Ya, sebuah perjalanan (eine Reise) sehari-hari ini atau konkretnya perjalanan saat mudik ini adalah bagian dari perjalanan iman kita. Saya membayangkan jika setiap orang bisa memaknai perjalanan mudik ini sebagai perjalanan imannya, maka siapa saja akan berjuang supaya lulus tanpa masuk ke dalam pencobaan.
Mudik bisa saja merupakan fase ujian terakhir setelah berpuasa. Setelah diam di rumah bersama keluarga, akhirnya kita berangkat. "Berangkat" bagi saya adalah sebuah simbol tentang perjalanan ziarah iman. Sebuah transformasi hidup (Lebens wandeln) yang tercapai setelah melalui proses pemahaman yang benar tentang firman Tuhan dan mampu mewujudnyatakannya (verkoperlichen) dalam hidup sehari-hari.
Lihat saja perjalanan iman para nabi, ya perjalanan mereka tidak lain adalah perjalanan (the Journey) mencari kiblat kebenaran dan perjumpaan dengan Allah melalui firman dalam doa, puasa dan sedekah.Â
Pengalaman spiritual atau rohani itu, akan terasa begitu dekat dengan kehidupan kita, saat kita bisa memaknai perjalanan mudik kita sendiri bersama keluarga sebagai bagian dari perjalanan iman itu sendiri.
Di sana kita akan menyadari bahwa perjalanan kita dilindungi Tuhan, perjalanan yang menyenangkan karena di sana ada percakapan yang indah, di sana ada perjumpaan dengan orang lain yang juga lelah dalam perjalanannya.
2. Mudik itu saat menaburkan kebaikanÂ
Oleh karena mudik dilihat secara baru sebagai perjalanan iman, maka tidak salah, jika dalam perjalanan mudik itu orang tetap saja melakukan doa, puasa dan sedekah.
Doa memohon penyertaan Tuhan dalam perjalanan pasti sangat baik. Demikian juga puasa itu sangat penting dalam perjalanan. Puasa yang saya maksudkan sangat penting dalam perjalanan adalah puasa batin untuk mengendalikan diri dan segala emosi.
Ya, sederhananya orang perlu belajar sabar dan maaf, jika saja ada hal yang tidak menyenangkan dalam perjalanan, misalnya disenggol motor pemudik lainnya.
Memaafkan yang salah selama perjalanan bagi saya adalah bagian dari cara menaburkan kebaikan selama perjalanan mudik.Â
Saya jadi jadi ingat perjalanan saya dari Labuan Bajo ke Ende tahun lalu. Waktu itu, saya berhenti di sebuah kios kecil di Watujaji, Bajawa. Lalu, saya melihat seorang ibu dan dua anak yang rupanya sedang menunggu mobil untuk kembali ke kampung mereka.