Singkirkan gegabah dengan cara memberi waktu jeda untuk membaca kembali beberapa kali sebelum mempostingnya ke ranah media sosial.
Sejenak mengambil jeda untuk tidak menoreh kata dan gagasan rupanya bisa menolong diri sendiri untuk tidak terlalu lelah. Lelah berpikir itu rasa berbeda dengan lelah bekerja fisik.
Lelah berpikir bisa menyeret pikiran sendiri jadi buntu dan masuk ke dalam zona jenuh. Pada sela-sela zona pause itu, saya mencermati lagi fenomena umumnya yang sangat menonjol di Indonesia saat ini.Â
Saya mencermati sambil mengoreksi diri, barangkali di tengah kebebasan berpendapat di Metaverse ini. Saya dan mungkin orang lain terjebak jadi gegabah. Gegabah menulis itu berdampak pada penyebaran informasi yang salah.Â
Gegabah memposting sesuatu itu bisa sangat fatal, apalagi isi postingan itu jelas-jelas menyudutkan dan memfitnah seseorang atau figur publik.
Rupanya cerita tentang orang terjebak karena gegabah di negeri ini bukan lagi hal baru. Postingan yang memfitnah dan melecehkan sudah sering pula terjerat pasal hukum yang berlaku di negeri ini.
Saya tidak menyebut contoh-contoh kasusnya, karena saya percaya bahwa semua kasus itu sudah menjadi rahasia umum yang bisa dicari sekejap di halaman google.
Berangkat dari kenyataan dinding media sosial masyarakat Indonesia saat ini, saya akhirnya sampai pada gagasan tentang dilema antara gegabah dan kebebasan berpendapat di Metaverse.
Bagi saya Indonesia sedang berhadapan dengan dilema antara gegabah dan kebebasan berpendapat di Metaverse. Dilema itu muncul dari beberapa peluang berikut ini.
1. Peluang akses pikiran sendiri ke ranah sosial
Peluang akses gagasan, ide, pikiran, pendapat sendiri ke ranah sosial saat ini seperti sedang mencapai puncak klimaksnya.Â
Orang bisa saja berkata seperti ini, "Jika saya mau, maka saya bisa saja menuliskan apa saja yang pikirkan saat ini."
Modalnya sederhana orang hanya butuh satu HP Android, lalu dilengkapi dengan aplikasi-aplikasi seperti Facebook, IG, Tiktok dan lain sebagainya.
Ketika orang memiliki itu semua, maka apa saja bisa ditunjukkan, bahkan tidak ada orang yang melarangnya. Sebagian orang mengira bahwa puncak kebebasan itu tanpa ada standar dalam pengungkapannya.
Oleh karena cara pikir bahwa kebebasan berpendapat itu tanpa standar, maka segala sesuatu dilakukan dengan sesuka hati. Nah, ternyata itu salah. Cara pikir tentang kebebasan berpendapat tanpa standar itu keliru.
Di sana ada etika dan tata krama yang dikenal secara umum selain hukum formal yang berlaku di negeri ini. Dari situlah orang semakin menemukan pelajaran di Metaverse bukan belajar sebelum mengalami persoalan, tetapi sebaliknya orang belajar setelah ada persoalan.
Logika seperti itulah yang bisa disebut fenomena gegabah di Metaverse begitu mencolok, karena ada begitu banyak orang yang salah kaprah memahami kebebasan ekspresi diri mereka di Metaverse.
2. Peluang mempertunjukkan diri melalui momen live
Di Metaverse tampak sekali bahwa ada ruang baru yang dibuka lebar bukan hanya untuk kalangan milenial, tetapi juga hampir untuk semua kalangan.Â
Bahkan tidak kalah dari kenyataan yang tidak terbayangkan dulunya, saat ini semuanya dipertontonkan. Mulai dari orderan pakaian di live, memasak di dapur juga live, menyusui anak live, berantem di jalan juga live, makan di mana saja live, demonstrasi juga live, bertengkar live dan hampir semuanya live.
Dunia live adalah dunia tanpa pura-pura atau dunia tanpa editan
Sebenarnya bagus sih, jika itu berurusan dengan hal-hal baik yang bernilai inspiratif untuk kehidupan, wawasan, motivasi dan lain sebagainya, cuma kembali lagi, standar umumnya itu yang perlu. Sejauh mana postingan, ukuran live di medsos itu dianggap wajar dan pada batas mana dianggap tidak wajar atau berdampak buruk.
Siapa yang berhak melarang atau  adakah institusi yang bisa mencegah itu semua. Ya, ledakan kebebasan mengekspresikan diri saat itu sudah hampir tidak bisa dibendung lagi oleh institusi apapun.
3. Peluang mendokumentasinya dari yang gegabah
Transparansi di Metaverse ini kadang meruntuhkan pengendalian diri. Orang yang begitu gegabah akan mudah sekali terjebak pasal hukum.Â
Dalam waktu sekejap orang memposting sesuatu, setelah dibaca lagi ia menjadi ragu, karena rupanya postingan itu punya unsur fitnahan, lalu pada menit kedua ia berusaha menghapusnya.
Pembaca media sosial dengan menggunakan sistem canggih SS atau Screenshot sudah menyimpan postingan itu pada detik yang kesekiannya setelah di postingan.
Dokumentasi SS itu tidak bisa lagi dihapus oleh pihak yang mempostingnya, maka konsekuensi selanjutnya adalah dia hanya bisa menunggu saat viral karena postingan fitnahannya.
Ya, gegabah di Metaverse itu rupanya bisa berdampak serius untuk diri sendiri dan masyarakat umumnya. Orang punya kebebasan, tetapi semua itu harus terukur dan dapat dibuktikan.
Oleh karena itu, barangkali baik dalam dilema antara kemungkinan menjadi gegabah dan kebebasan berpendapat ini orang perlu memperhatikan beberapa hal ini:
1. Memperkuat institusi hati nurani
Dari konteks seperti itu, barangkali institusi hati nurani yang melekat pada diri pribadi setiap orang menjadi begitu penting dan relevan.Â
Institusi hati nurani adalah wewenang dari diri sendiri untuk menata pikiran dan kehendak hatinya. Bahkan hanya dari hati nurani itu setiap orang mempertimbangkan mana yang hal baik dan mana yang tidak baik, yang harus dihindari.
Matinya institusi hati nurani itu sendiri bisa saja berdampak pada kebrutalan pada satu sisi dan juga bisa berdampak pada kegabahan yang terjadi pada sisi lainnya.
Mungkin sudah saatnya sekarang ini untuk mengimbangi ledakan keterbukaan Metaverse, orang perlu kembali masuk ke dalam diri dalam suatu ruang hening batinnya.
Dalam arti ini saya percaya bahwa momen puasa, saat hening, meditasi batin bisa menjadi saat-saat yang tetap untuk mengasah ketajaman hati nurani. Bahkan bisa saja menjadi saat tepat untuk memperkuat institusi hati nurani dalam diri sendiri.
2. Melatih kesabaran dan ketelitian
Saya ingat akan cerita seorang teman yang menceritakan perjuangannya di tahun 80-an mengetik tesisnya. Ceritanya bahwa pada saat itu, jika ada kesalahan, maka dia harus mengetik ulang semuanya.Â
Oleh karena itu, hal yang sangat penting adalah menyadari bahwa teknologi pada saat itu tidak bisa mengoreksi tanpa meninggalkan bekas dari kesalahan dan coretan hitam atau merah.
Jika ada kesalahan, maka konsekuensinya adalah mengetik ulang semuanya. Standar itu sangat tinggi tentunya. Oleh karena tuntutan dan keadaan waktu itu seperti itu, maka dia belajar tentang kesabaran dan ketelitian.
Dari kesabaran dan ketelitian itulah, kecenderungan menjadi gegabah itu sangat jauh dari kenyataan perjuangannya pada masa itu.Â
Mendengar cerita itu, saya menjadi sadar bahwa hal itu adalah kenyataan sebaliknya dari manusia zaman ini di Metaverse.
Orang bisa mentolerir gegabahnya sendiri karena ada kemungkinan koreksi, tetapi juga bahwa jika gegabah dalam ranah media sosial, maka akan ada dokumentasi tentang hal yang salah.Â
Demikian beberapa coretan awal pekan ini setelah jeda menarik nafas untuk menatap dilema antara gegabah dan kebebasan berpendapat di Metaverse ini.Â
Ya, dilema di Metaverse ternyata tidak sedikit pengaruh dan dampaknya.Â
Menulis barangkali itu adalah latihan mempertajam peran institusi hati nurani dan mengolah ketabahan hati dan ketelitian diri sendiri.
Salam berbagi, ino, 18.04.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H