Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apakah Para Petani Mengenal Tanggal Tua?

14 Oktober 2021   11:03 Diperbarui: 15 Oktober 2021   03:00 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani di dataran tinggi Dieng sedang memanen sayur kol. Foto: Kompas.com/Garry Lotulung

Sebagai akibatnya bahwa mereka tetap saja merasakan hidup itu penuh kekurangan. Bagaimana menata keuangan itu tidak dipikirkan dengan jangka waktu kesanggupan ekonomi rumah tangga dalam sebulan, tetapi diukur dalam setiap minggu.

Penentuan ekonomi mereka adalah pasar mingguan dan bukan gaji bulanan. Sejauh mereka masih punya jualan, maka bisa dikatakan ekonomi masih bisa dikatakan tetap basah.

Justru sebaliknya, krisis itu akan mencapai puncaknya ketika kehidupan masyarakat desa yang secara sosial terikat kuat dengan adat istiadat dan aneka budaya lainnya. Ya, katakan saja ada adat pernikahan, ada hajatan terkait kematian dan lain sebagainya.

Semua hajatan di desa-desa terhubung begitu erat dengan kehidupan para petani, karena mereka hampir tidak menganggap penting apa yang namanya rencana. Ya, kematian tidak bisa direncanakan, tetapi suatu kemungkinan yang bisa datang kapan saja.

Ketetanggaan dan hajatan tidak terduga

Kemungkinan yang bisa datang kapan saja di satu sisi, dan kepastian solidaritas persaudaraan di sisi lain itu benar-benar merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalau untuk hajatan pernikahan bisa saja direncanakan, namun konteks ketetanggaan yang begitu kental, hampir dapat dipastikan bahwa mereka tidak punya pilihan untuk bisa menyimpan uang dari hasil kerja mereka.

Ya, hasil seminggu bisa saja habis terpakai seminggu juga. "Hidup di desa keras bung.... tetanggamu susah, kamu juga harus ikut solider, ya kamu akan susah juga, tetanggamu ada hajatan, kamu juga ikut punya hajatan dong, apa kata mereka jika kamu diam saja." Ungkapan seperti itu yang sering terdengar dalam keseharian petani desa.

Ikatan kekeluargaan begitu kental dengan semua orang, hingga bahwa tetangga pun tanpa punya hubungan darah saja diterima layaknya sedarah dan sekandungan. Sosialitas ketetanggaan yang begitu kuat itu kadang menyeret mereka begitu sering hingga seperti berada dalam "tanggal tua."

Tanggal tua akhirnya terhubung dengan filosofi hidup yang secara sosial tidak bisa menyingkirkan persaudaraan, ketetanggaan dan solidaritas. 

Apakah petani punya pilihan untuk keluar dari lingkaran tantangan ketetanggaan dan hajatan tidak terduga?

Pilihan yang bertanggung jawab dalam pemahaman mereka adalah orang harus berjiwa besar dan kerja keras. Petani harus bisa membuat perhitungan dengan memberikan ruang datangnya kemungkinan tidak terduga selalu lebih besar daripada yang sudah bisa direncanakan.

Oleh karena itu, sering mereka punya filosofi sendiri untuk konteks kehidupan dengan latar kehidupan sosial seperti itu. Hidup itu harus ditopang dengan dua hal. Dalam tutur keseharian orang Ende yakni mbunggu nee remi atau rajin dan telaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun