio lebih dari sekedar media komunikasi sosial dan hiburan, tetapi juga bisa menunjang simpati bisnis kecil di sudut kota. Ya, ibarat sebuah nama "Formiga" semut kecil (bahasa Portugis) gigitannya selalu tetap membekas hingga sekarang | Ino Sigaze.

Radio dan sejarah kehadirannya di negeri ini tidak bisa dipisahkan dari detail sejarah perannya yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. 

Cerita dan pengalaman setiap daerah, kota dan desa mungkin saja berbeda-beda, namun semuanya berada dalam satu judul yang sama sebagai sarana komunikasi dan hiburan masyarakat.

Tahun 2006 adalah cerita pertama dalam hidup saya bahwa radio ternyata punya andil lebih dari sarana komunikasi dan hiburan. 

Radio Formiga adalah satu jaringan radio yang mengudara di Kabupaten Lembata pada tahun itu.

Saya berada di sana untuk suatu kegiatan pastoral dengan nama "Kenabian". Ciri khas dari kegiatan itu adalah berjuang hidup di tengah masyarakat tanpa diketahui menonjolkan identitas.

Waktu itu saya masih sebagai mahasiswa sarjana filsafat tapi minim pengalaman. Filsafat yang saya yakini bukan saja soal urusan kepala, tetapi juga berurusan dengan kenyataan dunia umumnya.

Untuk sampai pada titik sinkronisasi itu, orang perlu terjun ke lapangan kehidupan yang terbuka, di tengah masyarakat. Waktu yang diberikan kepada saya waktu itu 14 hari lamanya. Biaya yang diberikan kepada sebesar 200.000 rupiah.

Mimpi dan rencana untuk hidup baik selama 2 minggu harus diperjuangkan sendiri. Pertanyaannya, bagaimana saya bisa hidup? Bagaimana saya bisa memperoleh pekerjaan?

Radio Formiga Flores Timur Lembata dan Kenangan Pastoral tanpa status sosial | Ilustrasi diambil dari: www.radio-pos.de
Radio Formiga Flores Timur Lembata dan Kenangan Pastoral tanpa status sosial | Ilustrasi diambil dari: www.radio-pos.de

Trend kehidupan dan konteks budaya mata pencaharian kaum muda di Flores umumnya dan di Lembata khususnya waktu itu adalah bekerja sebagai tukang ojek. Waktu itu tarif ojek selalu berbeda-beda, ya tergantung belas kasih penumpang.

Saya dalam satu perjuangan akhirnya berkenalan dengan satu keluarga yang punya sepeda dua sepeda motor di rumah mereka. Satu sepeda motor itulah yang saya pakai sebagai tukang ojek.

Langkah pertama, survei lapangan dan analisis lapangan

Pada hari pertama saya hanya berusaha mengelilingi kota Lewoleba sampai ke pasar Pada. Ada cerita di hari pertama yang saya dapat: 

  • Umumnya ojek itu tanpa punya komunikasi dengan penumpang, kalaupun ada itu sangat terbatas, seadanya saja. 
  • Tukang ojek jarang memperhatikan penampilan dan kebersihan pakaian mereka. 
  • Tukang ojek tidak punya cara-cara kreatif yang mengikat penumpang menjadi pelanggan mereka. 
  • Keramahtamahan dan cara bertanya yang sopan kurang diperhatikan.

Langkah kedua, terjun ke dunia pekerjaan

Dari analisis situasi lapangan seperti itu, maka pada hari kedua saya mulai mencoba langkah kedua hidup sebagai tukang ojek tanpa identitas sosial sebagaimana kebanyakan orang lainnya.

Ternyata, dunia kerja di luar itu sulit, apalagi hidup sebagai tukang ojek. Ini ada beberapa pergulatan yang saya alami:

  • Saya harus bergulat dengan kenyataan melawan konsep diri sendiri yang selalu mengandalkan status sosial. Ya, perjuangan terberat adalah seperti melepaskan diri dari rasa hormat, kemudian menjadi sama dengan tukang ojek lainnya.
  • Di lapangan dunia kerja, pencari uang sudah pasti menjadi sasaran omelan, bahkan menjadi sasaran perintah.
  • Kesabaran dan ketekunan itu modal penting yang menjadikan diri sebagai orang yang bisa dipercaya.

Kenangan kecil di sebuah persimpangan

Saya masih ingat saat itu, Lembata adalah Kabupaten baru dengan desain tata kota yang bagus. Rumah dibagun sesuai tata kota dengan jalur dan lorong-lorongnya. 

Pada hamparan yang luas di sana banyak sekali perumahan, bahkan lorong dan jalan-jalan itu belum punya nama dan nomor yang jelas kala itu.

Modal ingatan satu-satunya menjadi andalan tentunya. Saya pernah diomelin seorang pegawai perempuan yang bekerja di kantor Badan pembangunan daerah (Bapeda) katanya, "Masa sih tukang ojek tidak tahu jalan ini dan itu, kantor ini dan itu?" 

Saya menjawabnya dengan ramah, "Maaf bu saya orang baru, jadi belum tahu lorong ini dan itu, tapi saya jamin, ibu pasti sampai tujuan, bilang saja belok kiri atau belok kanan ya, saya pasti mengantar bu sampai ke tujuan dengan aman." Jawaban itu menjadi modal jawaban bagi saya ketika itu. 

Langkah ketiga, membangun jaringan dan komunikasi

Pada tahap ini, saya menyadari bahwa omelan dan kritikan itu tidak sia-sia, jika saya tetap saya menyapa mereka dengan hormat dan respek yang wajar. 

Umumnya setelah sampai tujuan mereka bertanya, "berapa harga ojek". Saya menjawab, "Terserah saja Pak atau Bu." Jawaban itu ternyata membuat mereka kasihan. Harga yang semestinya cuma 5000 rupiah, kadang mereka beri 10.000. 

Tapi, saya dengan jujur menawarkan apakah mungkin besoknya saya menjemput dan mengantar lagi. Komunikasi mulai terbangun, hingga kami bisa berbagi nomor HP. Ya, sebuah perkenalan singkat dan santai mulai terjadi. Saya selalu berusaha tepat waktu sesuai pesanan untuk menjemput dan mengantar ke kantor mereka. 

Komunikasi basa basi, tetapi perlahan-lahan membekas di hati hingga sampai pada kesan orang baik dan ramah menyapa pelanggan. 

Dalam beberapa hari, saya sudah punya beberapa nomor baru yang sudah punya jam pasti menjemput dan mengantar. 

Ya, lumayan bukan, selain itu saya bisa duduk di rumah sambil ngobrol dengan orang lain, tentu saja menunggu dering HP, informasi jemputan. 

Langkah keempat, kejutan dari Radio Formiga

Rupanya pada masa itu, sebagian besar orang suka mendengar radio terutama pada sesi program request lagu. 

Setelah malam tiba sambil menghitung pemasukan untuk sehari, waktu itu hanya ada rasa syukur berlimpah dalam hati. 

Sebagai ucapan syukur itu, saya menyisihkan sedikit untuk request lagu-lagu bagi pelangganku hari itu. 

Bung Jacky, nama samaran pada saat itu. Tembang lagu pesanan dari Bung Jacky untuk pelanggan ojek terdengar begitu mengejutkan dan terasa begitu menghibur serta membanggakan. Ya, saya tidak menduga bahwa cara request lagu untuk pelanggan itu begitu menyenangkan.

Simpati pun datang menyapa dunia perjuangan saya sebagai tukang ojek kala itu. Meskipun demikian, saya merasa bahwa itu belum cukup. Saya harus membantu teman-teman ojek lainnya yang wawasannya belum ke situ. Gimana caranya?

Langkah kelima, berbagi cerita di sudut pasar Pada, Lembata

Satu minggu pertama saya sudah mengenal 8 teman ojek. Suatu hari kami berkumpul duduk santai di tenda pasar masyarakat yang jual tuak putih dengan lawar ikan kecil khas Lembata.

Sambil mencicipi hidangan persaudaraan saat itu, kami saling bertanya, mengapa bisa bekerja sebagai tukang ojek. Ada beberapa yang putus sekolah karena orangtua tidak mampu membiayai. Saya salah satunya yang berbagi cerita bahwa saya membutuhkan uang untuk kuliah. 

Kami sangat akrab karena merasa punya nasib yang sama. Oleh karena itu, radio Formiga bukan cuma untuk pelanggan, tetapi juga nama-nama teman seperjuangan juga disebut. Dan terasa betapa bahagianya mereka, ketika nama mereka juga mengudara di daratan Lembata, Lewoleba.

Kekerabatan kami sebagai teman seperjuangan terasa semakin tertambat dalam. Cerita inspirasi mulai dari sana. Saya berbagi tentang cara menjadi ojek yang laris dan dipercaya. Ini caranya:

  1. Berpakaian yang rapi dan bersih meski sederhana

  2. Selalu ajak bicara saat berjalan, bertanya, tinggal di mana, nama siapa, dll. Dan jangan diam.

  3. Sopan dan ramah itu syarat utama dalam percakapan.

  4. Selalu mengucapkan terima kasih kepada penumpang.

  5. Selalu mencari kesempatan berkenalan dengan penumpang.

  6. Mengirimkan lagu-lagu hiburan kepada penumpang.

  7. Berjalan santai dan menciptakan rasa aman sedemikian rupa kepada penumpang.

Tips sederhana yang didukung dengan media radio Formiga kala itu, menjadikan Bung Jacky mampu hidup di tengah perjuangan yang tidak mudah. Ya, hidup sendiri dimudahkan dan hidup orang lain pun dibantu untuk menemukan wawasan baru.

Radio Formiga sudah menjadi bagian dari cerita hidup saya. Radio itu bukan hanya sebatas media komunikasi, hiburan, tetapi juga menjadi media pendukung bisnis yang ramah sesuai konteks sosial masyarakat setempat dan sudah pasti menunjang jejak pastoral yang mendukung orang muda menjadi generasi yang kreatif dan punya lapangan pekerjaan.

Salam berbagi, ino, 8.12.2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun