Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Menyongsong Minggu Palma di Tengah Gugatan terhadap Kemahakuasaan Tuhan

9 April 2022   09:41 Diperbarui: 9 April 2022   18:06 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Refleksi menyongsong Minggu Palma di tengah gugatan terhadap kemahakuasaan Tuhan | Ilutrasi foto diambil dari: jawaban.com

Manusia rajin bertanya dan mengguggat Tuhan: Mengapa Tuhan tidak sanggup menghentikan perang?

Krisis Rusia-Ukraina belum kunjung akhir, meski banyak pihak dan tokoh-tokoh dunia telah bernegosiasi, lobby hingga doa damai. Rusia tetap saja meneruskan agresi militernya, begitu pula Ukraine sama melakukan perlawanan dengan caranya sendiri. 

Narasi perang antara keduanya mulai terpisah dari cerita tentang siapa yang pertama menyerang pada 24 Februari silam. Hal ini karena dalam perjalanan waktu keduanya saling menyerang, keduanya sama-sama berjuang, keduanya sama-sama berusaha merebut apa yang penting bagi mereka. 

Riuh narasi melalui propaganda media hampir tidak bisa masuk akal. Aneka kabar aneh muncul ke permukaan, entah benar seperti terjadi di sana, sepertinya perlu dipertanyakan? 

Media yang mana yang perlu menjadikan rujukan? Semuanya jadi ragu-ragu menjadikan sumber bacaan. 

Tapi itulah kebebasan pada satu sisinya yang tidak bisa dipisahkan dari kerinduan manusia tentang kebenaran dari sebuah perang pada sisi lainnya.

Memilih diam dan mengambil posisi berpuasa mengadopsi khayalan yang semakin melebarkan ruang ketidakpastian global, barangkali langkah bijak saat ini. 

Oleh karena itu, secara umum saya hanya bisa mengatakan bahwa ada narasi yang sama dari media-media di Eropa bahwa krisis Rusia-Ukraina belum berakhir. 

Apa persisnya, tentu bagi saya itu tidak bisa digambarkan karena berbagi sumber selalu memberitakan hal yang berbeda, mungkin benar dan mungkin juga salah. 

Nah, tulisan ini hanya merupakan refleksi terkait tradisi liturgi perayaan Minggu Palma dalam konteks Gereja Katolik di tengah krisis Rusia-Ukraina. Kalau tahun lalu, sangat jelas Minggu Palma dirayakan di tengah situasi krisis Covid19. Sebuah pemandangan berbeda tentu ada juga di sana. 

Sebelah tangan memegang ranting palma, sebelah tangannya mengatur masker penutup mulutnya. Nah, kali ini sedikit berbeda, sekurang-kurangnya tidak begitu banyak lagi orang yang sibuk menata maskernya, tetapi sangat mungkin bahwa pada tangan yang satunya menggenggam palma, sedangkan tangan satu mungkin menyentuh hatinya dan bertanya. 

Mengapa kita bernyanyi hosana terpujilah sang Raja, padahal di sana masih ada perang, di sana ada kematian, di sana ada tangisan, kelaparan, kehilangan, pengungsian, di sana ada luka, jeritan minta tolong,  serta dahaga? 

Ada beberapa poin refleksi yang bisa disoroti kali ini: 

1. Ledakan gugatan terhadap kemahakuasaan Tuhan semakin membludak

Setiap ketika saya berjumpa dengan generasi tua yang pernah merasakan betapa sadisnya perang, mereka umumnya mengatakan ini, "egal was, der Krieg ist immer scheisse"atau terserah lah, yang namanya perang itu selalu buruk. Kata-kata makian itu dilontarkan begitu spontan karena mereka tahu dengan baik, betapa buruknya perang itu. 

Perang sebagaimana yang pernah mereka alami, itu sama sekali tidak ada lagi di sana lagu pujian, tidak ada lagi kebebasan dan kebersamaan, tidak ada lagi aturan dan tradisi manusia yang bisa dihargai dan dirayakan, bahkan kematian pun tidak lagi dianggap sesi penting pada akhir hidup anak manusia ini. 

Tak hanya makian yang muncul di sana, tetapi juga gugatan terhadap kemahakuasaan Tuhan. Mereka tahu bahwa pertanyaan itu sulit dijawab, tetapi tetap saja bertany dan bertanya, mengapa Tuhan membiarkan terjadinya perang? 

Mengapa Tuhan membiarkan orang-orang tidak bersalah harus meninggalkan dunia, harus menjadi lumpuh, lapar dan mengalami suasana yang terburuk saat ini? 

Tuhan yang mahakuasa semakin dituntut untuk membuktikan kemahakuasaan-Nya, namun semakin dituntut, manusia pun semakin menunjukkan kekuasaannya. Di manakah Tuhan? Apakah ini saatnya manusia beradu kekuasaannya dengan Tuhan?

Tuhan punya rencana dan misteri besar yang tidak bisa dibongkar akal waras manusia. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia tanpa pernah bisa menarik kembali kebebasan itu, bahkan sampai pada batas bahwa Ia tidak bisa membatasi sejauh mana batas penggunaan kebebasannya. Apakah Tuhan itu lemah dan tidak berdaya? 

Bagi penguasa dunia, mungkin saja dijawab "ya" tapi jangan lupa, hidup penguasa dunia ini tidak akan abadi, suatu saat dia akan kembali menghadap Pencipta, maka di sana akan ada saat mempertanggungjawabkan kebebasannya sendiri. 

Meskipun demikian, akankah penguasa-penguasa dunia punya refleksi seperti itu, saya yakin 100 % tidak. Nah, oleh karena itu, jawaban yang sangat terbatas dan menarik barangkali kita diajak untuk kembali ke rasa batin kita masing-masing. Kita pasti tahu betapa berartinya hidup orang lain dan betapa berarti hidup kita sendiri.

Jika hidup itu berarti, mengapa harus memotong kehidupan orang lain? Mengapa kita tidak saling bernyanyi sukacita, karena kita saling menghargai, rukun dan damai? 

2. Hosana, lagu pujian di antara kontradiksi batin

Susana berbeda yang dialami pada saat yang sama saat ini menjadikan kita mengalami suatu kontradiksi batin yang sangat kuat. Ya, bahkan bisa menjadi sebuah dilema batin yang meresap sangat dalam.

Paus Fransiskus sudah turun tangan, dunia sudah berdoa bagi perdamaian Rusia dan Ukraina, sanksi-sanksi ekonomi bahkan sedang berpantun antara keduanya. Namun, hingga hari ini, perang belum berhenti dan amarah belum surut ke tepian sunyi yang damai. 

Pada sisi yang lain rotasi liturgi Gereja Katolik tidak bisa ditunda. Nyanyian pujian Hosana Putra Daud akan dinyanyikan pada Minggu Palma, 10 April nanti. Pertanyaannya apa makna dari pujian hosana Putera Daud di sana?

Rotasi liturgi rupanya memberikan satu perspektif tentang sesi kehidupan manusia, bahwa hidup itu tidak akan berakhir hanya dengan suatu nyanyian puji-pujian.

Hidup ini terus berubah dan berputar dalam dinamika yang secara manusia sulit ditebak, ke arah mana akan terdampar? Ya, rencana Tuhan tidak pernah bisa diketahui secara jelas oleh manusia.

Oleh karena itu, jika manusia punya kesempatan untuk bernyanyi, ya bernyanyilah bagi Tuhan dan nyatakan syukur dan pujian karena di tengah krisis ini masih ada orang-orang baik yang berani dengan tulus menerima pengungsi perang. 

Mereka pergi dengan menangis, tetapi disambut dengan sukacita, meski duka dan kehilangan menyongsong mereka di mana saja. Yerusalem kota tujuan perjalanan Yesus bukan saja gambaran tentang sukacita, tetapi juga gambaran lengkap tentang eksistensi manusia.

Di sana ada pujian, di sana ada makan bersama, di sana ada penyaliban, di sana ada Paskah. Dalam imannya, umat Katolik setahap melangkah memasuki Yerusalem baru (Minggu Palma) dengan konteks nyata krisis pengungsian karena perang, krisis keterbatasan gas dan bahan bakar, mungkin juga krisis pangan akibat dari sanksi-sanksi yang terjadi sekarang.

3. Minggu Palma dan Keterukuran hidup

Minggu Palma tahun ini tidak hanya bersamaan dengan situasi krisis Rusia-Ukraina yang meninggalkan jejak tantangan menerima pengungsi, tetapi juga dalam konteks Indonesia perlu dimaknai dalam kaitannya dengan toleransi dengan saudari saudara kita yang Muslim yang sedang menjalani ibadah puasa Ramadhan.

Kebersamaan ini, bagi saya sangat penting, seakan-akan kita satu dan sama dipanggil untuk merenungkan makna puasa di tengah krisis global ini.

Puasa kita saat ini mungkin saja menyadarkan kita tentang pentingnya hidup secara terukur dan teratur. Umat Kristiani tidak bisa dengan mudahnya bersukacita, bernyanyi secara berlebihan karena ada saudara-saudari kita yang sedang berpuasa, karena ada saudara saudari kita yang juga sedang menderita di sana.

Puasa kita saat ini akhirnya perlu dilakukan dalam kesadaran menjadi lebih terukur (angemessen) tanpa ada kegembiraan yang begitu meluap-luap. Mungkin juga puasa hati dan batin kita berguna untuk perdamaian dunia. Puasa dari hati dengan rasa solidaritas dengan konteks dunia umumnya. 

Puasa dan perayaan Minggu Palma kali ini barangkali saat tepat untuk memberi sedekah. Sedekah cinta dan doa lebih dari sekedar daun-daun biasa, tetapi daun yang bisa menumbuhkan kehidupan dan harapan. 

4. Minggu Palma dan Kesederhanaan

Minggu Palma tahun ini sebagai momen perayaan mengenang kembali masuknya Yesus ke kota Yerusalem mungkin bisa saja tekanan refleksi kita sedikit berbeda. Saya yakin tekanan kesederhanaan Yesus memasuki Yesus perlu dilihat secara lebih dalam lagi oleh umat Kristiani. 

Pujian dan keledai betina itu bukan kegemerlapan, tetapi simbol dari kesederhanaan dan ketakberdayaan. Yesus bukan penguasa ternama yang punya jutaan serdadu dengan perlengkapan teknik persenjataan modern yang canggih. 

Ia datang ke Yerusalem seorang diri dengan begitu sunyi dan sederhana. Tak ada parade dengan senyum seram dan penuh ancaman. Tak ada pula senyum ramah minta bantuan senjata untuk terus berperang. 

Ia datang dalam kesederhanaan sebagai anak manusia yang punya sejarah dilahirkan oleh Maria, perempuan suci tidak bernoda. Ia datang sebagai penyelamat, Isa al-Masih yang menyembuhkan dan menyelamatkan. 

Tak hanya itu, Ia datang untuk melalui jalan penderitaan sebelum wafat dan mengalami Paskah kebangkitan. Refleksi iman ini, hanya menunjukkan satu dimensi yang kontras kehadiran Yesus dengan pemimpin-pemimpin masa kita. 

Yesus itu sederhana. Ia tidak mengangkat senjata dan berperang. Ia pergi menjumpai orang-orang yang berbeda dan mengubah horizon hidup dan cara pikir mereka. 

Demikian refleksi Minggu Palma yang tentunya bukan coretan teologis dan biblis, tetapi praksis sesuai konteks dunia saat ini. Dunia yang sedang menantikan wajah seorang pemimpin yang punya hati penuh damai dan mau berdamai kembali. Dunia yang membutuhkan jawaban dan kesaksian bahwa Tuhan punya kuasa mengatasi krisis manusia. Dunia yang perlu diubah ke dalam horison hidup dan rencana Pencipta bagi semuanya.

Salam berbagi, ino, 9.04.2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun