Sebenarnya bagus sih, jika itu berurusan dengan hal-hal baik yang bernilai inspiratif untuk kehidupan, wawasan, motivasi dan lain sebagainya, cuma kembali lagi, standar umumnya itu yang perlu. Sejauh mana postingan, ukuran live di medsos itu dianggap wajar dan pada batas mana dianggap tidak wajar atau berdampak buruk.
Siapa yang berhak melarang atau  adakah institusi yang bisa mencegah itu semua. Ya, ledakan kebebasan mengekspresikan diri saat itu sudah hampir tidak bisa dibendung lagi oleh institusi apapun.
3. Peluang mendokumentasinya dari yang gegabah
Transparansi di Metaverse ini kadang meruntuhkan pengendalian diri. Orang yang begitu gegabah akan mudah sekali terjebak pasal hukum.Â
Dalam waktu sekejap orang memposting sesuatu, setelah dibaca lagi ia menjadi ragu, karena rupanya postingan itu punya unsur fitnahan, lalu pada menit kedua ia berusaha menghapusnya.
Pembaca media sosial dengan menggunakan sistem canggih SS atau Screenshot sudah menyimpan postingan itu pada detik yang kesekiannya setelah di postingan.
Dokumentasi SS itu tidak bisa lagi dihapus oleh pihak yang mempostingnya, maka konsekuensi selanjutnya adalah dia hanya bisa menunggu saat viral karena postingan fitnahannya.
Ya, gegabah di Metaverse itu rupanya bisa berdampak serius untuk diri sendiri dan masyarakat umumnya. Orang punya kebebasan, tetapi semua itu harus terukur dan dapat dibuktikan.
Oleh karena itu, barangkali baik dalam dilema antara kemungkinan menjadi gegabah dan kebebasan berpendapat ini orang perlu memperhatikan beberapa hal ini:
1. Memperkuat institusi hati nurani
Dari konteks seperti itu, barangkali institusi hati nurani yang melekat pada diri pribadi setiap orang menjadi begitu penting dan relevan.Â