Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menerbitkan Buku Sendiri dan 4 Proses Mengolah Hati

7 Juli 2022   20:11 Diperbarui: 9 Juli 2022   02:08 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis| StockRocket via hai.grid.id

Menulis dan menerbitkan buku sendiri bagi saya adalah sebuah proses menata hati, bahkan mengubahnya hingga semakin peka tentang pesan dan arti dalam kehidupan ini.

Menerbitkan buku sendiri merupakan sorotan tema yang sangat menarik dari Kompasiana. Tentu juga tema ini tidak mudah bagi seseorang yang masih berkeinginan untuk menerbitkan buku sendiri.

Saya memberanikan diri untuk menuliskan sesuatu terkait tema ini karena pengalaman pribadi pada tahun 2016 menerbitkan buku sendiri dengan judul "Metamorfosa Hati."

Menerbitkan buku bagi kebanyakan orang mungkin lebih diseret ke sebuah ungkapan tentang kehebatan seseorang yang bisa menulis buku. Saya juga pernah merasakan itu. 

Akan tetapi, dalam perjalanan waktu setelah mengalami semua prosesnya dan merefleksikannya ternyata tidak semudah seperti yang banyak orang bayangkan tentang popularitas dari seorang penulis buku.

Pertanyaannya, hal apa saja yang sangat penting dalam proses menerbitkan sebuah buku. Berikut ini saya berbagi cerita dan pergulatan pribadi terkait menulis buku Metamorfosa Hati.

Menerbitkan buku sendiri dan 4 proses mengolah hati | Dokumen pribadi oleh Ino
Menerbitkan buku sendiri dan 4 proses mengolah hati | Dokumen pribadi oleh Ino

1. Saya menulis buku tanpa pengalaman menulis seperti menulis di Kompasiana

Kesadaran tentang pengalaman menulis di platform seperti di Kompasiana ternyata sangat penting. Setelah saya menulis di Kompasiana dan membaca kembali buku saya, terasa sekali bahwa masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki.

Soal yang penting adalah bahasa yang terlalu berat, kalimat yang terlalu panjang, formulasi yang terlalu kuat dipengaruhi filsafat. Semua itu ternyata tidak menarik untuk pembaca biasa dengan latar belakang pendidikan bukan filsafat.

Semestinya, buku yang baik itu adalah buku yang bisa dengan sederhana dibaca sama seperti seseorang sedang berbicara. Tapi itulah namanya pengalaman pertama. Pengalaman pertama bisa menjadi retasan positif untuk pengalaman selanjutnya.

Jadi, tantangan yang penting disadari dalam menulis buku adalah soal kebiasaan menulis. Menulis buku tentu mudah bagi orang yang sudah biasa menulis, dan sebaliknya sangat sulit bagi orang yang belum biasa menulis.

2. Menulis karena merasa ada pengalaman perjumpaan dengan dunia lain yang menarik

Ide untuk menulis buku awalnya sangat sederhana. Dalam perjalanan ke Universitas setiap hari selalu saja ada perjumpaan dengan pengalaman yang unik.

Mulai dari bertemu pelukis jalanan di stasiun kereta, sampai dengan kisah para penunggu kereta, bagaimana sikap seseorang di dalam kereta, pergulatan batin sendiri saat lelah, pergulatan orang Indonesia di Jerman.

Semuanya saya sadari dan ternyata menyentuh relung hati saya sendiri dan perlahan-lahan mengubah rona hati seakan-akan berproses secara terus menerus.

Kalau mau dikategorikan ke dalam kategori tertentu, maka sangat sulit tentunya, karena ada banyak judul dan pengalaman yang berbeda-beda.

Akan tetapi, satu yang pasti bahwa semua perjumpaan pribadi dengan pengalaman itu menyentuh hati saya. Oleh karena itu, saya menyadari bahwa percikan pengalaman yang berbeda itu telah berproses mengubah hati saya dari waktu ke waktu.

3. Memiliki manajemen waktu yang baik dan cukup

Menulis dan menerbitkan buku dari pengalaman pertama tentunya berbeda dengan pengalaman seorang penulis yang sudah punya banyak buku. Pengalaman pertama yang sederhana dari saya adalah bahwa saya membutuhkan waktu. Waktu yang saya butuhkan tentu saja untuk beberapa hal ini:

  1. Waktu menulis kembali pengalaman-pengalaman

  2. Waktu untuk membaca kembali apa yang sudah ditulis

  3. Waktu untuk mengambil jarak dengan apa yang pernah ditulis dan dibaca lagi

  4. Waktu untuk mengoreksi dan mempercayakan kepada orang lain untuk mengedit

  5. Waktu untuk layout, menulis kata pengantar, biografi singkat, mendesain cover buku

  6. Waktu untuk menghubungi penerbit dan percetakan

  7. waktu untuk menyiapkan uang secukupnya untuk biaya penerbitan buku.

Terasa sekali bahwa untuk menerbitkan buku, semestinya orang perlu mempersiapkan diri secara baik dari jauh-jauh sebelumnya. Ya, katakan saja orang perlu punya perencanaan.

Dari perencanaan itu, orang perlu membagi waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu. Nah, dari pengalaman pribadi, saya bisa mengatakan bahwa menerbitkan buku sendiri itu bukan pertama-tama soal memperoleh keuntungan atau soal uang, tetapi soal proses yang mesti dilalui.

Bagi saya menulis sampai menerbitkan buku itu memiliki 4 proses dan pesannya:

1. Suatu Proses formasi diri

Menulis dan mempersiapkan naskah untuk diterbitkan sudah pasti sama dengan memasukan diri sendiri ke dalam proses formasi diri. Sebuah proses pergulatan pribadi yang berhadapan dengan sejumlah konfrontasi batin dan tuntutan sosial umumnya.

Pada proses ini, sering muncul pertanyaan, apakah hasil tulisan ini dapat memotivasi orang lain? Apakah ada orang yang berminat membaca dan menyentuh perasaan dan hati mereka?

Pertanyaan- pertanyaan itu tentu saja menjadi alasan untuk tidak hanya sekedar menghasilkan buku, tetapi buku yang punya pesan dan makna untuk orang lain.

2. Suatu proses belajar mengenal diri

Menulis buku dari gagasan sehari-hari, dari perjumpaan biasa di mana saja dan kapan saja merupakan suatu proses belajar. Ya, proses belajar menyimpan dan mengarsip pengalaman dan gagasan yang muncul dalam hidup ini.

Tidak bisa dibayangkan bahwa setelah setahun berlalu dan membaca kembali buku karya sendiri, terasa heran sendiri, bagaimana pada masa itu, saya punya pikiran seperti itu.

Keterkejutan terhadap gagasan sendiri akan ada di sana. Tentu berbeda dengan orang yang tidak pernah menulis, maka ide-ide bagus sekalipun, tidak bisa dibaca kembali pada masa yang akan datang.

Ide hanya akan muncul dan pergi tanpa jejak dan kenangan. Nah, pada sisi itulah saya menemukan latar belakang mengapa saya termotivasi menulis buku di Jerman.

Saya tergerak untuk menulis buku karena betapa banyaknya pengalaman menarik di Jerman saat itu. Saat berada di lumbung konteks dan pengalaman Eropa dan di tengah masyarakat diaspora Indonesia.

3. Proses pembatinan

Proses ketiga tentang pembatinan itu bagi saya merupakan proses penting dan berat. Menulis dan mencoba hidup seperti apa yang tertulis itu ternyata sangatlah berat.

Masuk ke dalam kenyataan hidup, membawa apa yang tertulis sama dengan membawa gagasan-gagasan itu sehingga menjadi nyata ke dalam diri penulis sendiri.

Oleh karena itu, menulis buku dan menerbitkannya tidak pernah bahwa di sana ada kerugiannya. Justru sebaliknya, di sana ada banyak keuntungannya. 

Keuntungan yang bisa dirasakan:

  1. Orang telah mengumpulkan gagasan yang begitu banyak

  2. Orang telah belajar menyiapkan dana yang cukup untuk segala macam biaya

  3. Orang membutuhkan inspirasi untuk melukiskan semua isi dari buku itu sendiri. Dari situ, penulis sudah punya kepekaan yang tajam untuk menangkap pesan dari sebuah buku.

4. Proses memadukan kata, perasaan, gambar dan realitas

Proses memadukan unsur terpisah antara kata, perasaan, gambar dan realitas itu gampang-gampang susah. Saya merasakan itu, ketika saya menggambar cover buku "Metamorfosa hati".

Suatu waktu saya menggambar tentang sesuatu yang saya sendiri tidak mengerti. Kemudian, saya memberikan kepada sepupu saya yang adalah seorang dokter di Flores.

Dia begitu cepat mengerti apa arti gambar itu dan menjelaskan kepada saya. Sangat mengejutkan bahwa gambar yang semula asal gambar berdasarkan daya batin saya sendiri itu, ternyata menyentuh ilmu kedokteran.

Katanya gambar cover itu mirip dengan bagian inti dari sistem pendengaran manusia. Saya sendiri tidak mengerti apa sebenarnya gambar yang pernah saya gambar itu.

Saat itu, saya memejamkan mata dan membuat coretan spontan saja lalu berusaha memperjelaskan gambar itu. Saya menduga ada beberapa kemiripan, ya seperti sebuah hati, seperti sebuah mata.

Akhirnya saya berpikir sudahlah, gambar itu dibiarkan saja seperti begitu. Siapa yang melihat dan mau menafsirkannya, ya silahkan saja.

Demikian beberapa catatan terkait pergulatan menulis dan menerbitkan buku. Menulis dan menerbitkan buku sendiri itu punya kisahnya sendiri. Proses yang tidak jauh dari pergulatan batin sendiri berhadapan dengan pengalaman, gagasan dan juga realitas dunia.

Salam berbagi, ino, 7 Juli 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun