Di rumah om Marsel sama sekali tidak ada kesulitan. Om Marsel dengan senang hati menerima undangan untuk penyelesaian persoalan itu, bahkan dengan cepat berangkat ke rumah bapak August.
Apa yang saya lakukan sebagai penengah?Â
1. Saya mendatangi pemuka di kampung itu untuk memberi tahu bahwa baru saja ada kejadian perselisihan antara om Marsel dan Tino.Â
2. Saya menawarkan agar om Marsel dan Tino didatangkan ke rumah pemuka adat itu. Beliau sangat setuju.Â
3. Saya sendiri harus mengundang keduanya. Saya masuk rumah mereka duduk dan berbicara dengan akrab.Â
Anehnya semua orang di kampung melarang saya supaya jangan ke rumah Tino, karena Timo sedang mengasah parang. Saya tetap saja nekat pergi mengajak Tino. Dari jarak 10 Meter Tino melihat saya, ia langsung masuk kedalam kamar rumahnya sambil membawa parang.Â
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Tino. Ia merasa tidak pantas bahwa saya datang ke rumahnya. Dia gemetaran dan menangis sejadi-jadinya. Saya terus mendekati Tino.Â
Saya hanya panggil namanya, Â "Tino, jangan takut, saya datang untuk mengajakmu bicara baik-baik dengan om Marsel." Tino waktu itu ketakutan luar biasa, badannya gemetar saat saya memegang bahunya. Saya tidak tahu, entah kenapa.
"Ayolah Tino sekarang kita ke rumah bapak August untuk selesaikan hal ini," ajak saya sekali lagi. Tino akhirnya mau mengikuti ajakan saya. Ia merasa bersalah sekali, saat saya masuk ke dalam rumahnya tanpa jamuan segelas kopi sebagaimana layak cara terbaik menerima tamu ala orang - orang di kampung.Â
Dalam perjalanan menuju rumah Bapak August, tampak Tino sangat tenang. Ketika masuk rumah bapak August, Tino melihat om Marsel, namun masih tanpa reaksi apa-apa.Â
Bapak August meminta bantuan beberapa orang termasuk anak dari Tino untuk pergi lihat di kebun om Marsel untuk mencari tahu sebenarnya kambing yang masuk kebun itu punya siapa. Ternyata, disampaikan termasuk oleh anaknya Tino bahwa kambing itu bukan punya Tino.Â