Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Dilema "Language of Life" antara Cinta NKRI dan Bahasa Kritik

21 Februari 2022   04:53 Diperbarui: 24 Februari 2022   14:06 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahasa. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Bukan hal baru lagi di negeri ini bahwa sebagian orang selalu melihat dengan kritis kinerja pemerintah saat ini. Ya, melihat dengan kritis serta menilainya adalah cara yang sah-sah saja, namun ketika penilaian itu mulai diungkapkan ke publik dengan menggunakan media sosial, nah di sana sudah perlu hati-hati.

Etika tutur kata memang sangat penting untuk diperhatikan, agar pendapat yang disampaikan bisa diterima, lalu sasaran kritik bisa berbenah. Kegagalan paling mencolok di negeri ini adalah bahasa komunikasi publik sebagai sarana penyampaian pendapat pribadi maupun kelompok tidak bisa disaring dengan filter cerdas yang beretika.

Dampak dari kebiasaan lepas kontrol emosi itu pasar tentang ujaran kebencian sudah cukup banyak menjebloskan orang ke dalam penjara. Ya, terasa keras dan kejam, tapi mau gimana jika tidak berlaku seperti itu, maka bisa dibayangkan hamburan ujaran kebencian di media sosial seperti apa.

Memfilter bahasa jadi komunikasi manusia

Point tentang memfilter bahasa dan diksinya sehingga menjadi bahasa komunikasi yang manusiawi bisa dilihat secara kontras dalam beberapa akun media sosial di Indonesia.

Perhatikan saja provokasi tentang postingan calon presiden 2024, selalu saja pada kolom komentar ada bahasa-bahasa yang saling menyerang dan tidak elok dibaca. Ya, masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa memfilter bahasanya sendiri ke ranah publik.

Sebenarnya bahasa saling menyerang antara pendukung atau kubu politik itu terjadi karena atas dasar cinta mereka pada calon tertentu. Mencintai figur tertentu merupakan hal wajar, cuma sangat disayangkan bahwa bahasa pendukungnya belum bisa mencerminkan cinta mereka pada figur yang diungkapkan secara benar dari kesadaran pribadi.

Dalam hal ini, saya tertarik dengan gagasan tentang bahasa sebagai komunikasi manusia (human communication) dalam pemikiran Feger: Bahasa semestinya sarana komunikasi manusia yang diperlukan untuk merekam pemikirannya sendiri (language appears as a necessary vehicle of human communication precisely because it is a necessary vehicle to record one’s own thoughts). 

Oleh karena bahasa sebagai komunikasi manusia yang berfungsi untuk merepresentasikan pemikiran manusia perorangan, maka semestinya orang tidak bisa mengikuti saja bahasa yang sudah dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Bahasa dalam pengaruh orang lain, itu bukan lagi sebagai bahasa yang bebas untuk mengungkapkan pemikiran sendiri.

Dalam konteks Indonesia, terlihat sekali bahwa bahasa yang digunakan oleh sebagian orang sebagai komunikasi kepentingan politiknya lebih merujuk ke arah berlawanan dengan bahasa manusia. Mencap orang dengan nama binatang tertentu, saya kira itu bukan bahasa yang mengangkat derajat dan martabat manusia.

Bahasa Kehidupan (Language of life)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun