Kata pertama itu bagi saya adalah kata kunci (password) untuk mengerti bukan saja apa artinya "jeda" sebagai seorang penulis, tetapi juga apa artinya "jeda" dalam hidup manusia. Dari kata "Jeda" itu, Indriati seperti menitipkan pesan kepada teman-teman penulisnya, "jangan lupa "jeda" dalam menulis!"
Jeda itu ternyata penting. Saya mengerti "jeda" dalam menulis sebagai saat khusus untuk menyegarkan kembali pikiran dan daya nalar. Jeda sama dengan saat seseorang mengambil jarak agar bisa melihat dengan kritis apa yang ditulis dan apa pesan dari tulisannya sendiri.
Jeda adalah saat istimewa bagi tubuh untuk mengatasi kelelahan fisik. Namun, pengalaman dan pemahaman ku masih terlalu sederhana kalau dibandingkan dengan seorang Indriati See tentunya. Indriati sudah melampaui perspektif yang saya miliki saat ini.
Jeda bagi Indriati adalah saat rahmat untuk menatap karya Tuhan. Saya disadarkan oleh hubungan makna dari puisi terakhir Indriati bahwa "jeda" itu bukan semata-mata saat untuk melihat diri sendiri saja, tetapi saat untuk melihat karya Tuhan.
Itulah kenyataannya, setiap kali seseorang mengambil saat jeda, mata selalu melihat segala sesuatu di sekitarnya; entah melihat tumbuhan, air, pemandangan dan lain sebagainya. Semua itu adalah karya Tuhan.
Dari situlah tubuh manusia kembali dipenuhi dengan energi baru; tubuh menjadi rileks dan pikiran menjadi segar. Ya, terima kasih Indriati, puisi terakhirmu telah membuka pemahamanku yang selama ini jauh dari kesadaranku sendiri.
Kematian dalam perspektif seorang penulis Fiksi
Indriati meninggalkan barisan kata-kata ini: "Ajak aku untuk menyentuhmu dalam kelembutan abadi walau hanya keinginan hati tapi....."Â Kata-kata itu bagi saya adalah pengungkapan fiksi tentang kematian dari seorang Indriati See. Kematian adalah saat menyentuh dalam kelembutan abadi Sang Pencipta.
Terasa sekali pada puisi terakhir itu, Indriati sudah masuk dalam saat-saat jeda pergulatan mendefinisikan hidupnya sendiri. Dengan sadar pula, Indriati mengatakan, kematian itu momen yang bersentuhan dengan kelembutan abadi, namun ia realistis mengakui bahwa itu "hanya keinginan hatinya."
Terlihat sekali, Indriati adalah penulis fiksi yang punya khasana batin spiritual, namun juga realistis. Akhir dari puisi terakhirnya ada kata "tapi..."Â
Lagi-lagi, menarik untuk ditelisik. Mengapa seperti itu? Mengapa ia mengakhiri barisan puisi terakhir dalam hidupnya dengan kata "tapi..."