"Pesan yang penting dan berarti itu, tidak selamanya datang dari hal besar, tetapi bisa juga datang dari bunga-bunga kecil di pinggir jalan"Â
Cerita bunga-bunga di pinggir jalan
Hari ini saya sejenak menikmati jalan kaki mulai dari Stasiun hingga di area sekitar bangunan Masjid di wilayah Mhlberg, Frankfurt.Â
Sambil menapaki jalur khusus untuk pejalan kaki, mata terpana pada rona-rona indah bunga kecil di pinggir jalan. Bunga-bunga itu bagaikan bunga pagar, ternyata semuanya tumbuh tanpa ada yang menanam.Â
Bunga di pinggir jalan, tumbuh tanpa tuan yang menjaga dan merawat. Tapi anehnya, bunga-bunga itu bisa begitu subur dan tampak segar. Daun-daun yang hijau segar, bahkan mekar kuntum-kuntum kecil ke arah jalan.Â
Saya terus menelusuri setapak itu sambil menikmati pemandangan alam pada sisi kirinya. Sambil mengambil beberapa gambar saat berhenti sejenak. Saat itu saya mendengar bisikan gagasan: "Bunga di pinggir jalan saja bisa memberi keindahan apalagi bunga yang ditanam."
Tak hanya itu, ide-ide lepas mulai berkeliaran. Terdengar dalam nada imperatif yang sangat lembut dan halus: Jangan kamu sepelekan apa yang di pinggir jalan dan jangan pula kamu anggap tidak berguna pada apa yang diasosiasikan dengan yang di pinggir jalan!"
Tanya hati kecil saya, mengapa tiba-tiba ada pikiran seperti itu, dalam konteks apakah gagasan ini bisa dibagikan dalam coretan dinding Kompasiana nanti?
Sepanjang 1 kilometer saya bergumul dengan gagasan-gagasan kecil itu, hingga memberi catatan kecil dengan harapan semoga bisa menjadi sebuah tulisan.Â
Mungkinkah manusia bisa melihat kebaikan orang lain yang dianggap terpinggirkan? Mungkinkan ada maaf saat sebagian orang lagi ramai mudik saat liburan ini?Â
Kemampuan memaafkan orang lain bisa saja muncul karena cara pandang seseorang bahwa dalam diri orang yang bersalah itu ada bunga kebaikan. Sampai pada buah pikiran ini, saya sejenak berhenti dan bersyukur karena menyadari betapa baiknya Tuhan membuka cara pikir saya hari ini.
Saya membayangkan betapa banyaknya orang-orang, yang pada saat yang sama mudik saat ini. Betapa besar pula kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan itu terjadi dalam perjalanan.
Bunga di pinggir jalan dan pesan maaf
Kesalahan dan kekeliruan manusiawi itu pasti saja ada dalam setiap cerita perjalanan manusia. Nah, barangkali cerita dan poin permenungan tentang makna bunga di pinggir jalan di atas bisa saja menjadi satu cara pandang yang bisa menolong.
Sederhananya, jika ada kesalahan dalam perjalanan, jangan lupa lihat kebaikan orang itu dan berilah dia maaf. Soalnya perjalanan mudik itu adalah juga perjalanan rohani yang penuh dengan cobaan dan godaan.
Sangat mungkin potensi untuk menjadi tidak sabaran itu akan menonjol ketika seseorang lelah dan kelaparan. Oleh karena itu, anggaplah perjalanan mudik itu adalah sesi terakhir dari perjalanan puasa selama ini supaya tidak marah tapi menjadi pemaaf dalam perjalanan.
Maaf dalam perjalanan mudik barangkali cara yang terbaik. Mengapa? Jika saja ada kesalahan kecil lalu diberikan reaksi yang hebat bersama emosi yang tidak terkendali, maka hal yang sebenarnya kecil itu akan berubah fatal dan besar dalam waktu sekejap.
Hal itu tentu sangat tidak enak, apalagi perjalanan bersama istri dan anak-anak. Oleh karena itu, fokuslah pada tujuan, sambil melihat positif bahwa yang salah dalam perjalanan adalah manusia yang juga mohon dimengerti karena sama-sama membutuhkan jalan dan mengharapkan sampai ke tujuan dengan selamat.
Lebih baik jangan menciptakan pertengkaran selama perjalanan ke rumah atau ke kampung halaman. Nah, cara pikir yang membantu siapa saja untuk tiba dengan selamat tentu saja sangat dibutuhkan saat ini.
Ada beberapa kebijakan praktis yang bisa saja menolong siapa saja yang mudik saat ini:
1. Mudik itu adalah bagian dari ziarah iman
Perjalanan iman seseorang bukan semata-mata itu terjadi hanya dalam dunia pikiran dan visi yang dimiliki secara rohani saja, tetapi bisa saja terjadi mulai dari tingkat yang sangat manusiawi.
Ya, sebuah perjalanan (eine Reise) sehari-hari ini atau konkretnya perjalanan saat mudik ini adalah bagian dari perjalanan iman kita. Saya membayangkan jika setiap orang bisa memaknai perjalanan mudik ini sebagai perjalanan imannya, maka siapa saja akan berjuang supaya lulus tanpa masuk ke dalam pencobaan.
Mudik bisa saja merupakan fase ujian terakhir setelah berpuasa. Setelah diam di rumah bersama keluarga, akhirnya kita berangkat. "Berangkat" bagi saya adalah sebuah simbol tentang perjalanan ziarah iman. Sebuah transformasi hidup (Lebens wandeln) yang tercapai setelah melalui proses pemahaman yang benar tentang firman Tuhan dan mampu mewujudnyatakannya (verkoperlichen) dalam hidup sehari-hari.
Lihat saja perjalanan iman para nabi, ya perjalanan mereka tidak lain adalah perjalanan (the Journey) mencari kiblat kebenaran dan perjumpaan dengan Allah melalui firman dalam doa, puasa dan sedekah.Â
Pengalaman spiritual atau rohani itu, akan terasa begitu dekat dengan kehidupan kita, saat kita bisa memaknai perjalanan mudik kita sendiri bersama keluarga sebagai bagian dari perjalanan iman itu sendiri.
Di sana kita akan menyadari bahwa perjalanan kita dilindungi Tuhan, perjalanan yang menyenangkan karena di sana ada percakapan yang indah, di sana ada perjumpaan dengan orang lain yang juga lelah dalam perjalanannya.
2. Mudik itu saat menaburkan kebaikanÂ
Oleh karena mudik dilihat secara baru sebagai perjalanan iman, maka tidak salah, jika dalam perjalanan mudik itu orang tetap saja melakukan doa, puasa dan sedekah.
Doa memohon penyertaan Tuhan dalam perjalanan pasti sangat baik. Demikian juga puasa itu sangat penting dalam perjalanan. Puasa yang saya maksudkan sangat penting dalam perjalanan adalah puasa batin untuk mengendalikan diri dan segala emosi.
Ya, sederhananya orang perlu belajar sabar dan maaf, jika saja ada hal yang tidak menyenangkan dalam perjalanan, misalnya disenggol motor pemudik lainnya.
Memaafkan yang salah selama perjalanan bagi saya adalah bagian dari cara menaburkan kebaikan selama perjalanan mudik.Â
Saya jadi jadi ingat perjalanan saya dari Labuan Bajo ke Ende tahun lalu. Waktu itu, saya berhenti di sebuah kios kecil di Watujaji, Bajawa. Lalu, saya melihat seorang ibu dan dua anak yang rupanya sedang menunggu mobil untuk kembali ke kampung mereka.
Kedua anaknya kelaparan, lalu keduanya berusaha membeli sesuatu di kios kecil itu, sayang sekali yang mereka inginkan itu lebih mahal dan uang yang mereka miliki itu tidak cukup.
Saya melihat kejadian itu dari dekat, dan terasa hati saya seperti benar teriris sedih. Saya memanggil kembali kedua anak kecil itu dan memberikan mereka beberapa makanan yang mereka suka dan beberapa botol air.
Keduanya lalu memberitahu ibu mereka. Tanpa sadar, ibu kedua putera itu datang dan mengucapkan terima kasih kepada saya. Kami lalu duduk bercerita. Dalam beberapa menit makanan yang barusan dibeli itu sudah habis dimakan.
Rupanya kedua anak itu benar kelaparan. Tidak tega melihat situasi dipinggir jalan itu, saya memberi sedikit dari uang jalan saya untuk mereka.Â
Kami duduk sambil cerita di pinggir jalan dengan hati yang diliputi rasa damai. Mobil yang ditunggu mereka datang dan akhirnya mereka berangkat lebih dahulu.
Tidak lama kemudian, ada mobil lain yang lewat dan tiba-tiba saja berhenti lalu bertanya kepada saya mau ke mana. Saya menjelaskan tujuan saya dan ia mau memberi tempat pada saya untuk berangkat dengan mobilnya.
Oh indahnya hari itu, memang sudah sore dan sedikit sekali lalu lintas kendaraan umum saat itu. Saya akhirnya jadi sadar, berbuat baik selama perjalanan itu sangat indah dan menyelamatkan.
Bahkan saya sempat berpikir dengan logika yang sangat sederhana,Â
"Jika saya menolong orang lain, maka saya juga akan ditolong. Bisa saja, jika saya mengampuni kesalahan orang lain, maka saya juga akan diampuni."
Misteri keindahan bunga di pinggir jalan tidak hanya sebuah pemandangan fisik saja, tetapi lebih dari itu adalah sebuah spiritualitas. Ya, suatu spiritualitas yang mengubah cara pandang tentang makna dari perjalanan entah itu mudik dan tentu perjalanan lainnya.Â
Apa pun bentuk dari suatu perjalanan fisik manusia, pasti punya hubungannya dengan ziarah iman dan cerita tentang menaburkan kebaikan.
Jika perjalanan mudik itu ditempuh dengan kesadaran bahwa itu adalah bagian dari perjalanan iman pribadi dan keluarga kita dan masih ada kesempatan untuk melakukan kebaikan, maka saya percaya perjalanan mudik itu sangat indah dan membahagiakan. Ya, pasti perjalanan itu bermakna dan punya cerita yang bermakna untuk dibagikan lagi nantinya.
Salam berbagi, ino, 27.04.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H