Mengapa kita bernyanyi hosana terpujilah sang Raja, padahal di sana masih ada perang, di sana ada kematian, di sana ada tangisan, kelaparan, kehilangan, pengungsian, di sana ada luka, jeritan minta tolong, Â serta dahaga?Â
Ada beberapa poin refleksi yang bisa disoroti kali ini:Â
1. Ledakan gugatan terhadap kemahakuasaan Tuhan semakin membludak
Setiap ketika saya berjumpa dengan generasi tua yang pernah merasakan betapa sadisnya perang, mereka umumnya mengatakan ini, "egal was, der Krieg ist immer scheisse"atau terserah lah, yang namanya perang itu selalu buruk. Kata-kata makian itu dilontarkan begitu spontan karena mereka tahu dengan baik, betapa buruknya perang itu.Â
Perang sebagaimana yang pernah mereka alami, itu sama sekali tidak ada lagi di sana lagu pujian, tidak ada lagi kebebasan dan kebersamaan, tidak ada lagi aturan dan tradisi manusia yang bisa dihargai dan dirayakan, bahkan kematian pun tidak lagi dianggap sesi penting pada akhir hidup anak manusia ini.Â
Tak hanya makian yang muncul di sana, tetapi juga gugatan terhadap kemahakuasaan Tuhan. Mereka tahu bahwa pertanyaan itu sulit dijawab, tetapi tetap saja bertany dan bertanya, mengapa Tuhan membiarkan terjadinya perang?Â
Mengapa Tuhan membiarkan orang-orang tidak bersalah harus meninggalkan dunia, harus menjadi lumpuh, lapar dan mengalami suasana yang terburuk saat ini?Â
Tuhan yang mahakuasa semakin dituntut untuk membuktikan kemahakuasaan-Nya, namun semakin dituntut, manusia pun semakin menunjukkan kekuasaannya. Di manakah Tuhan? Apakah ini saatnya manusia beradu kekuasaannya dengan Tuhan?
Tuhan punya rencana dan misteri besar yang tidak bisa dibongkar akal waras manusia. Tuhan memberi kebebasan kepada manusia tanpa pernah bisa menarik kembali kebebasan itu, bahkan sampai pada batas bahwa Ia tidak bisa membatasi sejauh mana batas penggunaan kebebasannya. Apakah Tuhan itu lemah dan tidak berdaya?Â
Bagi penguasa dunia, mungkin saja dijawab "ya" tapi jangan lupa, hidup penguasa dunia ini tidak akan abadi, suatu saat dia akan kembali menghadap Pencipta, maka di sana akan ada saat mempertanggungjawabkan kebebasannya sendiri.Â
Meskipun demikian, akankah penguasa-penguasa dunia punya refleksi seperti itu, saya yakin 100 % tidak. Nah, oleh karena itu, jawaban yang sangat terbatas dan menarik barangkali kita diajak untuk kembali ke rasa batin kita masing-masing. Kita pasti tahu betapa berartinya hidup orang lain dan betapa berarti hidup kita sendiri.
Jika hidup itu berarti, mengapa harus memotong kehidupan orang lain? Mengapa kita tidak saling bernyanyi sukacita, karena kita saling menghargai, rukun dan damai?Â