Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Dilema "Language of Life" antara Cinta NKRI dan Bahasa Kritik

21 Februari 2022   04:53 Diperbarui: 24 Februari 2022   14:06 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahasa. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Nah, kalau begitu mengapa kita tidak berusaha menghidupkan bahasa cinta dalam semua bidang kehidupan kita khususnya dalam keseharian ini. Aneh bukan? Sebagian orang mengatakan aku cinta NKRI, lalu selanjutnya hanya ada semburan kata-kata yang menyakiti hati orang lain seperti; dungu, jin, anjing, monyet dan lain sebagainya.

Mungkin sudah saatnya bahasa cinta perlu diterjemahkan dalam konteks kritik dan dalam konteks politik di negeri ini. Bahasa cinta yang saya maksudkan adalah ciri bahasa dengan diksi yang tanpa mengisolir orang lain, apalagi menghina dan mencaci maki.

Keindahan bahasa daerah di Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan kekayaan bahasa daerah yang begitu berlimpah. Meskipun demikian, rupaya sebagian orang belum bisa mengakomodir rasa bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.

Rasa bahasa dalam konteks bahasa daerah rupanya punya kategorinya sendiri. Ada bahasa daerah yang hanya dipakai dalam forum resmi adat dan ada pula bahasa daerah yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Saya mengagumi keindahan dan kedalaman bahasa daerah khususnya bahasa yang digunakan dalam forum adat. Dalam konteks adat Flores misalnya, di sana punya tingkatan bahasa daerah yang masih dipakai hanya dalam momen tertentu saja oleh orang tertentu saja. 

Bahasa daerah dan energi cinta yang mempersatukan

Para tokoh adat rupanya punya tuntutan otomatis untuk memiliki bahasa-bahasa adat yang tua dan bermakna. Bahasa yang tua dan bermakna itu punya energi cintanya yang mempersatukan dan memotivasi.

Sebagai contoh orang Flores menggunakan forum adat yang disertai dengan upacara makan bersama dengan filosofi bahasa adat mereka seperti ini khususnya dalam bahasa Ende: "mai kita ka pa bou minu pa imu" atau mari kita makan dan minum bersama supaya saling berteman.

Dalam forum yang lebih terbuka, orang bisa saja menyampaikan gagasan politiknya untuk mengkritik pemerintah. Cara dan momen yang dipakai mereka adalah dengan menggunakan tutur adat pada saat menari Gawi bersama. Ucapan yang sering muncul seperti ini: "Mai kita ndawi zima, mbana sama-sama, poto wozo seá ndena, kami ono ama ndeka miu ema pati ata pawe, tau muri kami ria" atau mari kita bergandeng tangan, jalan bersama-sama supaya sampai ke tujuan. Kami minta dari Anda bapak yang terbaik, supaya hidup kami sejahtera."

Kata Anda (miu ema) dalam konteks itu adalah para tamu penting seperti dari pihak pemerintah. Pesan politik mereka disampaikan secara santun sambil bergandengan tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun