Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Radio Formiga Flores Timur Lembata dan Kenangan Pastoral Tanpa Status Sosial

8 Desember 2022   20:28 Diperbarui: 11 Desember 2022   10:56 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trend kehidupan dan konteks budaya mata pencaharian kaum muda di Flores umumnya dan di Lembata khususnya waktu itu adalah bekerja sebagai tukang ojek. Waktu itu tarif ojek selalu berbeda-beda, ya tergantung belas kasih penumpang.

Saya dalam satu perjuangan akhirnya berkenalan dengan satu keluarga yang punya sepeda dua sepeda motor di rumah mereka. Satu sepeda motor itulah yang saya pakai sebagai tukang ojek.

Langkah pertama, survei lapangan dan analisis lapangan

Pada hari pertama saya hanya berusaha mengelilingi kota Lewoleba sampai ke pasar Pada. Ada cerita di hari pertama yang saya dapat: 

  • Umumnya ojek itu tanpa punya komunikasi dengan penumpang, kalaupun ada itu sangat terbatas, seadanya saja. 
  • Tukang ojek jarang memperhatikan penampilan dan kebersihan pakaian mereka. 
  • Tukang ojek tidak punya cara-cara kreatif yang mengikat penumpang menjadi pelanggan mereka. 
  • Keramahtamahan dan cara bertanya yang sopan kurang diperhatikan.

Langkah kedua, terjun ke dunia pekerjaan

Dari analisis situasi lapangan seperti itu, maka pada hari kedua saya mulai mencoba langkah kedua hidup sebagai tukang ojek tanpa identitas sosial sebagaimana kebanyakan orang lainnya.

Ternyata, dunia kerja di luar itu sulit, apalagi hidup sebagai tukang ojek. Ini ada beberapa pergulatan yang saya alami:

  • Saya harus bergulat dengan kenyataan melawan konsep diri sendiri yang selalu mengandalkan status sosial. Ya, perjuangan terberat adalah seperti melepaskan diri dari rasa hormat, kemudian menjadi sama dengan tukang ojek lainnya.
  • Di lapangan dunia kerja, pencari uang sudah pasti menjadi sasaran omelan, bahkan menjadi sasaran perintah.
  • Kesabaran dan ketekunan itu modal penting yang menjadikan diri sebagai orang yang bisa dipercaya.

Kenangan kecil di sebuah persimpangan

Saya masih ingat saat itu, Lembata adalah Kabupaten baru dengan desain tata kota yang bagus. Rumah dibagun sesuai tata kota dengan jalur dan lorong-lorongnya. 

Pada hamparan yang luas di sana banyak sekali perumahan, bahkan lorong dan jalan-jalan itu belum punya nama dan nomor yang jelas kala itu.

Modal ingatan satu-satunya menjadi andalan tentunya. Saya pernah diomelin seorang pegawai perempuan yang bekerja di kantor Badan pembangunan daerah (Bapeda) katanya, "Masa sih tukang ojek tidak tahu jalan ini dan itu, kantor ini dan itu?" 

Saya menjawabnya dengan ramah, "Maaf bu saya orang baru, jadi belum tahu lorong ini dan itu, tapi saya jamin, ibu pasti sampai tujuan, bilang saja belok kiri atau belok kanan ya, saya pasti mengantar bu sampai ke tujuan dengan aman." Jawaban itu menjadi modal jawaban bagi saya ketika itu. 

Langkah ketiga, membangun jaringan dan komunikasi

Pada tahap ini, saya menyadari bahwa omelan dan kritikan itu tidak sia-sia, jika saya tetap saya menyapa mereka dengan hormat dan respek yang wajar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun