Hanya mereka yang berkeja keras dan kreatif menata usaha dan keuangan, mereka pula yang bisa tetap tenang meski badai "tanggal tua itu datang."
Tema yang sangat menarik dari sajian topik pilihan Kompasiana lagi-lagi memancing mata dan pikiran untuk coba melirik istilah "tanggal tua" itu sendiri dalam konteks global masyarakat Indonesia umumnya. Tentu secara langsung istilah "tanggal tua" itu hanya berhubungan dengan para pegawai swasta maupun pegawai negeri sipil.
Tanggal tua berkaitan erat dengan ekonomi rumah tangga. Tanggal tua terhubung secara otomatis dengan gaji bagi para pegawai. Tanggal tua terhubung pula dengan kemungkinan krisis karena keterbatasan persediaan kebutuhan rumah tangga.
Tentu tema yang menarik ini bisa menjadi wacana diskusi terkait konsep hidup sebagai pegawai dan hidup sebagai petani, khususnya di desa-desa. Bagi petani desa, tanggal tua punya makna lain yang tentu tidak secara langsung seperti pengalaman para pegawai.
Apa sih tanggal tua bagi petani desa?
Tanggal tua bagi petani desa dimaknai secara beragam. Ada yang menghubungkan ungkapan tanggal tua dengan kecemasan bahwa akan ada pesan dan permintaan dari anak sekolah. Tetapi ada juga yang terhubung dengan janji-janji dalam kaitannya dengan urusan adat dan lain sebagainya.
Meskipun demikian tanggal tua bagi mereka tidak terlalu menjadi ungkapan yang sering didengungkan. Mengapa seperti itu?
Ilustrasi tentang keragaman usaha petani di desa dalam usaha mengatasi tangga tua | Dokumen pribadi oleh Ino
Petani desa tidak punya ikatan dinas
Petani punya kebebasan dalam banyak bidang, lebih-lebih dalam kaitan dengan keuangan yang menopang hidup rumah tangga mereka. Bagi para petani bisa saja "tanggal tua" dimaknai sebagai saat krisis. Kalau "tanggal tua" sebagai saat krisis bisa datang kapan saja, karena hidup mereka tidak punya kepastian gaji.
Meskipun demikian, jangan salah duga juga bahwa dalam kebebasan mereka itu, para petani memiliki peluang lebih besar untuk mengatasi "tanggal tua." Keseharian hidup para petani sebetulnya sangat menentukan keadaan yang bisa disebut dengan "tanggal tua."
Logikanya sederhana dan praktis, "Jika rajin dan kreatif bekerja, maka mereka tidak akan mengenal "tanggal tua", tetapi hanya "tanggal basah." Ya, rejeki dan perolehan hasil bisa datang kapan saja."
Petani desa bisa bekerja di banyak bidang untuk hidupnya
Berbicara tentang petani desa yang tidak mengenal tanggal tua, tidak berarti mempromosikan bahwa lebih baik jangan jadi pegawai negeri sipil. Ini hanya mewakili kenyataan para petani yang saya kenal di desa-desa.
Mungkin pantas saya mengatakan bahwa mereka adalah orang yang beruntung. Hidup mereka jauh lebih menyenangkan daripada para pegawai apalagi yang hidup di kota-kota.
Profil petani desa yang saya kenal tidak lain seperti ini. Mereka punya kebun kemiri, kopi, kakao, pinang, cengkeh, vanili, kelapa, punya ternak, punya kebun pisang, punya kebun cabe dan lain sebagainya.
Coba bayangkan harga cabe saja pernah mencapai 35.000 per kilogram. Harga pinang pernah mencapai 23.000 per kilo, harga kemiri pernah mencapai 30.000 per kilogram.Â
Uniknya lagi bahwa kebun-kebun mereka bisa beberapa tempat dan hampir setiap hari pasar mereka selalu menjual hasil kebun mereka. Di manakah tanggal tua? Kalau saja setiap minggu mereka bisa meraih uang dari hasil kebun mereka yang bermacam-macam itu.
Tanggal tua bagi mereka mungkin menjadi lebih singkat, ya bisa seperti akhir pekan, hanya karena hari pasarnya adalah hari Senin. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa hidup mereka sebetulnya tidak cukup umum mengenal tanggal tua.
Petani desa yang kreatif sama sekali tidak mengenal tanggal tua?
Poin ketiga ini memang sangat menantang dan bisa jadi sangat diragukan kebenarannya, namun ini berangkat dari kenyataan yang pernah saya saksikan sendiri. Saya ingat kisah seorang petani desa yang kreatif membuat kebun sayur di desa.
Pengusaha sayur bisa menjual sayur setiap hari dan tahu gak berapa hasil dalam sekali jual? Anak sekolah saja yang menjual sayur sekali pergi dengan menggunakan motor sudah bisa memperoleh uang sebesar 250.000 dalam waktu dua jam.
Orang besar misalnya tergantung dari kesanggupan membawa muatan. Pernah dalam sekali jualan sudah mencapai angka berkisar antara 800.000-1.200.000.Â
Katakan saja dalam seminggu dua kali jual, maka pemasukan sudah mencapai 1.600.000-2.400.000. Artinya dalam sebulan pemasukannya mencapai angka antara 6.400.000 - 9.600.000. Ya, bisa dikatakan perolehan rata-rata  lima juta saja sudah luar biasa lho untuk hidup di desa.Â
Ini bukan rekaan, tetap kenyataan yang pernah ada dan saya menyaksikannya sendiri. Dari perhitungan itu, saya percaya bahwa petani yang kreatif tidak akan pernah mengenal tanggal tua.
Krisis cara pengelolaan keuangan
Kreativitas dan keragaman usaha petani tidak bisa menjadi jaminan otomatis untuk memperoleh keadaan mapan secara ekonomi. Salah satu kendala yang sering diterima begitu saja adalah terkait krisis cara pengelolaan keuangan.Â
Bukan soal bahwa mereka menerima begitu saja, terkesan bahwa kadang mereka tidak menyadari bahwa mereka tidak mahir mengatur keuangan dari hasil kerja mereka yang berlimpah-limpah.
Sebagai akibatnya bahwa mereka tetap saja merasakan hidup itu penuh kekurangan. Bagaimana menata keuangan itu tidak dipikirkan dengan jangka waktu kesanggupan ekonomi rumah tangga dalam sebulan, tetapi diukur dalam setiap minggu.
Penentuan ekonomi mereka adalah pasar mingguan dan bukan gaji bulanan. Sejauh mereka masih punya jualan, maka bisa dikatakan ekonomi masih bisa dikatakan tetap basah.
Justru sebaliknya, krisis itu akan mencapai puncaknya ketika kehidupan masyarakat desa yang secara sosial terikat kuat dengan adat istiadat dan aneka budaya lainnya. Ya, katakan saja ada adat pernikahan, ada hajatan terkait kematian dan lain sebagainya.
Semua hajatan di desa-desa terhubung begitu erat dengan kehidupan para petani, karena mereka hampir tidak menganggap penting apa yang namanya rencana. Ya, kematian tidak bisa direncanakan, tetapi suatu kemungkinan yang bisa datang kapan saja.
Ketetanggaan dan hajatan tidak terduga
Kemungkinan yang bisa datang kapan saja di satu sisi, dan kepastian solidaritas persaudaraan di sisi lain itu benar-benar merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalau untuk hajatan pernikahan bisa saja direncanakan, namun konteks ketetanggaan yang begitu kental, hampir dapat dipastikan bahwa mereka tidak punya pilihan untuk bisa menyimpan uang dari hasil kerja mereka.
Ya, hasil seminggu bisa saja habis terpakai seminggu juga. "Hidup di desa keras bung.... tetanggamu susah, kamu juga harus ikut solider, ya kamu akan susah juga, tetanggamu ada hajatan, kamu juga ikut punya hajatan dong, apa kata mereka jika kamu diam saja." Ungkapan seperti itu yang sering terdengar dalam keseharian petani desa.
Ikatan kekeluargaan begitu kental dengan semua orang, hingga bahwa tetangga pun tanpa punya hubungan darah saja diterima layaknya sedarah dan sekandungan. Sosialitas ketetanggaan yang begitu kuat itu kadang menyeret mereka begitu sering hingga seperti berada dalam "tanggal tua."
Tanggal tua akhirnya terhubung dengan filosofi hidup yang secara sosial tidak bisa menyingkirkan persaudaraan, ketetanggaan dan solidaritas.Â
Apakah petani punya pilihan untuk keluar dari lingkaran tantangan ketetanggaan dan hajatan tidak terduga?
Pilihan yang bertanggung jawab dalam pemahaman mereka adalah orang harus berjiwa besar dan kerja keras. Petani harus bisa membuat perhitungan dengan memberikan ruang datangnya kemungkinan tidak terduga selalu lebih besar daripada yang sudah bisa direncanakan.
Oleh karena itu, sering mereka punya filosofi sendiri untuk konteks kehidupan dengan latar kehidupan sosial seperti itu. Hidup itu harus ditopang dengan dua hal. Dalam tutur keseharian orang Ende yakni mbunggu nee remi atau rajin dan telaten.
Orang tidak hanya bisa fokus melakukan satu hal saja, tetapi harus bisa lebih dari satu hal, bila perlu banyak hal. Misalnya kalau beternak tidak hanya satu jenis ternak, kalau menanam tanaman umur panjang ya tidak hanya satu jenis tanaman.
Sulit untuk mengatakan bahwa mereka tidak bisa keluar dari tantangan itu, karena terbukti bahwa mereka tetap saja nyaman dengan kehidupan seperti itu. Tentu, bisa saja karena mereka tidak punya pilihan lainnya.
Pilihan lain yang mungkin perlu ditelaah lebih lanjut adalah pilihan untuk merantau keluar dari daerahnya sendiri. Ada ungkapan seperti ini: "Kalau kamu mau maju, kamu harus keluar dari kampungmu!"
Kenyataan beberapa orang telah membuktikan seperti itu, mereka menjadi orang yang mapan hidupnya meski tidak menjadi seorang pegawai negeri sipil. Ya, petani di kota, tentu dengan cara pikir yang berbeda.
Demikian beberapa gagasan yang terhubung dengan konteks dan ungkapan "tanggal tua." Secara langsung "tanggal tua" adalah kosa kata pilihan untuk orang kota yang sebagian besar hidup dari gaji bulanan mereka. Meskipun demikian "tanggal tua" bisa dimaknai sebagai suatu krisis yang bisa juga menimpa petani desa karena banyak hal, kebutuhan anak sekolah, beragam hajatan di sana. Ya, konteks ketetanggaan dan kemungkinan tidak terduga tetap menjadi serabut akar yang terhubung dengan krisis tanggal tua.
Salam berbagi, ino, 14.10.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H