Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Dilema "Language of Life" antara Cinta NKRI dan Bahasa Kritik

21 Februari 2022   04:53 Diperbarui: 24 Februari 2022   14:06 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahasa. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Bangsa yang beradab, hendaknya bisa memelihara rasa bahasanya. 

Panggung politik Indonesia tidak pernah berhenti dibalut dengan kritik, nyinyir dan gerakan oposisi. Akhir-akhir ini semakin terlihat jelas bahwa tidak semua orang yang menyerukan cinta NKRI punya bahasa cinta yang menopang niat baiknya sendiri.

Cinta NKRI dan bahasa kritik lagi-lagi bisa salah tafsir berulang kali. Tidak cuma itu berangkat dari salah tafsir itu berujung pada ekspresi emosional yang tidak terbendung hingga amarah dan luapan benci terbersit.

Keberagaman di Indonesia saat ini tampil dalam wajah yang ganda, ya ibarat cinta dan benci. Meskipun demikian, tidak sedikit jumlahnya, orang-orang yang atas nama cinta mereka pada NKRI lalu berteriak menyembur pengaruh amarah mereka kepada publik melalui instrument media sosial saat ini.

Ternyata kadar cinta setiap orang yang mengatasnamakan pecinta NKRI akhirnya salah kaprah dengan upaya melegalkan kata-kata busuk yang menafikan orang lain dengan segala peradabannya. Bukankah “language of life” atau bahasa kehidupan yang dibutuhkan oleh semua orang?

Tulisan ini tidak membahas bahasa kehidupan dalam alam berpikir filosofis murni dari Gottlob Frege (1848-1925), tetapi lebih ke dalam konteks bahasa sehari-hari yang dipakai sebagai instrumen kritik.

Nah, pada tahap seperti itu, siapa saja yang atas nama cintanya pada NKRI mesti mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang penting dalam bingkai hidup berbangsa dan bernegara. Tulisan ini bertujuan untuk menyoroti aspek-aspek apa saja yang penting menjadi dasar dari ungkapan cinta NKRI dan bahasa kritik pada umumnya di negeri ini.

"Language of life" antara cinta NKRI dan bahasa kritik | Dokumen pribadi oleh Ino

Di mana ruang dan waktu dari bahasa cinta?

Umumnya orang berpikir bahwa bahasa cinta yang romantis hanya milik dunia perfilman saja. Sebagian orang menganggap bahasa cinta itu bahasa anak remaja yang sedang mabuk asmara. 

Pertanyaannya, dimana sih ada batasan bahasa cinta itu digunakan? Rasanya tidak ada aturan dan hukum yang mengatur bahasa cinta hanya pada ruang tertentu dan usia tertentu. 

Nah, kalau begitu mengapa kita tidak berusaha menghidupkan bahasa cinta dalam semua bidang kehidupan kita khususnya dalam keseharian ini. Aneh bukan? Sebagian orang mengatakan aku cinta NKRI, lalu selanjutnya hanya ada semburan kata-kata yang menyakiti hati orang lain seperti; dungu, jin, anjing, monyet dan lain sebagainya.

Mungkin sudah saatnya bahasa cinta perlu diterjemahkan dalam konteks kritik dan dalam konteks politik di negeri ini. Bahasa cinta yang saya maksudkan adalah ciri bahasa dengan diksi yang tanpa mengisolir orang lain, apalagi menghina dan mencaci maki.

Keindahan bahasa daerah di Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan kekayaan bahasa daerah yang begitu berlimpah. Meskipun demikian, rupaya sebagian orang belum bisa mengakomodir rasa bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.

Rasa bahasa dalam konteks bahasa daerah rupanya punya kategorinya sendiri. Ada bahasa daerah yang hanya dipakai dalam forum resmi adat dan ada pula bahasa daerah yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Saya mengagumi keindahan dan kedalaman bahasa daerah khususnya bahasa yang digunakan dalam forum adat. Dalam konteks adat Flores misalnya, di sana punya tingkatan bahasa daerah yang masih dipakai hanya dalam momen tertentu saja oleh orang tertentu saja. 

Bahasa daerah dan energi cinta yang mempersatukan

Para tokoh adat rupanya punya tuntutan otomatis untuk memiliki bahasa-bahasa adat yang tua dan bermakna. Bahasa yang tua dan bermakna itu punya energi cintanya yang mempersatukan dan memotivasi.

Sebagai contoh orang Flores menggunakan forum adat yang disertai dengan upacara makan bersama dengan filosofi bahasa adat mereka seperti ini khususnya dalam bahasa Ende: "mai kita ka pa bou minu pa imu" atau mari kita makan dan minum bersama supaya saling berteman.

Dalam forum yang lebih terbuka, orang bisa saja menyampaikan gagasan politiknya untuk mengkritik pemerintah. Cara dan momen yang dipakai mereka adalah dengan menggunakan tutur adat pada saat menari Gawi bersama. Ucapan yang sering muncul seperti ini: "Mai kita ndawi zima, mbana sama-sama, poto wozo seá ndena, kami ono ama ndeka miu ema pati ata pawe, tau muri kami ria" atau mari kita bergandeng tangan, jalan bersama-sama supaya sampai ke tujuan. Kami minta dari Anda bapak yang terbaik, supaya hidup kami sejahtera."

Kata Anda (miu ema) dalam konteks itu adalah para tamu penting seperti dari pihak pemerintah. Pesan politik mereka disampaikan secara santun sambil bergandengan tangan.

Terasa sekali bahwa cara dan momen seperti itu lebih menyentuh hati daripada orang menggunakan media sosial dengan akun tidak bertanggung jawab yang berisikan cacian dan cercaan. Nah, dalam konteks seperti itulah, saya pikir betapa pentingnya adat dan warisan kebijaksanaan lokal di tanah air kita.

Pertanyaannya, apakah manusia modern ini telah kehilangan etika adat dalam menyampaikan pendapat mereka? Ya, bisa saja. Saya percaya bahwa etika adat dan agama tidak jauh berbeda, oleh karena itu akar dari bahasa kritik yang tidak bersahabat itu karena orang kehilangan keseimbangan dalam menentukan diksi dalam kritik.

Saya masih ingat dalam konteks Flores, bahasa daerah yang dipakai sebagai komunikasi formal selalu merupakan bahasa yang santun dan bermakna dengan nilai filosofis yang tinggi. Bahasa seperti itu bagi saya adalah bahasa cinta yang punya daya romantismenya sendiri. 

Bahasa adat adalah bahasa yang bisa mendatangkan haru, belas kasihan, semangat, memotivasi dan lain sebagainya. 

Tentu di daerah-daerah lain di Indonesia ini punya ciri seperti itu. Mampukah anak bangsa ini mau menyelami kembali filosofi bahasa daerahnya untuk memperoleh kembali roh cinta dari bahasa yang dipakai dalam menyampaikan kritik?

Roh dari bahasa komunikasi manusia

Mungkin saatnya Indonesia berbalik melihat kembali roh dari bahasa-bahasa daerah (adat) dari setiap daerah dan suku di Indonesia sehingga bisa menjadi model dan pemberi roh dalam bahasa komunikasi khususnya dalam menyampaikan pendapat di ranah publik. 

Dari sisi perbandingan bagaimana orang kampung menyampaikan pendapat mereka dengan menggunakan bahasa adat, terasa sekali bahwa orang kampung menunjukkan nilai rasa bahasa yang berwibawa seperti orang berpendidikan, ketimbang sebagian orang yang oleh karena ambisi kepentingan tertentu, tidak menunjukan diksi yang ramah dan berwibawa.

Dalam hal ini, saya melihat bahwa masih banyak orang yang menggunakan bahasa Indonesia sering tanpa rasa bahasa yang santun dalam konteks menyampaikan pendapatnya. Bahasa Indonesia dipakai mereka sebagai sarana untuk menyerang dan menghina orang lain. Nah, jelas bahwa melalui cara itu, bahasa yang romantis telah kehilangan daya pedagogis dan rasa estetikanya. 

Jadi, sebenarnya orang Indonesia bisa belajar menggunakan tata krama bahasa adat dalam menyampaikan pendapatnya dalam bahasa Indonesia.

Rasa cinta dan bahasa kritik

Bukan hal baru lagi di negeri ini bahwa sebagian orang selalu melihat dengan kritis kinerja pemerintah saat ini. Ya, melihat dengan kritis serta menilainya adalah cara yang sah-sah saja, namun ketika penilaian itu mulai diungkapkan ke publik dengan menggunakan media sosial, nah di sana sudah perlu hati-hati.

Etika tutur kata memang sangat penting untuk diperhatikan, agar pendapat yang disampaikan bisa diterima, lalu sasaran kritik bisa berbenah. Kegagalan paling mencolok di negeri ini adalah bahasa komunikasi publik sebagai sarana penyampaian pendapat pribadi maupun kelompok tidak bisa disaring dengan filter cerdas yang beretika.

Dampak dari kebiasaan lepas kontrol emosi itu pasar tentang ujaran kebencian sudah cukup banyak menjebloskan orang ke dalam penjara. Ya, terasa keras dan kejam, tapi mau gimana jika tidak berlaku seperti itu, maka bisa dibayangkan hamburan ujaran kebencian di media sosial seperti apa.

Memfilter bahasa jadi komunikasi manusia

Point tentang memfilter bahasa dan diksinya sehingga menjadi bahasa komunikasi yang manusiawi bisa dilihat secara kontras dalam beberapa akun media sosial di Indonesia.

Perhatikan saja provokasi tentang postingan calon presiden 2024, selalu saja pada kolom komentar ada bahasa-bahasa yang saling menyerang dan tidak elok dibaca. Ya, masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa memfilter bahasanya sendiri ke ranah publik.

Sebenarnya bahasa saling menyerang antara pendukung atau kubu politik itu terjadi karena atas dasar cinta mereka pada calon tertentu. Mencintai figur tertentu merupakan hal wajar, cuma sangat disayangkan bahwa bahasa pendukungnya belum bisa mencerminkan cinta mereka pada figur yang diungkapkan secara benar dari kesadaran pribadi.

Dalam hal ini, saya tertarik dengan gagasan tentang bahasa sebagai komunikasi manusia (human communication) dalam pemikiran Feger: Bahasa semestinya sarana komunikasi manusia yang diperlukan untuk merekam pemikirannya sendiri (language appears as a necessary vehicle of human communication precisely because it is a necessary vehicle to record one’s own thoughts). 

Oleh karena bahasa sebagai komunikasi manusia yang berfungsi untuk merepresentasikan pemikiran manusia perorangan, maka semestinya orang tidak bisa mengikuti saja bahasa yang sudah dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Bahasa dalam pengaruh orang lain, itu bukan lagi sebagai bahasa yang bebas untuk mengungkapkan pemikiran sendiri.

Dalam konteks Indonesia, terlihat sekali bahwa bahasa yang digunakan oleh sebagian orang sebagai komunikasi kepentingan politiknya lebih merujuk ke arah berlawanan dengan bahasa manusia. Mencap orang dengan nama binatang tertentu, saya kira itu bukan bahasa yang mengangkat derajat dan martabat manusia.

Bahasa Kehidupan (Language of life)

Semestinya patokan umum yang perlu dipertimbangkan dalam tata krama berpolitik dan menyampaikan pendapat serta kritik adalah bahasa kehidupan (language of life). Bahasa kehidupan yang saya maksudkan dalam konteks tulisan ini adalah bahasa sebagai sarana komunikasi manusia dengan hawa yang memberikan ciri-ciri kehidupan dan bukan sebaliknya, seperti menjerat, menistakan, menghukum dengan berbagai pasal agama, dan lain sebagainya.

Bahasa kehidupan bagi saya adalah bahasa cinta, sebuah bahasa yang di dalamnya ada kandungan energi yang mempersatukan, memotivasi, mengikat persaudaraan dan kebersamaan kita sebagai anak bangsa; bahasa yang menciptakan canda dan tawa ikhlas dari kedalaman sanubari kita.

Bahasa kehidupan semestinya memberikan ruang baru bagi siapa saja kepada suatu perkembangan baru (neue Entwicklung) dan bukannya menyeret orang kepada titik akhir (Endpunkt).

Demikian beberapa poin refleksi yang tercetus dari gelora hati ketika melihat dan menyaksikan bahasa komunikasi anak bangsa ini. Ya, dalam banyak kesempatan negeri ini disibukan begitu banyak dengan urusan kesalahan diksi dalam komunikasi politik dan kepentingan. 

Mungkinkah anak bangsa ini memperbaiki ciri bahasanya menjadi sebuah bahasa kehidupan (Language of life) yang nyata melalui bahasa cinta yang melampaui ruang hidup hanya dalam drama fantasi manusia? Pada prinsipnya negeri ini membutuhkan diksi yang baru dari orang-orang yang mengatakan cinta NKRI; ya, sebuah diksi yang tidak hanya punya pancaran etika dan visi kemanusiaan yang jelas dijunjungnya, tetapi juga motivasi dan energi baru yang mendukung nilai-nilai kehidupan sebagai bangsa.

Salam berbagi, ino, 21.02.2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun